Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Politik Subversif di Indonesia

Audrey R. Kahin & George McT. Kahin, Subversion as Foreign Policy: The Secret Eisenhower and Dulles Debacle in Indonesia, The New Press, New York _ W.W. Norton & Company, Inc., New York (1995)

12 Agustus 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik Jepang selama menduduki Indonesia adalah membebaskan Indonesia dari penjajah kulit putih. Pihak Indonesia setuju pada anggapan ini, tapi menambahkan kalimat "sejauh terpaksa oleh kepentingan Perang Pasifik Jepang". Pemerintah militer Jepang terlalu sedikit mendidik tenaga untuk menduduki jabatan di pemerintahan itu. Dari yang sedikit itu, separuh mati tenggelam ketika kapal pengangkut mereka ditorpedo kapal selam Sekutu. Terpaksalah, di Indonesia, pasukan pendudukan Jepang mengangkat pejabat dari orang setempat. Hal itu, bagi Indonesia, dampaknya sangat positif. Banyak orang Indonesia menjadi terlatih dalam jabatan pemerintahan—dan kelak, setelah Indonesia merdeka, orang-orang itu amat berguna. Di bawah penjajahan Belanda posisi-posisi tinggi diisi oleh orang Eropa. Orang Indonesia dianggap belum mampu memikul tanggung jawab yang begitu berat. Pada pertengahan tahun 1943 Jepang kalah beruntun dalam Perang Pasifik. Makin besarlah ketergantungan pemerintah militer Jepang pada dukungan elite politik Indonesia. Itu pula sebabnya mengapa kian banyak konsesi yang diberikan Jepang kepada duo Sukarno-Hatta. Poros Belanda-AS Kemerdekaan Republik Indonesia baru saja diproklamasikan. Sukarno dan Hatta masing-masing menjabat presiden dan wakil presiden. Belanda mulai menghasut Amerika Serikat bahwa Sukarno-Hatta tidak bisa dipercaya, karena selama tiga setengah tahun kedua mereka itu bekerja sama erat dengan pemerintah militer-fasis Jepang. Tiga bulan setelah proklamasi kemerdekaan, Sukarno dan Hatta menyerahkan seluruh mandat mereka kepada Perdana Menteri Sutan Sjahrir dan Amir Sjarifuddin. Dua pejuang kemerdekaan di bawah-tanah ini terkenal sikap nonkooperatifnya terhadap pemerintahan militer Jepang. Dan tumpullah hasutan Belanda bahwa Indonesia dipimpin para kolaborator militer-fasis Jepang. Tapi Belanda punya pe-luang baru. Segera setelah memenangkan Perang Dunia II, AS langsung terlibat dalam Perang Dingin dengan Uni Soviet dan Republik Rakyat Cina. Waktu itu AS akan "kalap" hanya karena mendengar istilah "sosialis" atau melihat warna merah. Mengamati perkembangan itu, propaganda hasutan Belanda pun ganti haluan: Sukarno-Hatta dan Ho Chi-minh adalah pejuang komunis. Itu sebabnya mengapa gerilyawan kita berhadapan dengan jip, tank, truk, meriam, dan senjata Amerika. Bahkan lebih tegas lagi, di dada seragam kamuflase marinir Belanda jelas tertera "US Marines". Tapi kemudian terjadi Peristiwa Madiun. Pemerintah AS menyaksikan keanehan: Sukarno-Hatta, yang dianggap "merah", menumpas pemberontakan tentara komunis di Madiun. Bayangan di benak AS yang digambarkan Belanda tentang Indonesia mulai buyar. Dinas rahasia AS (CIA) segera menyelundupkan keluar sekelompok anggota Brimob Indonesia untuk dilatih di luar negeri. Skandal Cochran Akhirnya, Belanda tak dapat lagi mengelak untuk merundingkan kemerdekaan Indonesia. Pemimpin militer Belanda mengeluh bahwa mereka selalu memenangi pertempuran melawan gerilyawan Indonesia, tapi tak pernah menang dalam perang melawan Republik Indonesia. Konferensi Meja Bundar bulan November dan Desember 1949 di Den Haag dihadiri oleh utusan AS sebagai "penengah". Merle Cochran namanya. Dialah yang memaksa pihak Indonesia agar setuju membayar utang Hindia Belanda sebesar US$ 1,13 miliar. Si "penengah" ini juga yang memaksa Indonesia menerima syarat bahwa kedaulatan atas Irian tidak diserahkan, melainkan akan dibicarakan kembali oleh Belanda dan Indonesia setahun kemudian. Sial buat Indonesia, Cochran kemudian di-tunjuk menjadi duta besar AS di Jakarta. Hadiah terakhir Cochran untuk Indonesia adalah skandal penipuan yang sangat me-malukan. Ketika itu Indonesia dicalonkan menerima bantuan luar negeri AS. Dubes Cochran memberi tahu para pejabat RI agar menerima bantuan itu. Kongres AS mensyaratkan penandatanganan pernyataan bahwa Indonesia mendukung politik luar negeri Amerika. Seperti biasa, para pejabat Indonesia tidak menyelidiki kebenaran informasi tersebut, dan langsung menandatangani pernyataan yang diminta. Untung, waktu itu pers bebas. Surat kabar Indonesia tahu bahwa India dan Burma menerima bantuan luar negeri serupa tanpa kewajiban menandatangani pernyataan seperti itu. Terbongkarlah kebohongan Merle Cochran. Kabinet Indonesia yang paling pro-Amerika dalam 10 tahun sejak proklamasi pun jatuh. Sejak itu sang "penengah" tak pernah lagi ditugasi mewakili pemerintah AS. Politik Subversi Buat apa membantu Indonesia, yang politik luar negerinya netral, dalam konfliknya dengan Belanda, sekutu setia AS? Begitu kira-kira jalan pikiran para pejabat Amerika yang berpengaruh di bidang politik luar negeri, dan memblokade masuknya masalah Irian dalam agenda sidang-sidang PBB. Bahwa CIA kemungkinan besar berperan dalam penggranatan Sukarno di sekolah Cikini, hal itu dapat dimengerti. Tapi, ditinjau dari kerangka pikiran masa kini, kedengarannya aneh bahwa ada indikasi kuat AS membantu pemberontakan Darul Islam di Jawa Barat dan Daud Beureueh di Aceh. Lebih aneh lagi bahwa para wartawan Amerika, yang menyaksikan pemberian bantuan senjata dan latihan AS kepada PRRI dan Permesta, bungkam belaka; dan bahwa The New York Times, koran progresif di garis terdepan, mendukung penuh garis kebijakan pemerintah Presiden Eisenhower dan Menlu John Foster Dulles. Australia "Gung-ho" Subversi Amerika dalam politik Indonesia mendapat dukungan sangat antusias dari pemerintah Menzies di Australia. Para di-plomat Australia sangat aktif membantu pembendungan masuknya isu Irian ke dalam agenda PBB. Salah satu basis operasi rahasia AS membantu para pemberontak terhadap Sukarno adalah Pulau Christmas, wilyah Australia. Tampaknya, Indonesia yang berkembang "miring ke kiri" mendapat perhatian serius pada tingkat tinggi pemerintah AS dan Australia. Dilaporkan, dalam suatu pembicaraan rahasia antara Menteri Luar Negeri AS dan PM Menzies, Dulles mengatakan, kalau benar-benar terjadi showdown, AS akan mendukung Australia, tak peduli benar atau salah. Dalam peristiwa PRRI dan Permesta, Menlu Australia Richard Casey sangat aktif membicarakan cara-cara yang riskan seperti pengeboman sasaran-sasaran Indonesia. Casey bahkan pernah membicarakan kemungkinan mundurnya perusahaan-perusahaan minyak di Sumatra dengan alasan ke-amanan. Sabotase di sana-sini gampang diatur. Inisiatif-inisiatif Casey seperti inilah yang membuat dua penulis Australia tentang dinas rahasia negaranya mengatakan bahwa Casey terkesan lebih galak (gung-ho) daripada orang Amerika. Nono Anwar Makarim

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus