Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Benarkah korupsi "sudah membudaya" pada bangsa kita seperti diutarakan Bung Hatta tahun 1970-an? Sejak dua dasawarsa lalu (bahkan bertahun-tahun sebelumnya dalam makalah-makalah sosiologi di Universitas Massachusetts), saya secara tegas telah menegasikan anggapan itu—keyakinan yang tak berubah hingga kini. Dalam kaitan dengan upaya penggerusan kanker korupsi yang kini lagi gencar dilaksanakan oleh pemerintah pilihan rakyat, argumen untuknya kembali perlu diangkat sekilas.
Suatu perilaku umum baru bisa disebut "sudah membudaya" jika itu sejalan dengan dan/atau bertolak dari nilai-nilai yang juga umum disantuni. Jika tidak, perilaku itu hanyalah merupakan praktek yang karena sebab-sebab politiko-historis tertentu telah meluas, seperti tak terelakkan, seolah-olah sudah niscaya (Pabottingi, 1991). Toh perilaku umum yang niscaya mana pun tak otomatis bisa dinobatkan sebagai "perilaku budaya". Sejauh perilaku itu belum klop, apalagi masih bertentangan, dengan nilai-nilai dalam nurani si pelaku_-selama dia masih mati-matian menolak dinyatakan sebagai koruptor, selama itu pula "laku korupsi"-nya bukan "laku budaya".
Atas fenomena pertentangan antara "laku korupsi" dan nilai-nilai yang dianut, apalagi jika nilai tersebut tak terpisahkan dengan keyakinan agama si pelaku, itulah yang hendak saya exploit lewat gagasan dalam tulisan ini. John Rawls melihat "rangkaian hak dan kebebasan", "kesempatan dan kekuasaan", serta "penghasilan dan kekayaan" (yang disebutnya primary social goods), sebagai tiga kelompok hajat niscaya manusia. Hemat saya, ketiganya bisa disederhanakan menjadi hajat nilai dan hajat material. Untuk bisa hidup bermakna, manusia normal mana pun akan selalu menghendaki terpenuhinya kedua jenis hajat ini setiap saat dalam hidupnya.
Saya percaya bahwa pemerintah baru benar-benar tulus hendak memberantas korupsi. Dalam dua tiga bulan terakhir, terasa betul kehendak, langkah, dan ofensif pasangan presiden beserta aparatnya ke situ. Sebaliknya, juga terasa betul betapa itu banyak terbentur dan berujung pada sarkasme. Sarkasme mutakhir tak lain dari ucapan "ustad di kampung maling" terhadap Jaksa Agung dari seorang anggota DPR dalam suatu rapat resmi. (Sebetulnya, saya menyayangkan cepatnya Jaksa Agung terprovokasi oleh ucapan tersebut sehingga jadinya mengacaukan rapat. Padahal siapa tahu yang dimaksud "kampung maling" oleh anggota DPR yang terhormat tadi adalah kampung DPR itu sendiri. Bukankah saat itu Jaksa Agung lagi berada di tengah-tengah mereka?)
Tetapi saya tak percaya bahwa korupsi bisa diatasi dengan "transformasi kebudayaan"—seperti pernah diutarakan oleh Soedjatmoko, Mochtar Lubis, Umar Kayam—guru-guru bangsa yang integritas dan kejujurannya sangat saya hormati. (Mereka prototipe putra bangsa penerus teladan para pendiri republik kita yang hingga akhir hayat tetap mempertahankan hidup mulia dan berharkat hidup indah dan benar, tanpa korupsi.)
Ada tiga nalar untuk itu. Yang pertama sudah kita utarakan: korupsi bukanlah "laku budaya". Kedua, bangsa kita sudah lama kaya dengan sistem nilai yang sesungguhnya benci pada "laku korupsi", apalagi dalam bentuk bizar-patologis seperti yang berlaku sekarang. Selain salah sasar itu, ketiga, suatu transformasi kebudayaan tidaklah terjadi dalam tempo dua tiga dasawarsa. Bicara tentang historis, itu menuntut waktu ratusan tahun.
Lalu ada orang-orang yang mengusulkan solusi revolusioner berupa "pemotongan satu dua generasi" pada jajaran birokrasi kita. Wah! Asumsinya naif: menganggap pelaku korupsi hanya bisa dibiangi oleh para pejabat yang berusia 50 atau 60 tahun ke atas. Lalu ada yang mengusulkan hukuman mati model RRC. Ini bagus dan saya setuju sekali. Jika sanggup.
Tetapi untuk menggerus praktek korupsi sesungguhnya ada cara termudah dan termurah. Cukup jika kita melakukan apa yang dalam beberapa kesempatan saya sebut "magnifikasi sumpah". Syaratnya hanyalah imajinasi dan kemauan politik. Apa dan bagaimana kerja "magnifikasi sumpah" ini?
Acara sumpah adalah sesuatu yang sudah terlembaga dalam praktek bernegara di seluruh dunia, yaitu dalam pelantikan jabatan publik dan dalam proses peradilan. Ada pengakuan universal pada suatu daya adikodrati yang paling menentukan hidup dan nasib hidup manusia, betapa dalam pun klaim sekularitas di suatu negara. Magnifikasi yang saya maksud hanyalah pemberian spesifikasi arah dan gradasi bobot dari sumpah menurut kebutuhan. Lantaran praktek korupsi benar-benar sudah menjadi kanker akut yang sudah lama tak terbendung menggerogoti jiwa raga negara nasion kita dengan intensitas yang kian lama kian meningkat.
Yang saya maksud "spesifikasi arah" adalah penyebutan kasus secara spesifik dalam sumpah dan "gradasi bobot" penyebutan bobot ganjaran adikodrati yang bersedia dihadapi terdakwa jika dia sengaja, apalagi terencana, berbohong. Ini dimaksudkan untuk mengatasi kedua jenis sumpah bersifat sangat umum tadi. Dalam kasus pidana korupsi maupun pembunuhan yang pelakunya menurut nalar umum (common sense) sudah gamblang, misalnya, terutama menyangkut dana raksasa milik publik atau menyangkut kejahatan besar terhadap kemanusiaan, lebih-lebih jika peradilannya sudah berlarut-larut atau diperkirakan akan berlarut-larut, magnifikasi sumpah akan merupakan langkah yang sangat, sangat bagus.
Masih ingat betapa berlarut-larutnya "ke-Pinokio-an" dalam peradilan kasus Akbar Tandjung, misalnya, sejak dari tahap untuk memperoleh pengakuan bahwa dia sungguh-sungguh sudah menerima dana Rp 40 miliar untuk fakir miskin yang kemudian ternyata dikorupsi itu. Masih ingat betapa arah dan akhir proses peradilan ini sengaja dibuat berkelok-kelok tak menentu oleh lembaga-lembaga peradilan yang menangani kasus itu ke arah yang justru menjauhi bukti (atau pembuktian) yang sebenarnya mengarah ke penegakan kebenaran dan keadilan?
Untuk seorang muslim, dan tampaknya laku korupsi pada kategori inilah yang jumlahnya terbesar, redaksi untuk magnifikasi sumpah itu bisa berbunyi: "Demi Allah, saya bersumpah bahwa saya sungguh-sungguh tidak melakukan kejahatan... seperti didakwakan dan jika saya berdusta biarlah saya ditimpa hukuman dunia akhirat yang setimpal dengan kejahatan itu". Untuk kasus pelecehan dan/atau penyalahgunaan hukum yang dalam nalar umum sebetulnya sudah gamblang dan juga sudah berlarut-larut, kata "hukuman" dapat diganti dengan kata "kutukan".
Untuk kategori pelaku beragama "samawi" non-muslim, mungkin penyebutan "Allah" memerlukan sedikit modifikasi dan/atau tambahan. Adapun untuk kategori pelaku dari agama-agama dengan nomenklatur tanpa ketuhanan, hukuman atau kutukan yang diimbau bisa bertumpu pada leluhur dan/atau keturunan atau subyek adikodrati apa saja yang lazim dirujuk oleh sistem kepercayaan yang mereka santuni.
Magnifikasi sumpah baru akan tumpul jika pelaku kejahatan adalah dari kategori ateis, agnostik, atau yang sama sekali tak percaya pada alam gaib. Mereka ini mungkin bisa diancam dengan sumpah yang mempertaruhkan kehormatan pribadi dan anak-keturunan. Akan tetapi tampaknya jumlah pelaku kejahatan dalam kategori ini di negeri kita pun sangat kecil adanya, sehingga praktis tak berarti.
Tentu saja introduksi acara sumpah dalam bentuk yang sudah dimagnifikasi demikian memerlukan pengesahan konstitusional. Maka antisipasi ini dapat dijadikan masukan bagi kontemplasi kemungkinan amendemen selanjutnya atas konstitusi kita. Dapat diperkirakan bahwa banyak, jika tidak mayoritas anggota DPR/MPR yang ada sekarang, akan serta-merta menentang inisiatif seperti ini. Juga dapat diperkirakan bahwa mungkin penolak tergigih darinya justru akan datang dari kalangan lembaga-lembaga peradilan itu sendiri beserta lembaga yang terkait dengannya. Baik mayoritas DPR/MPR maupun kalangan lembaga-lembaga yang disebut terakhir memang sudah lama peka, gampang teriritasi oleh, dan sangat resisten terhadap segala jenis obat anti-maling.
Meskipun demikian, kita dapat berharap dari anggota DPR/DPD maupun dari lembaga peradilan tadi yang iman atau kepercayaannya belum somplak. Kita masih tetap percaya pada Jaksa Agung baru kita, dan upaya sebagian anggota DPR untuk menggantinya menelanjangi aib fraksi mereka sendiri. Kita pasti juga dapat mengharapkan dukungan dari lembaga atau organisasi keagamaan dan kemasyarakatan maupun dari dunia pendidikan sejati yang memiliki integritas iman dan/atau integritas kebangsaan. Insya Allah, puluhan juta di antara kita tak pernah melepaskan harapan akan tampilnya dari republik ini suatu bangsa, suatu negara nasion yang mampu tegak tegar menyongsong masa depan secara terhormat.
Tak terkira besarnya uang negara yang bisa diselamatkan jika magnifikasi sumpah seperti ini dapat kita wujudkan. Juga mungkin tak terkira betapa cepatnya kita akan terbebas dari korupsi sebagai kanker akut, sebagai patologi parah.
Ini saya yakini, seperti saya yakin bahwa mayoritas pelaku korupsi itu masih tetap percaya pada yang adikodrati, masih tetap menyantuni nilai-nilai, betapa lama pun mereka mengalami kesomplakan atau keterbelahan dalam iman (split faith) maupun sistem nilai selama ini. Begitulah maka pelaku korupsi itu terus saja berusaha "mengikis" atau "menyamarkan" korupsi mereka dengan rajin naik haji atau melakukan umrah, dengan membangun rumah ibadah, derma ke sana-kemari, menggelar kebaktian, melakukan upacara kepercayaan, dan seterusnya.
Sekali lagi, inilah solusi termudah dan termurah untuk mengatasi kanker korupsi yang jika tak segera diatasi akan melumpuhkan, jika tidak mematikan, bangsa dan negara nasion kita. Kita tak perlu kikuk apalagi ragu menjadi bangsa pertama di dunia yang menerapkan magnifikasi sumpah seperti ini dalam praktek bernegara. Selalu diperlukan keberanian untuk tiap inisiatif orisinal berdampak jauh. Jer basuki.... No gain without pain. Dapatkah sekali ini kita tampil sebagai pelopor kebajikan bernegara di dunia?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo