Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keputusan pemerintah membatalkan rencana kenaikan tarif cukai hasil tembakau sungguh menyedihkan. Keputusan atas nama stabilitas ekonomi dan politik 2019 itu justru menurunkan derajat pentingnya cukai bagi bangsa ini. Selain menjadi sumber penerimaan dan pendorong pertumbuhan ekonomi, pungutan ini merupakan refleksi komitmen negara dalam melindungi manusia Indonesia dari dampak negatif rokok bagi kesehatan.
Celakanya, keputusan ini diambil ketika beragam data menunjukkan pengendalian konsumsi dan upaya mengurangi bahaya rokok dalam kondisi memprihatinkan. Badan Kesehatan Dunia (WHO) menghitung, hingga 2016, perokok aktif Indonesia mencapai 30 persen dari total populasi, terbesar ketiga di dunia—setelah Cina dan India. Dalam laporan bertajuk “Tren Global Prevalensi Perokok”, tanpa adanya perubahan kebijakan pengendalian, Indonesia diperkirakan tak mencapai target mengurangi prevalensi rokok sebesar 30 persen pada 2025.
Potensi kegagalan misi pemerintah mengurangi bahaya rokok bahkan sudah sampai pada situasi yang mengkhawatirkan. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional mematok target perokok muda turun menjadi hanya 5,4 persen pada tahun depan. Faktanya, prevalensi perokok anak dengan usia kurang dari 18 tahun belakangan malah menunjukkan peningkatan dari 7,2 persen pada 2009 menjadi 8,8 persen.
Survei Indikator Kesehatan Nasional mutakhir menunjukkan lima penyebab kematian tertinggi di Indonesia diisi oleh penyakit jantung, stroke, tuberkulosis, diabetes melitus, dan gangguan pernapasan kronis. Semuanya berkaitan dengan dampak buruk rokok. Penyakit jantung dan stroke bahkan telah menyedot dana terbesar pada pembiayaan program Jaminan Kesehatan Nasional yang dikelola Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan.
Di tengah keengganan pemerintah meratifikasi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau WHO, kenaikan tarif cukai hasil tembakau secara reguler seharusnya menjadi alat paling efektif mereduksi konsumsi dan bahaya rokok. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai menyebutkan kenaikan tarif terakhir pada November 2017 juga diproyeksikan bisa menurunkan prevalensi perokok tahun ini sebesar 0,4 persen.
Misi mengendalikan konsumsi rokok tak hanya bertujuan menurunkan risiko penyakit. Memerangi kebiasaan merokok merupakan bentuk keberpihakan terhadap hak setiap keluarga di negeri ini untuk mendapat gizi lebih baik. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan selama satu dekade terakhir rokok konsisten di urutan kedua pengeluaran terbesar masyarakat, setelah beras, mengalahkan pangan bergizi lainnya.
Dengan fakta tersebut, sebenarnya tak ada satu pun alasan yang dapat dibenarkan untuk menunda, apalagi membatalkan, kenaikan tarif cukai rokok. Dalih bahwa kenaikan tarif dibatalkan untuk mencegah industri rokok bangkrut, lalu banyak penganggur, hingga petani tembakau jatuh miskin, juga menyesatkan. Batalnya kenaikan tarif cukai hanya menguntungkan juragan industri rokok. Sedangkan nasib petani dan buruh pabrik tetap bergantung pada kebijakan pabrik yang secara sepihak menentukan harga dan kualitas daun tembakau.
Lagi pula dalam setiap nilai setoran cukai rokok ada hak daerah penghasil tembakau untuk mendapatkan dana bagi hasil. Pemerintah seharusnya tinggal mengoptimalkan dan mengawasi ketat pemanfaatan duit tersebut untuk mengentaskan penduduk miskin dan mengurangi angka pengangguran di sentra tembakau.
Pemerintah tak sepatutnya mengutamakan kepentingan industri rokok, apalagi demi tujuan elektoral di sentra tembakau. Kenaikan tarif cukai rokok harus tetap diberlakukan. Tanpa itu, pemerintah hanya akan mencederai komitmen pembangunan tahun depan yang telah dicanangkan akan berfokus meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo