Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Babi Hutan Dan KB

Sekotong tengah, desa yang terisolir. penduduknya senang berkelahi, kepala desa dipilih yang bernyali besar. soal KB, penduduk keberatan karena perlu banyak anak untuk menjaga serangan babi hutan. (ds)

10 April 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DESA Sekotong Tengah berwilayah 15.579 M2. Tapi sepi dan terpencil. Apalagi Desa di Kecamatan Gerung, Lombok Barat itu, sebagian besar terdiri dari tanah liar dan hutan yang belum terjamah. Ditambah lagi kebanyakan penduduknya berasal dari kawasan Lombok Tengah seperti daerah Lajut, Sengkol, Tanahawu dan Kateng, yang konon terkenal bringas. Hingga setiap pendatang sulit bisa menetap di sana, kalau tak punya nyali seorang pende- kar atau jawara. Apalagi daerah selatannya yang termasuk bilangan rogas. Sepi dan Pengantap yang jauhnya dari pusat kota di Sekotng maka waktu setengah hari berjalan kaki. Tak aneh bila perkara pencurian, merupakan peristiwa sehari-hari. Yang jadi sasaran terutama ialah hewan dan kayu. Dan sang maling ini agaknya rada istimewa juga. Terdiri hanya seorang dua, maling yang punya nyali gede ini berani masuk pekarangan secara terang-terangan. Yang siap bertarung bila berhadapan dengan penghalang maksudnya. Hingga akhirnya penduduk yang bringas itu pun jadi bolat. Akan halnya pencuri kayu selain punya nyali gede, juga tak jarang memanfaatkan penduduk buat bekerja sama. Menghadapi mereka, kabarnya Polisi Kehutanan pun sering lari terbirit-birit. Jangankan pistolnlya sempat diletuskan, justru mereka yang tunggang langgang dikejar sang maling. Tentu saja hal-hal tersebut amat merepotkan setiap Kepala Desa di sana. Dan seakan ada semacam syarat tak tertulis, calon Kepala Desa di sana harus juga punya nyali lebih gede. Seperti Kepala Desa Sekotong Tengah sekarang Mamiq Yakob yang berani berucap, "lebih baik kami diberi pistol ketimbang Honda". Nyali Yakob memang teruji. Menghadapi setiap perkelahian yang tak jarang terjadi di wilayah kekuasaannya, bila tak dapat didamaikan, ia sendiri yang menantang berkelahi. Agaknya wibawa lewat otot memang diperlukan di sana. "Habis kalau tidak demikian, Kepala Desa sering tidak digubris", tukas Mamiq Yakob terhadap komentar orang yang memandang sinis caranya bertindak. Tapi ternyata tindakannya bukan tanpa hasil. Pertikaian antar penduduk -- biasanya gara-gara memperebutkan tanah dan hutan -- jadi mudah didamaikan dan berkurang. Said Abdullah Yang tak kurang pula membuat pening kepala Yakob, ialah gangguan keamanan yang disebabkan babi hutan. "Wereng dikatakan ganas, serangan babi hutan lebih kejam lagi", ujar Yakob. Seingatnya sudah sekitar 3000 babi hutan sempat diracun, toh jumlahnya bukan berkurang. Di Kampung Sayong scorang penduduk pernah jadi korban karena mempertahankan kebunnya dari scrangan hewan ini. Penduduk pun terpaksa berjaga-jaga siang malam. "Kalau kita lengah alamat tidak makan", tutur Nurasih, Kepala Kampung Blongas. Meskipun dipagari, toh penjagaan mutlak perlu. Karena sang babi biasanya ada saja akalnya menggasak tanaman penduduk. "Karena itu Keluarga Berencana di sini belum diperlukan", ujar Nurasih yang kampungnya memeluk 700 warga. Soalnya anak banyak masih diperlukan. Buat membantu menjaga babi. Tak jarang pula desa sepi dan terpencil tapi punya sumber mata pencaharian darat dan laut itu, mengundang selera petualangan. Sekarang ini misalnya desa tersebut sedang diganggu seorang petualang yang dijuluki "Tuan Said". Nama sebenarnya Said Abdullah. Ia sesungguhnya sudah menetap di Sekotong Tengah. Tapi polahnya membomi laut Teluk Blongas buat dikeduk ikannya, mendidihkan darah warga desa. Suasana pantai selatan Lombok yang sepi, agaknya melahirkan ilham si Said buat secara sewenang-wenang bertindak melanggar hukum tadi. Tentu saja merugikan para nelayan di pantai yang memang bernama Kampung Sepi itu. Kehidupan Desa Sekotong Tengah seperti kisah dalam film koboy saja. tentunya bukan tak penting mendapat perhatian. Apalagi sejarah pernah mencatat bahwa pasukan Sekutu tempo hari pernah menggunakan daerah tersebut sebagai tempat pendaratan untuk menggempur tentara Jepang di sekitarnya. Kabarnya bekas-bekas pertempuran itu sampai sekarang masih bisa ditonton. Ini barangkali bisa dikaitkan buat tujuan pariwisata. Apalagi pesisir Sepi, Bengkang dan Pengantap itu, kemolekannya bisa dibilang boleh. Cuma saja tak pernah terlirik oleh yang berwenang di Pemda Lombok Barat. Sebab memang mereka tak pernah ke sana. Maklum hubungan sulit.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus