Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mahkamah Konstitusi belum memutuskan apakah pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung termasuk kategori pemilihan umum atau bukan. Namun, wacana publik tentang hal itu sudah marak. Pemerintah, dimotori Menteri Dalam Negeri, terus memompakan semangat mempersiapkan perhelatan politik itu. Bahkan dengan sangat optimistis pemerintah merasa yakin bisa memperpendek jadwal persiapan, sehingga hampir 200 bupati dan wali kota serta 8 gubernur bisa dipilih pada saat yang direncanakan, yakni Juni 2005.
Namun, beberapa pemerhati pesimistis terhadap jadwal itu. Sebab, hingga kini DPR belum membahas persiapan anggaran yang akan diambil dari APBN. DPRD provinsi, kabupaten, dan kota pun umumnya belum melakukan hal serupa. Beberapa KPU daerah bahkan secara terbuka menyatakan ketidaksanggupan mereka menggelar pilkada pada bulan Juni. Di samping alasan keuangan, mereka mengemukakan berbagai alasan operasional yang tidak memungkinkan terpenuhinya semua unit kegiatan?yang ditetapkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan Kepala Daerah?sebelum Juni 2005.
Sampai berakhirnya pertemuan para gubernur dengan Presiden di Jakarta baru-baru ini, belum juga dirumuskan taksiran besaran bantuan dari APBN yang akan diterima tiap provinsi, kabupaten, dan kota. Mengingat variasi jumlah pemilih, luas, dan kondisi wilayah yang berbeda-beda, pemerintah tidak mungkin menyeragamkan besaran alokasi itu.
Yang juga belum dirumuskan adalah besaran bantuan yang akan diterima suatu kabupaten dan kota dari APBD provinsi. Petunjuk teknis tentang sektor pembelanjaan yang harus menggunakan dana APBN, APBD provinsi, dan APBD kabupaten atau kota juga dibutuhkan. Semua ini diperlukan untuk kepentingan audit dan pertanggungjawaban keuangan, sehingga bisa dijamin para jaksa dan polisi tidak harus sibuk lagi melakukan penangkapan-penangkapan setelah pilkada usai.
Ini baru urusan uang. Bagaimana dengan sistem manajemen dan risiko politik yang akan dihadapi? Bertolak dari penafsiran pembuat Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 bahwa pilkada tidak termasuk kategori pemilihan umum, maka manajemen pilkada tidak dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) tetapi oleh pemerintah. Itulah sebabnya segala aturan pilkada dituangkan dalam peraturan pemerintah, bukan keputusan KPU sebagaimana berlaku untuk pemilu legislatif dan pemilihan presiden.
Penyelenggara pilkada adalah KPU daerah (KPUD) yang bertanggung jawab kepada DPRD. Namun, dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, KPU sama sekali tak disebut-sebut. Seolah-olah KPUD adalah organisasi yang terlepas dari induknya. Anehnya, seperti menjawab kegelisahan berbagai kalangan terhadap "pengucilan" KPU dalam undang-undang itu, tiba-tiba dalam PP No. 6 Tahun 2005 KPU dimunculkan lagi dengan peran "basa-basi" belaka.
Pasal 144 PP itu: ...Komisi Pemilihan Umum dapat melakukan supervisi dan bimbingan teknis kepada KPUD." Kata "dapat" dalam rumusan ini harus diartikan bukan sebagai "kewajiban". Pasal ini aneh karena dua alasan: Pertama, eksistensi KPU tidak disebut sama sekali dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004. Kedua, secara organisatoris KPUD memang organ KPU sehingga tanpa pasal ini pun peran itu secara intrinsik ada pada KPU.
Sebagai konsekuensi dari penempatan manajemen pilkada di tangan pemerintah, segala kemelut yang akan terjadi dalam penyelenggaraan?jika penyelesaiannya bersandar pada interpretasi atas undang-undang dan/atau PP?yang harus membuat interpretasi dan keputusan adalah Presiden. Hal ini rupanya disadari pemerintah, sehingga lahir Pasal 149 dalam PP No. 6 Tahun 2005.
Pertanyaannya, seberapa cepat respons Presiden kelak terhadap setiap kemelut pilkada yang akan terjadi di berbagai daerah? Berbeda dengan KPU, yang setiap anggotanya memiliki otoritas untuk menandatangani surat atas nama KPU demi menjawab berbagai kemelut pemilu, Presiden harus menandatangani sendiri surat-surat semacam itu. Faktor waktu di sini sangat krusial mengingat kesibukan Presiden yang tidak hanya mengurus pilkada, sebagaimana KPU yang hanya mengurus pemilihan umum.
Lalu, risiko politik apa yang harus diantisipasi dari pilkada ini? Risiko yang terbentang di depan mata adalah yang berkaitan dengan proses pencalonan, kampanye, dan penetapan hasil. Dalam proses pencalonan, tak bisa dihindari bahwa hanya seseorang yang memiliki dukungan dana cukup yang akan tampil sebagai calon. Memang tidak semua partai pengusul calon mewajibkan setoran "modal awal" yang besarnya bervariasi. Namun, hampir pasti tiket pencalonan itu tidak mungkin diperoleh secara cuma-cuma: "money politics" berawal di sini.
Selanjutnya, kegiatan kampanye akan menjadi ajang jorjoran membelanjakan uang. Jika semua penggunaan uang terkendali sehingga akal sehat masih mendapat tempat dalam penentuan pilihan, risiko politik berupa tercemarnya citra demokrasi mungkin bisa diminimalkan. Namun, jika ia mematikan akal sehat, alangkah mudaratnya energi yang terpakai dalam pilkada karena hasilnya adalah pemimpin yang "ready to corrupt". Bukankah mereka harus mengupayakan agar investasinya bisa kembali, plus bunganya?
Dalam proses kampanye, antisipasi terjadinya gesekan antarkelompok pendukung para calon perlu dilakukan. Berbeda dengan pemilihan presiden yang berskala besar, yang menang-kalahnya tidak secara langsung berkait dengan "kehormatan" emosional kelompok-kelompok klan, suku, daerah asal (asli setempat atau pendatang), dan bahkan agama, pilkada ini sangat sulit menetralkan sentimen primordial yang berkait dengan pengelompokan itu. Ajang kampanye terbuka harus meminimalkan risiko konflik sosial, terutama di daerah-daerah yang memiliki embrio disharmoni sosial, terlebih di daerah yang bara konflik masa lalunya belum padam betul.
Penetapan hasil pilkada adalah tahap yang paling tinggi risiko konflik politiknya. Jangan lupa, dalam proses pemilihan kepala daerah di DPPD saja, pendukung calon yang kalah selalu memprotes habis-habisan calon terpilih. Berbagai tuduhan dilemparkan, demonstrasi besar tak jarang terjadi. Dalam pilkada ini, ada aturan yang jika tidak cukup luas disosialisasi serta tidak disiapkannya mental masyarakat akan menjadi pemicu konflik. Aturan itu terdapat dalam Pasal 107 ayat (2) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 dan Pasal 95 ayat (2) PP No. 6 Tahun 2005. Dalam ketentuan itu, pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 25 persen dari suara sah?jika perolehan suara itu tertinggi di antara calon yang ada?dapat ditetapkan sebagai pemenang.
Rumusan yang merepresentasikan defisit demokrasi dan legitimasi ini diduga bertolak dari keinginan pembuat undang-undang untuk menghindari pemilihan putaran kedua yang akan memakan biaya lagi. Semangat undang-undang ini jelas agar pemilihan cukup sekali. Putaran kedua hanya akan dilakukan jika tidak ada peserta yang memperoleh dukungan lebih dari 25 persen.
Niatnya mungkin baik. Persoalannya, hal ini menyebabkan terbukanya kemungkinan adanya calon yang dinyatakan menang, sementara lebih dari 70 persen pemilih tidak mendukungnya. Kondisi ini rawan dieksploitasi para pendukung calon-calon yang kalah dengan memprovokasi rakyat untuk menolak penetapan itu. Potensi konflik ini akan mekar jika maraknya penggunaan uang oleh tiap pasangan calon benar adanya, dan pelibatan sentimen primordial dalam proses kampanye tak terhindarkan. Artinya, mereka yang kalah tidak terjamin keikhlasannya menerima kekalahan kolektif model mayoritas sederhana versi Pilkada 2005 ini.
Dengan model kemenangan 25 persen plus satu ini, kepala daerah yang maju untuk jabatan kedua akan berpeluang besar untuk menang. Kecuali jika citranya sudah terlalu buruk di mata masyarakat. Tapi, jika ia normal saja, peluang itu besar. Bukankah ia telah lima tahun menyosialisasi diri dengan berbagai cara kepada para pemilih? Keadaan ini akan berbeda jika ketentuan tentang pemenang pilkada mengikuti rumus 50 persen plus satu, seperti yang diterapkan dalam Pemilihan Presiden 2004.
Kesimpulannya, mengingat begitu banyak potensi konflik dalam pilkada, akal sehat mengharuskan adanya proses sosialisasi yang intensif dan meluas agar masyarakat benar-benar disiapkan mentalnya untuk berpartisipasi dan menerima hasil pilkada sebagaimana mestinya. Pilkada bukan sekadar berkenaan dengan tahapan-tahapan teknis kegiatan. Kalau untuk maksud yang baik itu tidak dapat dihindari terjadinya penundaan, keputusan semacam itu jangan diharamkan. Demokrasi Indonesia tidak akan tercemar hanya karena pilkada ditunda. Ini juga demi menghindari ledakan bom waktu yang bisa meledak sepanjang perjalanan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo