Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Peran influencer sangat penting dalam aktivisme masyarakat yang menjadi salah satu kunci perubahan sosial.
Meningkatnya peran influencer ternyata belum diimbangi dengan kemampuan mereka memeriksa validitas informasi.
Hal yang tak kalah penting dalam edukasi literasi digital adalah peran masyarakat sipil.
PEMENGARUH di media sosial atau yang populer disebut influencer memainkan peran signifikan dalam ekosistem informasi global sejak beberapa tahun terakhir. Dengan ribuan hingga jutaan pengikut, mereka mampu mempengaruhi opini publik dan menggiring diskusi perihal sosial, budaya, ekonomi, serta politik.
Peran mereka pun sangat penting dalam aktivisme masyarakat yang menjadi salah satu kunci perubahan sosial. Pada tahun politik, influencer kerap disewa untuk memoles citra para kandidat. Menurut ulasan The New York Times, Partai Republik di Amerika Serikat (AS) membangun infrastruktur dan membiayai influencer sayap kanan untuk menyebarkan kampanye mereka di TikTok. Strategi ini berperan besar mengantarkan Donald Trump memenangi pemilihan umum 2024.
Pola serupa juga terjadi di negara-negara lain, termasuk Indonesia. Berdasarkan laporan Reuters Digital News Report 2024, para pemengaruh dan komentator partisan makin menjamur di platform media sosial, khususnya di YouTube serta TikTok, dan menjadi acuan sumber informasi masyarakat global.
Pada November 2024, Pew Research Center melakukan studi terhadap 500 influencer berita populer di Amerika Serikat dan konten yang mereka hasilkan. Selain mengadakan survei, Pew Research Center meninjau lebih dari 28 ribu akun media sosial dan menemukan hampir 40 persen generasi muda AS berusia 18-29 tahun secara teratur mendapatkan informasi dari para influencer yang sebagian besar tidak pernah bekerja di organisasi berita. Studi lain dari Pew mengungkap lebih dari separuh orang dewasa di AS terkadang mendapatkan berita dari media sosial, platform yang digunakan para pemengaruh di media sosial untuk menebarkan pengaruh.
Namun meningkatnya peran influencer ternyata belum diimbangi dengan kemampuan mereka memeriksa validitas informasi sebelum menyebarkannya ke publik. Survei United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) bertajuk “Behind the Screens: Insights from Digital Content Creators; Understanding Their Intentions, Practices, and Challenges,” yang dirilis pada November 2024, mengungkap bahwa 62 persen kreator konten mengaku tidak memeriksa akurasi informasi sebelum membagikannya kepada pengikut mereka. Hanya 37 persen dari influencer yang menyatakan memverifikasi informasi melalui situs pemeriksa fakta sebelum disebarkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Riset yang dilakukan pada Agustus dan September 2024 ini melibatkan 500 kreator konten digital di 45 negara serta wilayah. Mayoritas kreator berusia di bawah 35 tahun dan memiliki 1.000-10 ribu pengikut. Platform yang paling umum mereka gunakan adalah Instagram dan Facebook, yang merupakan produk perusahaan teknologi Meta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sekitar sepertiga responden survei menyatakan mereka membagikan informasi tanpa memeriksa validitasnya asalkan informasi tersebut berasal dari sumber yang mereka percayai. Ironisnya, 41,7 persen responden mengaku mengevaluasi kredibilitas sumber hanya berdasarkan popularitas alias jumlah like dan view yang diterima. Selain itu, hanya 17 persen dari mereka yang mengatakan mengukur kredibilitas konten berdasarkan dokumentasi dan bukti.
Padahal, meskipun sumber tersebut populer, belum tentu informasi yang disampaikan benar. Lantas, bagaimana jika informasi yang mereka sebarkan ternyata palsu? Sementara itu, konten tersebut telanjur dikonsumsi oleh ribuan hingga jutaan pengikut mereka di media sosial. Penyebarluasan konten yang belum teruji kebenarannya tentu dapat menjadi sumber masalah baru dan berpotensi merugikan masyarakat luas.
Menjamurnya Influencer dan Matinya Keahlian
Perkembangan teknologi digital yang memungkinkan semua orang menjadi influencer di media sosial memancing keresahan para ahli yang mendedikasikan waktu bertahun-tahun untuk menguasai sebuah bidang. Seorang akademikus dan ahli pertahanan AS, Tom Nichols, merilis buku The Death of Expertise pada 2017. Buku ini membahas penolakan yang makin meluas terhadap pengetahuan ahli dalam masyarakat modern dan dampaknya terhadap tata kelola demokrasi, pengambilan keputusan, serta kohesi sosial.
Nichols berpendapat bahwa Internet berhasil mendemokratisasi pengetahuan, tapi juga berpotensi menyebarkan disinformasi dan memungkinkan orang awam menantang opini ahli dengan argumen dangkal atau keliru. Dalam bukunya, Nichols menegaskan, meskipun dapat menyebarkan informasi, influencer tidak siap menggantikan ahli dalam bidang yang membutuhkan pengetahuan khusus. Hal ini karena untuk menjadi seorang ahli, diperlukan pelatihan yang ketat, pengalaman bertahun-tahun, dan komitmen untuk belajar terus-menerus, sebuah proses yang tidak dilalui oleh para influencer.
Selain tak mempraktikkan pemeriksaan fakta sebelum menyebarkan pesan, sebagian influencer tercatat tidak transparan mengenai konten berbayar alias pesan sponsor. Tidak seperti para jurnalis yang bekerja di media arus utama, para pemengaruh di media sosial tak berkewajiban mengungkapkan sumber pendanaan mereka dan tidak seluruhnya transparan bahwa konten mereka disponsori.
Sebanyak 53 persen responden survei UNESCO pada 2024 mengatakan mereka telah membuat konten bersponsor atau mendukung merek dan produk tertentu, tapi ternyata 7 persen kreator konten mengaku mereka tidak mengungkapkan sponsor mereka dan menyajikan konten tersebut seolah-olah konten murni tanpa sponsor.
UNESCO bekerja sama dengan Knight Center for Journalism di AS menyelenggarakan kursus pelatihan daring bagi kreator konten dan jurnalis papan atas. Lebih dari 9.000 peserta dari 172 negara berkumpul untuk belajar tentang proses verifikasi sumber berita, bagaimana membentuk opini publik dengan cara yang etis, serta menciptakan konten yang menarik untuk mempromosikan literasi media dan informasi. Kursus daring ini bisa diakses secara gratis sejak Desember 2024, dengan materi yang telah diterjemahkan ke berbagai bahasa.
Di Indonesia, Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Perlindungan Konsumen Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Friderica Widyasari Dewi menyatakan influencer bidang keuangan, yang populer disebut financial influencer (finfluencer), disebut kerap menyampaikan pesan di luar keahlian mereka atau mendukung produk keuangan tertentu demi kepentingan pribadi mereka.
Permasalahan kemudian timbul ketika para pengikut membeli produk keuangan tersebut dan tidak mendapatkan hasil seperti yang dijanjikan. Karena itu, OJK berupaya memfasilitasi program edukasi untuk para finfluencer. Selain OJK, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menyoroti pemengaruh yang menyebarkan pesan yang tidak akurat ihwal kandungan produk kosmetik ilegal sehingga merugikan konsumen. BPOM perlu mengedukasi para influencer agar tak sembarangan mempromosikan produk kosmetik karena masih banyak beredar kosmetik ilegal di pasaran.
Upaya untuk meningkatkan literasi digital masyarakat harus terus dilakukan, khususnya oleh Kementerian Komunikasi dan Digital. Saat ini lembaga tersebut telah menyelenggarakan Program Literasi Digital Nasional bertajuk "Indonesia Makin Cakap Digital". Pada 2024, program tersebut dijalankan dalam bentuk pelatihan gratis secara daring tentang upaya mengenali informasi yang benar dan keliru di ruang maya ini.
Hal yang tak kalah penting dalam edukasi literasi digital adalah peran masyarakat sipil. Program kolaborasi jurnalis dan masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Cek Fakta bisa menjadi contoh. Koalisi ini terdiri atas Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), serta puluhan media massa nasional dan lokal yang tergabung dalam Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI). Kolaborasi ini secara rutin menggelar pemeriksaan fakta untuk memberantas hoaks yang membanjiri ruang digital. ●
Dialektika Digital merupakan kolaborasi Tempo bersama Kelompok Kerja Anti Disinformasi Digital di Indonesia (Kondisi). Kondisi beranggotakan para akademikus, praktisi, dan jurnalis yang mendalami serta mengkaji fenomena disinformasi di Indonesia. Dialektika Digital terbit setiap pekan.
Redaksi menerima artikel opini dengan ketentuan panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo