HUBUNGAN Indonesia-Jepang untuk dekade 80-an ini masih akan
terletak terutama di bidang ekonomi. Ini tidak berarti hubungan
di bidang politik dan pertahanan-keamanan tidak penting atau
tidak makin penting. Hubungan di bidang politik telah meningkat
dalam tahun 1970-an, terutama setelah perang Vietnam selesai dan
kehadiran AS di kawasan Asia Tenggara dirasakan menurun.
Tapi hubungan di bidang pertahanan-keamanan tidak akan bersifat
langsung, karena Indonesia yang menganut politik luar negeri
yang bebas dan aktif pasti tidak akan menjadi bagian dari
aliansi dengan AS. Sedang Jepang masih memiliki suatu konstitusi
"damai" yang tidak akan mengizinkannya untuk bergerak di luar
pertahanan diri sendiri atau bela diri.
Namun secara tidak langsung perkembangan strategis-militer akan
mengakibatkan terjadinya pergeseran-pergeseran kekuatan. Maka
kedua belah pihak harus mengadakan penyesuaian-penyesuaian, demi
kestabilan dan perdamaian di kawasan Asia Tenggara dan Asia
Pasifik.
Hubungan di bidang ekonomi akan tetap menonjol di antara kedua
negara dalam dekade 80-an, karena sumber utama bagi Indonesia
untuk memenuhi kebutuhannya akan modal, teknologi dan pasar
adalah Jepang. Meskipun sumber-sumber yang lain (seperti AS,
Eropah Barat dan negara-negara ASEAN yang lain) pasti akan lebih
meningkatkan kehadirannya dengan bertambah kompleks dan
berkembangnya ekonomi Indonesia, Jepang masih akan tetap
menduduki tempat teratas.
Hal ini terjadi baik karena dekatnya letak geografis kedua
negara, tingkatan perkembangan ekonomi kedua negara yang saling
melengkapi, maupun karena pertimbangan politis-strategis.
Dua Soal Pokok yang Perlu Diperhatikan
Di dalam hubungan ekonomi bilateral ini, dalam dekade 80-an
terlihat dua masalah pokok yang terus-menerus perlu diperhatikan
dan ditangani oleh kedua belah pihak. Pertama, penyesuaian
terus-menerus dalam hubungan bilateral ini agar lambat laun
dapat menjadi lebih simetris, karena ekonomi Indonesia akan
tetap maju pesat sehingga Jepang perlu menyesuaikan diri dengan
perkembangan dan kemajuan itu.
Misalnya, apa yang dinamakan sistem "package deals" yang
mengakibatkan ketergantungan pihak swasta Indonesia pada Jepang
dalam hal modal, teknologi, pasar dan pengangkutan, secara sadar
dan berencana oleh kedua belah pihak harus dilepaskan satu demi
satu agar pada akhirnya kedua belah pihak bisa berhubungan
secara lebih sejajar.
Untuk ini, kedua negara perlu terus-menerus melakukan konsultasi
dan kerjasama yang erat. Pihak Jepang telah berpengalaman
melampaui perubahan struktural ekonominya, sehingga dengan
memetik pengalaman Jepang itu hal yang sama dapat pula dicapai
oleh pihak Indonesia. Hanya dengan penyesuaian yang
terus-menerus demikianlah hubungan ekonomi bilateral yang
intensif tersebut bisa dilanjutkan dan malahan dapat
ditingkatkan.
Masalah kedua adalah hubungan ekonomi yang seimbang, antara
Jepang dengan ASEAN di satu pihak dan antara Jepang dengan RRC
di lain pihak. Kekhawatiran di antara pemimpin-pemimpin dan
opini masyarakat di ASEAN, ialah bahwa Jepang akan lebih
mementingkan hubungan ekonominya dengan RRC daripada dengan
ASEAN. Tapi kekhawatiran ini untuk sebagian besar telah
teratasi, antala lain dengan kunjungan PM Suzuki pada awal
pertengahan Januari 1981 ini. Juga oleh kenyataan, bahwa
betapapun potensialnya hubungan ekonomi Jepang-RRC, jalannya
akan memakan waktu yang panjang, karena adanya kelemahan di
dalam negeri RRC sendiri.
Di lain pihak ekonomi ASEAN jauh mempunyai prospek untuk
peningkatan, baik dalam jangka waktu dekat maupun dalam jangka
panjang. Namun, karena kekhawatiran tersebut di atas cukup
mendalam, kedua belah pihak harus terus-menerus memperhatikan
dan memelihara keseimbangan hubungan tersebut.
Prioritas
Untuk jangka pendek ini, masih perlu diatasi perasaan di pihak
Indonesia bahwa sejak pertengahan tahun 1979 Jepang kurang
memperhatikan prioritas pembangunan Indonesia dalam rangka
kerjasama ekonomi yang saling menguntungkan. Karena adanya
dialog yang cukup intensif akhir-akhir ini, dan keinginan Jepang
untuk lebih memperhatikannya, maka perasaan dan tanggapan yang
timbul itu lambat laun dapat diatasi.
Prioritas yang dimaksudkan antara lain adalah pembentukan
panitia energi bersama, kredit untuk perluasan penyulingan
minyak mentah di Cilacap dan Balikpapan, perjanjian kerjasama di
bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, permodalan dan pinjaman
untuk hydrocracker di Dumai, penjualan beras tambahan, kredit
untuk perluasan pemanfaatan sumber-sumber LNG.
Pihak Indonesia dapat mengerti pula, bahwa satu setengah tahun
yang terakhir ini cukup merepotkan Jepang. Misalnya,
perkembangan keadaan politik dalam negerinya, yang menyangkut
persaingan antar fraksi-fraksi LDP, mengakibatkan kabinet PM
Ohira jatuh. Ada pula beban-beban baru yang diletakkan di atas
pundak pemerintah Jepang atas desakan pemerintah AS, dalam
rangka pembagian beban yang harus dipikul bersama oleh
sekutu-sekutu AS. Misalnya: bantuan ekonomi Jepang untuk Mesir,
Pakistan dan Turki, sehubungan dengan perkembangan yang terjadi
di Timur Tengah dan Teluk Parsi.
Mungkin Jepang harus lebih jelas mencari dan memainkan peran
politiknya di masa yang akan datang: Dalam hal ini Jepang harus
mengutamakan kawasan Asia Pasifik, baik karena letak
geografisnya, maupun karena keterbatasan kemampuan Jepang untuk
berperan secara global. Keterbatasan ini antara lain disebabkan
oleh adanya pembatasan di dalam konstitusinya, khususnya untuk
berperan di bidang militer di luar kepulauan Jepang, di samping
keterbatasan birokrasinya untuk melakukan peran global itu dalam
dekade 80-an ini.
Dalam menjalankan peran politik ini, Jepang telah memainkan
peranan yang positif di kawasan Asia Pasifik: ia telah mendukung
ASEAN dalam berbagai bidang, seperti bantuan ekonomi secara
biilateral dan regional. Ia memberikan bantuan keuangan dalam
penyelesaian masalah pelarian dari Indocina -- meskipun bantuan
keuangan ini pun masih perlu ditingkatkan, kalau dibandingkan
dengan bantuan yang sama dari AS, Kanada atau Australia. Jepang
juga memberi dukungan terhadap usaha ASEAN untuk mencari
penyelesaian politik di Kampuchea, menjadi perantara dalam
dialog Utara-Selatan terutama dalam penyelesaian Dana Bersama
dan impor hasil-hasil tanaman tropis ke negara-negara industri.
Selain itu, Jepang telah memupuk hubungan dengan RRC, tanpa
menjadikan hubungan bilateral ini suatu aliansi militer de
facto. Dengan demikian Jepang lebih mampu membantu kestabilan di
kawasan ini daripada AS, yang karena strateginya untuk
mengimbangi kekuatan militer Uni Soviet, sekarang berada dalam
posisi yang bisa ditafsirkan telah menjalin persekutuan militer
de facto dengan RRC -- meskipun hal ini sebenarnya tidak
diinginkan AS sendiri.
Perlu Kepemimpinan Jepang
Dalam pada itu, ide kerjasama ekonomi negara-negara Pasifik pada
akhirnya mungkin sekali memerlukan kepemimpinan Jepang sebelum
bisa menjadi realita. Soalnya, kepemimpinan dan inisiatif AS
akan terlalu memberikan tafsiran ideologis pada kerjasama
tersebut, di samping politik dalam negeri AS sendiri memang
tidak siap untuk mendukung ide tersebut dengan segala
pengorbanan dan pembiayaan yang diperlukan.
Maka itu, kepeloporan dan kepemimpinan Jepang untuk mendukung
ide kerjasama ekonomi Pasifk tersebut, dengan pengorbanan dan
beban lain sebagai konsekuensinya, merupakan peran politik yang
paling tersedia bagi Jepang dalam tahun-tahun mendatang.
Kekhawatiran mengenai dominasi Jepang dapat diatasi kalau
pelaksanaan ide itu akan dilakukan bersama dengan negara-negara
ASEAN dan negara-negara berkembang lainnya di kawasan tersebut,
di samping kesarlggupan Jepang untuk menanggung beban dan biaya
bagi kepemimpinannya itu secara konkrit.
Dalam membicarakan peranan Jepang di bidang pertahanan-keamanan,
mungkin perlu dibedakan antara apa yang akan dilakukannya dalam
tahun 80-an dan di tahun 90-an. Dalam tahun 80-an ini Jepang
pasti dalam batas-batas kemungkinan yang diberikan oleh
konstitusi "damai"-nya akan meningkatkan kemampuan dan kekuatan
militernya, terutama kekuatan angkatan udara dan kekuatan anti
kapal selamnya untuk mempertahankan kepulauan Jepang dan lautan
di sekitarnya.
Peningkatan kekuatan pertahanan Jepang sendiri jelas dapat
diterima oleh rakyat Jepang, sebab dalam perdebatan tiga tahun
terakhir ini telah ditunjukkan adanya konsensus mereka dalam hal
ini.
Yang masih menjadi perdebatan adalah jumlah peningkatan
kemampuan pertahanan mana yang dianggap memadai. Pada umumnya
para pemimpin pemerintahan Jepang mau melakukannya secara
bertahap, sedangkan tekanan AS dalam rangka berbagi beban
menuntut peningkatan tersebut lebih besar. Juga Jepang diminta
mulai memikirkan perannya di wilayah Asia Pasifik, untuk
mengimbangi peningkatan armada Uni Soviet dan kewajiban baru AS
di Teluk Parsi yang untuk sementara kekuatannya diambil dari
Armada VII.
Sehubungan dengan peranan Jepang untuk tahun 80-an ini maka
ASEAN mendukung strategi "pertahanan menyeluruh" dari PM Ohira
dan Suzuki yang menekankan bahwa bantuan dan kewajiban Jepang
dalam bidang pertahanan-keamanan untuk aliansi Barat bukan hanya
terletak di bidang militer saja, tetapi justru dalam bantuan
ekonomi.
Hal ini lebih sesuai dengan opini rakyat Jepang, juga sesuai
pula dengan kenyataan di Asia Pasifik bahwa ancaman terhadap
negara-negara berkembang, khususnya ASEAN, bukanlah datang dari
luar tetapi dari dalam negeri apakah pembangunan nasional
masing-masing negara bisa memenuhi harapan rakyatnya ataukah
tidak. Dengan begitu bantuan ekonomi jauh lebih penting untuk
mereka daripada kehadiran militer Jepang di kawasannya, yang
malah justru bisa menjadi suatu faktor yang mengundang adanya
ketidakstabilan kalau tidak dipersiapkan dengan baik dan
dilaksanakan secara bertahap.
Dua Faktor
Hanya untuk bisa melaksanakan strategi "pertahanan menyeluruh"
secara berhasil, ada dua faktor yang harus diperhatikan oleh
Jepang. Pertama, agar bantuan ekonomi dalam rangka pembagian
beban tersebut dapat dilakukannya secara cukup menyolok sehingga
mengurangi tekanan dari AS. Kedua, agar konsultasi terus-menerus
dengan negara-negara ASEAN dilakukannya dalam rangka
melaksanakan perannya itu di kawasan Asia Pasifik, khususnya di
Asia Tenggara.
Untuk tahun 90-an Jepang jelas akan lebih meningkatkan perannya
di bidang pertahanan-keamanan di wilayah Asia Pasifik, terutama
dalam rangka mengamankan jalur-jalur maritimnya yang vital bagi
ekonomi dan kesejahteraan Jepang. Dalam rangka ini maka ide
armada laut yang besar dengan kemampuan melaksanakan sistem
konvoi a la Perang Dunia II sudah tidak berlaku lagi, karena
teknologi persenjataan yang ada sekarang maupun untuk masa-masa
mendatang.
Maka dalam hal ini perlu dipikirkan pembagian tugas dan
koordinasi dengan negara-negara pesisir, seperti negara-negara
ASEAN, untuk turut serta mengamankan wilayah lautannya
masing-masing. Strategi ini lebih cocok untuk menghadapi
perkembangan teknologi persenjataan di masa mendatang, dan
sekaligus memenuhi keinginan dari negara-negara ASEAN untuk
lebih berdaulat di wilayahnya masing-masing, hingga akan mampu
menolak adanya intervensi dari negaranegara besar dalam
pengamanan kawasan lautnya.
Untuk dapat melakukan hal ini di masa yang akan datang, mulai
sekarang harus sudah dipertimbangkan peralihan teknologi yang
tepat untuk memungkinkan pembagian tugas dan koordinasi tersebut
di atas, yang pasti akan memakan waktu sekitar 5-10 tahun untuk
bisa direalisasikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini