Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saya ingat sebuah berita kecil di harian Ibu Kota tahun lalu tentang seorang sopir taksi yang bernama Slamet: "Selama ini Slamet sudah sangat hemat membelanjakan uang yang diperolehnya dari menarik taksi. Rata-rata dia mendapat untung bersih Rp 20.000 sampai Rp 25.000 per hari. Sebagai langkah menghemat pengeluaran, ia patungan bersama dua temannya mengontrak sebuah rumah petak di Kali Malang. Biaya kontrakan Rp 180.000 per bulan. Belum termasuk iuran listrik Rp 30.000 per bulan. "Kalau semua naik, istri saya mau makan apa?" tutur Slamet pasrah. Dan ironisnya, Slamet agaknya bukanlah sopir yang termalang pada hari ketika BBM dinaikkan. Begitu berita yang muncul. Dan ini benar, karena kenaikan BBM seperti itu memberatkan. Tak sepenuhnya salah, namun baik juga bila kita melihat dampaknya dengan lebih dingin dan tenang.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo