Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Kisah Merbau yang Pergi Jauh

Kayu merbau hasil penebangan liar di Papua mengalir bebas sampai ke Cina. Negara dirugikan Rp 7,2 triliun setiap tahun, tapi belum ada cukong yang ditangkap.

28 Februari 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TUMPUKAN gelondongan kayu merbau itu menggunung di Pelabuhan Zhangjiagang, Shanghai, Cina. Dari laut lepas, terlihat mirip jejeran bukit cokelat di tepi pantai yang berdekatan dengan Sungai Yangtze. Buat mengelilingi bukit-bukit merbau, orang mesti menggunakan kendaraan bermotor. Di pelabuhan ini pula jual-beli kayu merbau secara besar-besaran terjadi setiap hari.

Tak jauh dari situ, di selatan Shanghai, terbentang kota kecil yang menjadi pusat pengolahan kayu, yang menyulap kayu bulat merbau menjadi bahan lantai mewah. Setiap tahun, dari perut 500 perusahaan itu keluar 2,5 juta meter persegi lantai kayu yang diekspor ke Amerika dan Eropa. Mereknya pun Merbau. Semua ini diproduksi di kota kecil tersebut. Sambil menjelaskan kualitas kayu olahan itu, seorang pedagang kayu bernama Shelman Siu dengan bangga menyebut julukan kota itu. ?Inilah Kota Merbau,? katanya.

Semua itu terekam jelas dalam video cakram digital berjudul The Last Frontier, Illegal Logging in Papua and China?s Massive Timber Theft yang dipublikasikan pada 17 Februari lalu bersama hasil investigasinya. Video ini dibuat oleh tim dari lembaga Telapak dan Environmental Investigation Agency (EIA), yang melakukan investigasi lewat penyamaran. Ketika datang ke ?Kota Merbau?, dua anggota tim berpura-pura menjadi seorang importir kayu. Kamera video mereka sembunyikan dalam tas yang dibawanya.

Tanpa sungkan, Shelman pun mengakui semua kayu olahan di kota yang bernama resmi Nanxun itu berasal dari Papua. ?Mirip penyelundupan,? ujarnya kepada anggota tim investigasi.

Hasil investigasi yang disebarkan ke mana-mana mestinya membuat gerah pejabat Indonesia. Apalagi digambarkan pula dalam rekaman itu, Kota Nanxun kini menjadi amat makmur. Maklumlah, kayu merbau bisa mereka ekspor dengan amat mahal ke Amerika dan Eropa. Setelah diolah, harganya mencapai Rp 2,2 juta per satu meter kubik kayu merbau. Bandingkan dengan harga kayu itu saat dibeli dari masyarakat adat Papua. Orang Papua hanya diberi duit Rp 102 ribu untuk satu meter kubik kayu merbau, setara dengan sekarung beras.

Jadi, tak mengherankan jika data Pemerintah Daerah Papua menyebutkan, dari 2,5 juta penduduk di Bumi Cenderawasih, separuhnya melarat. ?Penebangan liar telah menghancurkan kehidupan masyarakat adat,? kata Jhon Poly Menanti, anggota Forum Komunikasi Generasi Papua, sebagaimana dikutip Telapak.

Dari investigasinya, Telapak dan EIA memperoleh data yang lengkap tentang penyelundupan kayu dari Papua. Mereka memulai laporan dengan menggambarkan kehidupan warga Sorong, Papua. Warga yang hidup di gubuk reot tanpa penerangan listrik. Di kawasan inilah Telapak dan EIA menemukan sejumlah lokasi penebangan liar. Sempat direkam sebuah tongkang Malian Nois Labuan yang datang dari Malaysia sedang bersiap- siap mengangkut kayu. Bahkan tim dari Telapak dan EIA ini bisa berhubungan langsung dengan cukong kayu dengan cara menyamar dalam berbagai kesempatan.

***

Di Jakarta, mereka merekam pembicaraan dengan Yaman Yoe, seorang pengusaha kayu asal negara tetangga. ?Tak ada orang Indonesia yang dapat mengekspornya (kayu gelondongan), tapi kami mampu melakukannya. Segalanya mungkin saja terjadi di sini,? katanya. Direkam pula kalimat pria berkulit kuning ini yang mengatakan membayar aparat US$ 50 (sekitar Rp 450 ribu) per meter kubik. ?Lalu kiriman akan sampai tanpa ada yang mengganggu,? katanya.

Dalam laporan The Last Frontier, disebutkan adanya pengusaha dari PT Rimba Kayu Arthamas yang diduga terlibat dalam permainan kayu. Tapi pengurus perusahaan yang berkantor di kawasan Jakarta Barat ini tak bersedia menjawab tuduhan ini. Wartawan Tempo yang berkunjung ke kantor Rimba Kayu Arthamas, Jumat pekan lalu, disambut empat pria berwajah dingin.

Salah seorang di antaranya bernama Didi. Dia mengatakan Rimba Kayu Arthamas sudah dua tahun tak beroperasi. ?Mungkin di sana (Papua) lagi ada masalah. Kantor pusat kami di Papua,? katanya. Selebihnya, Didi tak bersedia menjelaskan lagi. ?Perusahaan kami enggak perlu memberitahukan ke luar,? katanya. Dia mengatakan, pimpinan perusahaan itu sedang berada di luar negeri.

Telapak juga menyebut perusahaan lain, CV Cipta Kayu Mas Abadi, dari Surabaya, yang beroperasi menebang hutan di Papua. Mereka telah menghubungi salah seorang pengurusnya, Deddy, pada September tahun lalu. Waktu itu Deddy menawarkan kayu bulat merbau dari Sorong untuk ekspor. Deddy menawarkan 5.000 meter kubik kayu merbau dengan harga Rp 1,4 juta per meter kubik.

Namun pria yang bernama lengkap Deddy Hermawan kepada wartawan Tempo membantah terlibat dalam pembalakan ilegal. ?Ke Papua saja saya tak pernah. Dulu saya berbisnis kayu di Ternate, dan bisnis saya legal,? ujarnya. Sekarang Deddy mengaku tak ikut berbisnis kayu lagi. ?Sudah dua tahun lalu, sekarang saya bisnis properti,? katanya.

***

Cerita beralih ke Singapura. Kamera The Last Frontier menyorot salah satu pojok Kota Singa. Di sana ada sebuah tempat yang di dalamnya sesak dengan kayu. Dua pria berkulit kuning menghitung uang. Yang satu berperawakan gendut, kepalanya hampir botak, berkacamata, dan di badannya melekat kaus singlet. Satu lagi lebih muda, berpakaian rapi. Dia disebut bernama Frankie Chua dari Century Wood Products.

Sesekali mereka menyebut diri sebagai mafia. ?Masalahnya ada seseorang yang meminta kami melakukan penyelundupan, ya kami lakukan,? kata dia sambil terkekeh. ?Menyelundupkan kayu itu lebih baik daripada obat bius.? Omongan seperti ini meluncur dari mulut pria bernama Frankie Chua. Telapak dan EIA mengidentifikasi pria ini adalah tokoh yang menyiapkan dokumen palsu untuk proses penyelundupan kayu dari Papua.

Koresponden Tempo di Batam, Jumat pekan lalu, menyeberang ke Singapura. Dia sempat singgah ke kantor Century Wood Products. Perusahaan ini terdaftar di pemerintah Singapura di Anglong Lane#05-04 No. 6. Tempat ini adalah sebuah kondominium dan rumah tinggal. Direkturnya adalah Chua Kee Hin. Sayang, Chua tak berada di tempat.

Ada tiga kegiatan Century Wood Products, yakni memproduksi kayu olahan, membuat kayu lapis dan sejenisnya, serta penggergajian. Di Kranji, Singapura, terlihat dari kejauhan, sebuah forklift mengangkut kayu olahan yang siap diproduksi. Namun aparat keamanan melarang Tempo masuk sebelum mendapat izin dari pemerintah Singapura.

Benarkah perusahaan ini terlibat dalam kasus pembalakan liar? Sekretaris Pertama Kedutaan Besar Singapura di Indonesia, Adrian Chung, mengatakan belum mendengarnya. Karena itu dia tak bisa menjawabnya. Chung malah bertanya, ?Apakah saya bisa mendapat laporannya?? Dia mengaku mengetahui masalah ini di surat kabar. Tapi baru kali ini dia mendengar ada keterlibatan pengusaha Singapura.

Chung memastikan, pemerintah Singapura belum bisa bertindak. ?Kalau memang di pihak kami ada orang yang melanggar hukum Singapura, pasti dihukumlah itu.? Tapi harus ada bukti yang jelas. ?Bukan sekadar omongan,? katanya.

***

Telapak dan EIA juga menemukan fakta, yang paling aktif dalam menebang kayu adalah sejumlah pengusaha dari Malaysia. Pengusaha negara tetangga itu menyediakan alat berat dan modal. Dari Papua, kayu itu diselundupkan ke Malaysia. Di negara inilah, menurut pedagang kayu dari Shanghai, Shelman Siu, disiapkan bermacam surat. ?Sehingga identitas kayu itu berubah menjadi dari Malaysia,? tutur Shelman sebagaimana terekam dalam video milik Telapak itu.

Menurut Telapak, selama ini para cukong memanfaatkan Koperasi Masyarakat Papua (Kopermas). Diduga oknum aparat terlibat dalam kasus illegal logging ini. Akibatnya, penebangan kayu liar pun tak terkendali lagi. Menurut catatan Dinas Kehutanan Papua, setiap tahun hutan Papua yang luasnya 40 juta hektare lenyap sekitar 1,2 juta hektare. Kerugian negara di sini mencapai Rp 7,2 triliun per tahun. Nilai ini lima kali lipat anggaran pendapatan dan belanja daerah Papua tahun 2005 yang sebesar Rp 1,4 triliun.

Diperkirakan, usia hutan Papua hanya bertahan 20 tahun lagi. ?Saya yakin, di masa mendatang kami sudah tak bisa lagi membangun rumah dari kayu merbau, tapi pakai pohon bambu saja,? kata Arnold Moses Wafrak, pemuda di Teluk Wondama. Dia berharap, pemerintah segera menghentikan aktivitas menggunduli hutan di Papua. Sebab, hal itu lebih banyak merugikan masyarakat di sana.

***

Hingga akhir pekan lalu belum satu pun cukong yang diperiksa penegak hukum karena pembalakan liar itu. Telapak dan EIA sudah menyampaikan 30 nama cukong ke Departemen Kehutanan. Bahkan Menteri Kehutanan M.S. Ka?ban sudah melaporkan 20 nama cukong dan aparat yang menjadi beking itu ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, di Istana Negara, Selasa Pekan lalu. Data yang sama juga sudah berada di tangan Kejaksaan Agung dan Kepolisian RI.

Penyelundupan kayu memang menjadi masalah yang amat serius karena kerugian yang diderita negara sungguh besar. Lewat pembalakan ilegal dari berbagai hutan di Indonesia, negara dibobol Rp 30-45 triliun. Ini sama dengan lima kali anggaran Departemen Kesehatan pada tahun ini yang Rp 7,4 triliun.

Kepala Polri Jenderal Da?i Bachtiar mengatakan segera membentuk tim terpadu untuk memburu para cukong kayu ilegal berikut bekingnya. Kepala Kepolisian Daerah Papua, Inspektur Jenderal Dody Sumantyawan, tak menafikan bahwa ada anggota polisi yang terlibat pembalakan liar. ?Namun kami terus menertibkan anggota kepolisian di wilayah Papua,? katanya. Dia menunjuk contoh bekas Kepala Polres Sorong, Faisal A.N., yang kini sedang diadili dengan tuduhan terlibat pembalakan liar. ?Semoga itu kasus terakhir.?

Adapun Kepala Penerangan Kodam XVII/Trikora, Mayor CAJ G.T. Situmorang, tak secara tegas membantah tuduhan tentang tentara yang terlibat dalam kasus pembalakan liar di Papua. Situmorang mengatakan, pihak Kodam akan berterima kasih apabila ada informasi yang dilengkapi data dan bukti akurat mengenai kegiatan penebangan liar yang melibatkan jajaran TNI. ?Bagaimana mungkin kami menindaklanjuti keterlibatan anggota kami jika datanya tidak ada,? katanya.

Jika memang demikian, kenapa cukong-cukong kayu liar itu tak jua masuk bui? ?Itu semuanya berpulang pada kemauan aparat keamanan,? kata seorang perwira tinggi polisi. Dia mencontohkan daerah Papua, polisi di sini sudah dilengkapi helikopter dan pesawat terbang. ?Mereka sebenarnya gampang menang-kap cukong pembalakan ilegal itu. Me-reka juga bisa memantau tongkang dan kapal yang membawa kayu,? kata-nya.

Buktinya, Telapak dan EIA yang anggotanya tak sebanyak petugas kepolisian tak sampai repot-repot amat menelusuri ekspor kayu ilegal dari Papua. ?Cukup dengan menyamar sebagai pembeli kayu,? kata M. Yayat Afianto dari Telapak. Itu sebabnya, mantan Sekretaris Jenderal Departemen Kehutanan Soeripto kurang yakin dengan keseriusan aparat penegak hukum untuk memberantas penebangan liar. ?Banyak pegawai di instansi yang berhubungan dengan kehutanan terlibat kasus ini,? katanya kepada Syaiful Amin dari Tempo.

Soeripto tak terkejut mendengar penjelasan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh tentang cukong yang akan ditelusuri itu terus menciut. Mula-mula 30 orang, menciut menjadi 20 orang. Bahkan Rabu pekan lalu jumlah cukong yang hendak ditelusuri mengempis menjadi lima. Semoga, angka lima itu tak bakal meletus satu per satu, seperti lagu anak-anak Balonku Ada Lima.

Nurlis E. Meuko, Lis Yuliawati (Jakarta), Cunding Levi (Papua), dan Rumbadi Dale (Singapura)


Siapa Saja yang Terlibat?

  1. Masyarakat Adat
    • Masyarakat tradisional perambah hutan ini sebenarnya menjadi korban penipuan dari para cukong.
    • Para cukong menjanjikan membangun gereja dan membeli mesin pemotong kayu. Mereka juga membentuk Kopermas (Koperasi Pemberdayaan Masyarakat) guna memperoleh lahan kayu untuk ditebang.
    • Masyarakat dibayar setara dengan upah memotong kayu, cuma Rp 102 ribu per m3.
  2. Oknum Aparat atau Pejabat
    • TNI-AD
    • TNI-AL
    • Kepolisian
    • Departemen Kehutanan
    • Pemerintah daerah setempat

    Aparat keamanan dan Departemen Kehutanan jadi beking, mengurus surat-surat, bahkan di antaranya ada yang jadi broker. Sedangkan pemerintah setempat terlibat dalam perizinan lahan. Para beking mendapat imbalan sekitar Rp 1,8 juta untuk setiap kali kayu ilegal yang diselundupkan.

  3. Broker dan Cukong:
  1. Pengusaha Kayu dari Jakarta dan Surabaya
    • Bertugas membuka jaringan di Papua.
    • Bertindak sebagai makelar dan penyedia jasa keamanan.
    • Menjual kayu Rp 1,4 juta per meter3 sampai ke kapal, termasuk surat-suratnya.
  2. Pengusaha dari Kota Sibu, Serawak, Malaysia
    • Bertindak sebagai penebang dan penyedia logistik.
    • Memanfaatkan konsesi Kopermas.
    • Menyelundupkan kayu ke Papua Nugini dan Serawak.
    • Melakukan pencucian kayu.
  3. Pengusaha di Singapura
    • Bertindak sebagai makelar.
    • Menyewakan kapal pengangkut dan tongkang.
    • Menjalin hubungan bisnis dengan Hong Kong dan India untuk penjualan kayu ilegal.
  4. Pengusaha di Hong Kong
    • Sebagai makelar dan pembeli.
    • Berperan penting dalam memasok kayu dari Papua ke Shanghai dan Provinsi Guangzhou, Cina.

Titik-titik Penjarahan

Hampir seluruh hutan masyarakat adat dan hutan lindung Cenderawasih di Papua menjadi ajang penjarahan kayu oleh para cukong. Berdasarkan investigasi lembaga Telapak dan The Environmental Investigation Agency, penebangan liar terjadi di lima titik, yakni: Sorong, Fakfak, Nabire, Manokwari, dan Serui.

Sekarung Beras Jadi Dua Ekor Babi

Sungguh beruntung para cukong dan beking penyelundupan kayu di Papua. Mereka cukup membayar Rp 102 ribu per meter kubik kayu merbau dan matoa dari masyarakat. Setelah dibawa ke Cina, dengan melewati Malaysia atau Singapura, kayu seharga satu karung beras itu bisa berlipat-lipat harganya. Di sana kayu itu dihargai Rp 2,22 juta per meter kubik, sama dengan harga dua sampai tiga ekor babi di Papua.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus