Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saya ingat sebuah berita kecil di harian Ibu Kota tahun lalu tentang seorang sopir taksi yang bernama Slamet: "Selama ini Slamet sudah sangat hemat membelanjakan uang yang diperolehnya dari menarik taksi. Rata-rata dia mendapat untung bersih Rp 20.000 sampai Rp 25.000 per hari. Sebagai langkah menghemat pengeluaran, ia patungan bersama dua temannya mengontrak sebuah rumah petak di Kali Malang. Biaya kontrakan Rp 180.000 per bulan. Belum termasuk iuran listrik Rp 30.000 per bulan. "Kalau semua naik, istri saya mau makan apa?" tutur Slamet pasrah. Dan ironisnya, Slamet agaknya bukanlah sopir yang termalang pada hari ketika BBM dinaikkan. Begitu berita yang muncul. Dan ini benar, karena kenaikan BBM seperti itu memberatkan. Tak sepenuhnya salah, namun baik juga bila kita melihat dampaknya dengan lebih dingin dan tenang.
Kenaikan BBM tentu akan menimbulkan dampak inflasi. Inflasi yang timbul akan menurunkan daya beli, dan penurunan daya beli akan mengakibatkan bertambahnya jumlah orang miskin. Kita paham logika ini. Maka pertanyaan yang harus dijawab: bagaimana dampak kenaikan BBM pada inflasi dan orang miskin? Lalu apa yang bisa dilakukan untuk mengurangi dampaknya? Ini sebenarnya pertanyaan klasik yang selalu diajukan tiap kali harga BBM dinaikkan.
Secara logis, sebenarnya dampak langsung dari kenaikan BBM terhadap mereka yang miskin relatif terbatas. Alasannya, sebagian besar pendapatan kelompok miskin digunakan untuk konsumsi beras?itu pun kalau pendapatannya cukup?dan hanya sebagian kecil yang digunakan untuk konsumsi di luar beras, termasuk BBM. Sebaliknya, buat non-miskin, porsi konsumsi beras relatif kecil, sedangkan porsi konsumsi barang lain seperti mobil, alat elektronik, dan tentunya juga BBM relatif besar. Namun soalnya tak berhenti di sana. Kenaikan harga BBM akan menaikkan harga barang dan pada akhirnya akan memukul daya beli. Karena itu kita harus melihat inflasinya.
Bundle inflasi sendiri?jika kita mau melihatnya dengan obyektif berdasarkan data?didominasi oleh kelompok makanan, terutama beras. Karena itu, jika harga beras murah, inflasi juga akan rendah. Logika ini terbukti secara empiris. Inflasi bulan Januari 2003, ketika pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM, adalah 0,8 persen. Hebatnya, inflasi bulan Februari malah lebih rendah lagi dan bahkan bulan Maret 2003 terjadi deflasi. Itu sebabnya inflasi tahun 2003 hanya mencapai 5,1 persen, salah satu yang terendah sejak krisis ekonomi.
Kenaikan BBM juga terjadi pada pertengahan Januari tahun 2000, bahkan lebih drastis lagi sebesar rata-rata lebih dari 50 persen. Bagaimana dampak inflasinya? Inflasi Januari 2002 adalah 1,99 persen, Februari turun menjadi 1,5 persen, dan Maret malah terjadi deflasi (penurunan harga sebesar -0,2 persen). Artinya, memang tidak ada bukti empiris bahwa kenaikan BBM memicu inflasi?seperti yang selalu diributkan dan dikhawatirkan orang dan juga sebagian ekonom.
Memang, tingkat inflasi awalnya agak tinggi, karena faktor psikologis dan juga spekulasi, namun data empiris menunjukkan bahwa setelah itu tingkat inflasi turun. Logikanya sederhana: jika pendapatan tidak naik, sedangkan harga naik terus, pada satu titik, kemampuan membeli akan terbatas dan harga juga harus menyesuaikan dengan daya beli masyarakat. Di sini peran Bank Indonesia dalam mengendalikan inflasi menjadi penting. Selain itu, setelah harga BBM dinaikkan, efek psikologis dan spekulasi kemudian juga hilang. Itu sebabnya, inflasi yang terjadi kemudian semakin lama semakin turun.
Dan ini konsisten dengan perhitungan LPEM-FEUI, yang dengan menggunakan model Computable General Equilibrium menunjukkan bahwa dampak inflasi yang terjadi relatif kecil. Untuk padi, misalnya, akan ada kenaikan 0,4 persen, untuk buah-buahan sekitar 0,56 persen, dan sayur 0,55 persen. Dampak yang paling besar seperti diduga pada sektor transportasi darat dan laut yang 2,1-2,4 persen. Dampak inflasi keseluruhan adalah 0,7-1,2 persen.
Namun perlu dicatat: ada kemungkinan kenaikan harga akan relatif sedikit lebih tinggi karena faktor musim. Di mana harga beras, misalnya, cenderung relatif meningkat menjelang panen karena soal spekulasi. Untuk gula ada kecenderungan meningkat karena harga internasional. Umumnya, harga beras meningkat dua bulan menjelang kenaikan BBM, karena unsur spekulasi, dan menurun sekitar tiga minggu sampai satu bulan setelah BBM dinaikkan, persis seperti data empiris inflasi yang saya sebut di atas.
Untuk mengatasi itu, hal yang paling penting dilakukan adalah operasi pasar untuk beras. Usul saya, impor beras dibuka sementara. Namun jumlah dan jangka waktunya harus diperhitungkan dengan hati-hati agar tidak mengakibatkan turunnya pendapatan petani produsen.
Bagaimana dampaknya pada penduduk miskin? Inflasi yang terjadi?walaupun relatif kecil akibat kenaikan BBM?tentu akan mempengaruhi penduduk miskin. Perhitungan yang dilakukan LPEM-FEUI menunjukkan bahwa kenaikan harga BBM sebesar rata-rata 30 persen akan meningkatkan persentase orang miskin dari 16,25 persen menjadi 16,43 persen. Namun, bila diberikan dana kompensasi dalam bentuk beasiswa dan beras murah, persentase penduduk miskin akan turun menjadi 13,87 persen.
Meskipun demikian, argumen ini bukan serta-merta menihilkan dampak kenaikan BBM bagi masyarakat. Yang penting diperhatikan adalah kelompok penduduk yang masuk dalam kategori hampir miskin. Mereka yang masuk dalam kategori ini adalah penduduk dengan penghasilan tetap, yang berada di sekitar garis kemiskinan, namun pola hidupnya sudah mulai mengikuti pola hidup nonmiskin. Misalnya buruh di kota, sopir seperti Slamet dalam tulisan di atas, dan juga pegawai negeri rendah. Mereka ini yang akan mengalami dampak dari kenaikan BBM.
Saya kira, kita harus adil dalam melihat hal ini. Perhitungan yang dilakukan LPEM-FEUI, misalnya, menunjukkan bahwa daya beli kelompok hampir miskin di kota akan turun -0,42 persen, sedangkan dampaknya bagi kelompok yang sama di desa sedikit lebih kecil (-0,39 persen). Logikanya, porsi konsumsi BBM di desa relatif kecil dibanding kota. Yang menarik, jika pemerintah memberikan subsidi beras murah, penduduk miskin baik di kota maupun desa akan mengalami kenaikan daya beli, namun kelompok near-poor (hampir miskin) di kota tak sepenuhnya tertolong. Daya beli masih turun -0,27 persen. Sedangkan dampak bagi kelompok ini di desa justru positif: subsidi beras akan meningkatkan daya beli 0,84 persen.
Bila kompensasi diperluas dengan pemberian beasiswa, penurunan daya beli kelompok hampir miskin di kota?akibat kenaikan BBM?akan lebih kecil lagi (-0,19 persen). Artinya, jika kompensasi diperluas kepada kelompok hampir miskin di kota, dampak kenaikan harga BBM akan bisa diperkecil. Itu sebabnya, saya melihat bahwa program kompensasi, selain diarahkan untuk penduduk miskin, juga perlu diperluas kepada penduduk hampir miskin?terutama yang ada di kota. Mereka inilah yang amat rentan terhadap kenaikan harga BBM.
Secara persentase dan absolut jumlah kelompok itu di kota tentu lebih kecil dibandingkan yang ada di desa. Namun, untuk memperkecil dampaknya, perhatian perlu diberikan kepada mereka. Itu sebabnya saya melihat: program dana kompensasi seperti pendidikan?misalnya beasiswa atau pembebasan biaya seragam dan buku?atau kesehatan seperti obat murah, atau pembebasan biaya kesehatan, akan banyak sekali membantu. Dalam program dana kompensasi memang dicantumkan jumlah lebih dari Rp 5 triliun untuk alokasi pendidikan.
Kenaikan BBM tentu memberikan dampak, terutama bagi orang seperti Slamet, buruh kota, atau pekerja dengan pendapatan tetap di kota. Karena itu, dana kompensasi bagi kelompok near-poor ini juga menjadi penting. Persoalan besar yang selalu muncul adalah bagaimana menjamin dana kompensasi ini tepat sasaran. Di sini saya melihat pentingnya peran kritik dan pers. Pers, LSM, dan mahasiswa dapat membantu dalam melakukan monitoring dengan cara menyampaikan kritik tentang dana kompensasi yang tak sampai. Di sini kebebasan dan demokrasi amat berperan dalam mengatasi kemiskinan, seperti yang selalu disampaikan oleh Amartya Sen. Saya kira sudah saatnya untuk membela kelompok miskin dengan lebih tegas, dengan cara memberikan subsidi yang benar-benar mereka butuhkan. Bukan mempertahankan subsidi BBM untuk membela kelas menengah atas atau para penyelundup BBM, yang ironisnya selama ini selalu mengatasnamakan orang miskin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo