BANYAK orang tua terganggu perasaannya, bila melihat tulisan
anak mereka yang bak cakar ayam. Mungkin karena "tulisan yang
rapi mencerminkan jiwa yang rapi." Atau lebih mungkin, karena
mereka sendiri dahulu diajar menulis rapi -- di sebuah sekolah
yang rapi, waktu itu.
Karena itulah barangkali Menteri P & K, dalam pertemuan Gabungan
Organisasi Penyelenggara Taman Kanak-kanak Indonesia beberapa
waktu yang lalu, menyatakan akan mengintensifkan kembali
pelajaran menulis -- di Taman Kanak-kanak dan SD. Daoed Joesoef,
juga Prof. Darji Darmodiharjo, Dirjen Pendidikan Dasar dan
Menengah, setuju banyak anak sekolah kini tulisannya buruk.
Seorang guru SD di SD Pondok Bambu Jakarta misalnya, Pak
Baesyuni, mengeluh karena terkadang kepalanya pening mengoreksi
ulangan murid-muridnya. Tulisan mereka begitu susah dibaca. Lalu
apa kabar pelajaran 'menulis halus', yang dulu diajarkan di SD?
Menurut Prof. Darji, pelajaran menulis sebenarnya tak pernah
secara resmi dihapus. Hanya, kini, berdasar kurikulum 1975,
memang tak ada di rapor. Bahkan jadwal pelajaran menulis pun
sebenarnya tak ada -- karena menjadi satu dengan pelajaran
Bahasa Indonesia.
Entah karena ini maka banyak guru SD mengabaikan pelajaran itu.
Ada yang berpendapat anak-anak datang ke sekolah bukan untuk
dididik menjadi juru tulis, tapi untuk telajar pengetahuan. Ada
pula yang berpendapat, tulisan tangan di zaman ini sudah tak
begitu diperlukan -- toh sudah ada mesin tulis. Yang dilupakan,
tak semua orang punya mesin tulis. Atau, setidak-tidaknya,
banyak orang sebenarnya tetap menyukai tulisan tangan --
lebih-lebih untuk surat pribadi yang dianggap lebih sopan dan
akrab, jangan lagi surat cinta. (Juga untuk mengoreksi naskah
laporan yang sedang anda baca ini -- jangan lupa). Maka bila
tulisan tangan bukan saja tidak indah, tapi juga susah dibaca,
bayangkan.
Guru yang masih memperhatikan tulisan muridnya, lalu mengambil
kebijaksanaan sendiri. Tony Sartono misalnya, yang kini mengajar
di kelas VI SD Pondok Bambu Pagi, waktu masih mengajar di kelas
V memberi pelajaran menulis. Itu disebabkan tulisan sebagian
besar muridnya sulit dibaca. Tapi sekarang tidak lagi. Jadi
hanya sepanjang diperlukan.
Dari pihak P&K, kini bukan hanya ketegasan perlu-tidaknya
pelajaran menulis yang diberikan. Juga bentuk tulisannya
sendiri, seperti yang mereka sarankan, berubah. Berbeda dari
dulu: tak lagi harus miring, dan dengan garis tebal-tipis. Juga,
tak lagi perlu bentuk lengkung yang dulu menjadi ciri keindahan
tulisan latin. Yang disarankan kini sebagai 'tulisan resmi'
adalah tulisan dengan huruf tegak dan berbentuk mirip huruf
cetak. Namanya: 'tulisan tegak bersambung'.
Perubahan itu, disarankan sejak 1970 dan diresmikan dengan
kurikulum 1975, rupanya punya alasan. Waktu itu satu tim dari
Direktorat Pendidikan Dasar mencobakan bentuk tulisan tersebut
di 55 SD di DKI Jakarta, 50 di Padang dan 55 di Ujungpandang.
Hasilnya, menurut sumber di direktorat tersebut: ternyata, bisa
dipaham, anak-anak lebih cepat belajar menulis dan tulisan
mereka pun jelas, mudah dibaca. Dengan singkat: bentuk huruf itu
"memudahkan persepsi dan apresiasi membaca dan menulis
anak-anak."
Alasan yang lain: dulu, dengan tulisan miring, terpaksa buku
tulis diletakkan miring pula. Dan tak jarang posisi duduk
anak-anak pun ikut miring. Paling tidak kepala miring ke kiri,
sewaktu menulis. (Masih ingat, bapak-bapak?) Dengan tulisan
tegak, itu katanya tak perlu terjadi.
Dan perkara tebal-tipis garis, rupanya dipandang tak perlu lagi
-- demi diperolehnya kecepatan menulis sesuai dengan irama zaman
kini. Apalagi dengan alat tulis yang dinilai lebih praktis
kini, bolpoin, memang tak mungkin membuat garis tebal tipis --
seperti yang dulu bisa dibuat dengan anak pena yang dicecahkan
ke dalam bak tinta ataupun anak batu tulis.
Tapi keluhan para orang tua bahwa tulisan anak sekarang
jelek-jelek, pun kadang-kadang perlu dicurigai. "Kalau kriteria
baik-buruknya berdasar tulisan gaya dulu," kata Pak Guru Tony,
"bisa jadi tulisan anak sekarang tak ada yang bagus." Tapi yang
penting: jelas atau tidak, rapi atau tidak. Kalau soal
keindahan, bahkan tulisan Bung Karno dulu, tokoh yang sangat
bergelora itu, rapi dan sedap dipandang. Malahala juga tulisan
Chairil Anwar, penyair "binatang jalang" itu.
Ada satu soal tambahan. Bukan rahasia lagi, guru-guru kini
sebenarnya banyak yang tulisannya awut-awutan. Setidak-tidaknya
yang muda-muda, dan itu bisa dipaham. "Karena itu di Sekolah
Pendidikan Guru juga akan diintensifkan pelajaran menulis,"
tambah Dirjen PDM Prof. Darji.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini