Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah reformasi, demokrasi di Indonesia telah melahirkan masyarakat yang melek politik dan peduli terhadap kandidat pemimpin yang akan dipilihnya. Namun rakyat yang semakin cerdas politik belum tentu mampu memahami intensionalitas politik para politikus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam dua pekan terakhir saja, pertarungan pemilihan kepala daerah 2018 telah kembali menginduksi kecemasan rakyat Indonesia. Babak pertama dari drama pesta demokrasi adalah kehebohan tentang murka mahar seorang bakal calon gubernur. Media massa pun mendapat asupan materi yang dahsyat untuk dikapitalisasi karena masalah terseksi politik kita masih seputar uang. Terjadilah penyangkalan oleh beberapa pejabat publik yang telah- maupun tidak akan pernah- mendapat amanah rakyat bahwa mereka tidak pernah dimintai mahar oleh partai politik. Ambiguitas informasi ini harus dicerna oleh rakyat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hanya aktor politik sesungguhnya yang mengetahui apa yang terjadi dalam lobi-lobi politik tersebut. Karena itu, perdebatan soal ongkos politik akan selamanya sumir, tidak terlalu berguna dikonsumsi rakyat (kecuali diikuti oleh letupan perubahan), dan hanya akan menimbulkan kecemasan rakyat yang tidak tahu-menahu realitas politik di lapangan. Adapun rakyat penadah gelontoran uang menjelang pencoblosan tidak merasa punya tanggung jawab moral atas baik-buruknya calon yang ia pilih maupun implikasi atas pilihannya yang bergerak atas doktrin uang "receh".
Stres dan politik menarik perhatian American Psychological Association (APA). Jika 10 tahun belakangan APA melakukan survei online nasional tentang stres dan dampaknya terhadap kesehatan dan kesejahteraan orang dewasa di Amerika Serikat, khusus pada 2016 mereka menjaring data soal tingkat stres yang diasosiasikan dengan pemilihan presiden yang dimenangi oleh Donald Trump. Hasilnya, 52 persen rakyat Amerika Serikat menyatakan pemilihan presiden 2016 adalah sumber stres yang signifikan dalam kehidupan mereka. Sebanyak 56 persen milenial (usia 19-37) dan 50 persen orang tua (usia 71 tahun ke atas) mengatakan pemilihan presiden adalah sumber stres yang sangat signifikan.
Pemilihan Gubernur DKI Jakarta pada 2017 juga riuh rendah. Kondisi ini mendorong Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia Cabang DKI Jakarta bekerja sama dengan social media hub Selasar melakukan survei pendahuluan tentang dampak media sosial dalam pemilihan Gubernur DKI. Survei ini berdasarkan 700 data user Selasar, termasuk 107 partisipan aktif- 75 orang dengan kartu tanda penduduk (KTP) non-DKI dan 32 orang KTP DKI. Adapun partisipan milenial sebanyak 85 orang.
Survei ini menggunakan instrumen penyaringan kecemasan Taylor Manifest Anxiety Scale yang dilakukan pada periode pasca-putaran pertama menjelang putaran kedua pemilihan gubernur. Hasilnya, 58 persen partisipan menunjukkan kecemasan. Topik yang paling mengganggu pikiran mereka tentunya adalah masalah penistaan agama. Isu suku dan ras lebih memicu kecemasan sebesar 85,3 persen.
Tidak semua partisipan menyatakan aktif berdebat tentang pemilihan gubernur, tapi kecemasan antara kelompok yang berdebat dan tidak berdebat sama saja. Partisipan yang kehilangan teman semasa pemilihan mengalami kecemasan lebih tinggi. Kebanyakan partisipan tidak menghindari debat, tapi kecemasan lebih tinggi pada pihak yang menghindari debat sebesar 66, persen.
Melihat hasil penelitian ini, walau baru penelitian pendahuluan, tampak bahwa penonton politik berpotensi mengalami masalah kejiwaan akibat carut-marut politik. Yang dikhawatirkan adalah apabila kecemasan yang muncul dapat mengaburkan pilihan "sadar" rakyat dalam menetapkan calon pemimpin hanya karena induksi manuver politik atau orasi simpatik semata.
Ketegangan jiwa yang tidak dikelola baik dapat berakhir pada agresi-agresi banal, seperti libido. Dengan demikian, tidak jarang politikus pun harus terjerembap dalam skandal. Apalagi dalam perdebatan beberapa pekan terakhir tentang mahar politik ternyata juga menguak adanya transaksi seks.
Sentimen moral seharusnya menjadi kekuatan esensial dalam politik kontemporer. Namun sentimen moral itu bukanlah yang bersifat primordial, tapi emosi yang menuntun perhatian pada penderitaan orang lain dan ingin menyembuhkan mereka.
Dalam tradisi filosofis, pengalaman empati juga mendahului proses kebaikan. Belas kasihan mewakili manifestasi paling lengkap akan kombinasi hati dan logika sehingga menghasilkan pemerintahan kemanusiaan (humanitarian government). Pemerintah harus mampu mengkombinasikan dua dimensi kemanusiaan, yaitu keadaan berbagi rasa kondisi serupa (mankind) dan gerakan afektif mengarahkan manusia untuk ada bagi orang lain (humaneness). Mankind membentuk landasan pentingnya hak dan harapan universal serta humaneness menciptakan kewajiban untuk memberikan pendampingan dan perhatian kepada orang lain. Semoga saja pemilihan kepala daerah 2018 melahirkan pemimpin-pemimpin yang membangun humanitarian government.
Nova Riyanti Yusuf
Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Jakarta