Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Memerangi Cakar Ayam

Departemen p dan k memberi ketentuan baru tentang bentuk tulisan tangan para siswa. dianjurkan menulis dengan huruf tegak dan berbentuk mirip huruf cetak. (pdk)

10 Januari 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BANYAK orang tua terganggu perasaannya, bila melihat tulisan anak mereka yang bak cakar ayam. Mungkin karena "tulisan yang rapi mencerminkan jiwa yang rapi." Atau lebih mungkin, karena mereka sendiri dahulu diajar menulis rapi -- di sebuah sekolah yang rapi, waktu itu. Karena itulah barangkali Menteri P & K, dalam pertemuan Gabungan Organisasi Penyelenggara Taman Kanak-kanak Indonesia beberapa waktu yang lalu, menyatakan akan mengintensifkan kembali pelajaran menulis -- di Taman Kanak-kanak dan SD. Daoed Joesoef, juga Prof. Darji Darmodiharjo, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, setuju banyak anak sekolah kini tulisannya buruk. Seorang guru SD di SD Pondok Bambu Jakarta misalnya, Pak Baesyuni, mengeluh karena terkadang kepalanya pening mengoreksi ulangan murid-muridnya. Tulisan mereka begitu susah dibaca. Lalu apa kabar pelajaran 'menulis halus', yang dulu diajarkan di SD? Menurut Prof. Darji, pelajaran menulis sebenarnya tak pernah secara resmi dihapus. Hanya, kini, berdasar kurikulum 1975, memang tak ada di rapor. Bahkan jadwal pelajaran menulis pun sebenarnya tak ada -- karena menjadi satu dengan pelajaran Bahasa Indonesia. Entah karena ini maka banyak guru SD mengabaikan pelajaran itu. Ada yang berpendapat anak-anak datang ke sekolah bukan untuk dididik menjadi juru tulis, tapi untuk telajar pengetahuan. Ada pula yang berpendapat, tulisan tangan di zaman ini sudah tak begitu diperlukan -- toh sudah ada mesin tulis. Yang dilupakan, tak semua orang punya mesin tulis. Atau, setidak-tidaknya, banyak orang sebenarnya tetap menyukai tulisan tangan -- lebih-lebih untuk surat pribadi yang dianggap lebih sopan dan akrab, jangan lagi surat cinta. (Juga untuk mengoreksi naskah laporan yang sedang anda baca ini -- jangan lupa). Maka bila tulisan tangan bukan saja tidak indah, tapi juga susah dibaca, bayangkan. Guru yang masih memperhatikan tulisan muridnya, lalu mengambil kebijaksanaan sendiri. Tony Sartono misalnya, yang kini mengajar di kelas VI SD Pondok Bambu Pagi, waktu masih mengajar di kelas V memberi pelajaran menulis. Itu disebabkan tulisan sebagian besar muridnya sulit dibaca. Tapi sekarang tidak lagi. Jadi hanya sepanjang diperlukan. Dari pihak P&K, kini bukan hanya ketegasan perlu-tidaknya pelajaran menulis yang diberikan. Juga bentuk tulisannya sendiri, seperti yang mereka sarankan, berubah. Berbeda dari dulu: tak lagi harus miring, dan dengan garis tebal-tipis. Juga, tak lagi perlu bentuk lengkung yang dulu menjadi ciri keindahan tulisan latin. Yang disarankan kini sebagai 'tulisan resmi' adalah tulisan dengan huruf tegak dan berbentuk mirip huruf cetak. Namanya: 'tulisan tegak bersambung'. Perubahan itu, disarankan sejak 1970 dan diresmikan dengan kurikulum 1975, rupanya punya alasan. Waktu itu satu tim dari Direktorat Pendidikan Dasar mencobakan bentuk tulisan tersebut di 55 SD di DKI Jakarta, 50 di Padang dan 55 di Ujungpandang. Hasilnya, menurut sumber di direktorat tersebut: ternyata, bisa dipaham, anak-anak lebih cepat belajar menulis dan tulisan mereka pun jelas, mudah dibaca. Dengan singkat: bentuk huruf itu "memudahkan persepsi dan apresiasi membaca dan menulis anak-anak." Alasan yang lain: dulu, dengan tulisan miring, terpaksa buku tulis diletakkan miring pula. Dan tak jarang posisi duduk anak-anak pun ikut miring. Paling tidak kepala miring ke kiri, sewaktu menulis. (Masih ingat, bapak-bapak?) Dengan tulisan tegak, itu katanya tak perlu terjadi. Dan perkara tebal-tipis garis, rupanya dipandang tak perlu lagi -- demi diperolehnya kecepatan menulis sesuai dengan irama zaman kini. Apalagi dengan alat tulis yang dinilai lebih praktis kini, bolpoin, memang tak mungkin membuat garis tebal tipis -- seperti yang dulu bisa dibuat dengan anak pena yang dicecahkan ke dalam bak tinta ataupun anak batu tulis. Tapi keluhan para orang tua bahwa tulisan anak sekarang jelek-jelek, pun kadang-kadang perlu dicurigai. "Kalau kriteria baik-buruknya berdasar tulisan gaya dulu," kata Pak Guru Tony, "bisa jadi tulisan anak sekarang tak ada yang bagus." Tapi yang penting: jelas atau tidak, rapi atau tidak. Kalau soal keindahan, bahkan tulisan Bung Karno dulu, tokoh yang sangat bergelora itu, rapi dan sedap dipandang. Malahala juga tulisan Chairil Anwar, penyair "binatang jalang" itu. Ada satu soal tambahan. Bukan rahasia lagi, guru-guru kini sebenarnya banyak yang tulisannya awut-awutan. Setidak-tidaknya yang muda-muda, dan itu bisa dipaham. "Karena itu di Sekolah Pendidikan Guru juga akan diintensifkan pelajaran menulis," tambah Dirjen PDM Prof. Darji.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus