Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Radhar Panca Dahana
Salah satu kota tertua di bagian tengah Eropa mem-biarkan Sungai Doubs membelahnya dengan gagah dan bisu. Di situ sejarah peperangan tersimpan dalam derak airnya. Di situ, berbagai raja dan panglima melewatinya. Di situ, berkubang darah berbagai bangsa. Di situ pula simfoni orkes-orkes dunia menggema di udara terbuka, kini, di tiap musim panas yang membara.
Di kala itu, sejak awal panas menyerbu udara lembab kota itu, tepian Sungai Doubs yang bersih, hijau dan permai dipenuhi jejeran manusia. Lelaki wanita. Lelaki bertelanjang dada dengan celana seadanya. Yang wanita tak lengkap busana. Kadang berbikini saja, kadang tak berbeha, bahkan sesekali bugil begitu saja. Itu biasa.
Begitupun di tengah kota. Di resto, kafe, tabac, atau trotoar kota, lelaki wanita berbusana serupa hilir-mudik, berdiskusi, atau sekadar bertegur sapa. Seorang pria muda, asal Asia Tenggara, meringkuk kikuk di satu kafe, dalam gumulan tubuh-tubuh terbuka. Entah mengapa, wajahnya senantiasa tertunduk, tak teguh, membuang muka seringkali, matanya mencuri-curi, bibirnya kelu, katanya ter-bata.
Dalam kerumunan normal, di mana hidup berlangsung biasa, pria muda itu tak selesai-selesai berjuang menghenti-kan atau mengalihkan pikiran atau dunia rasanya yang menyimpang. Bukan...bukan kota itu menawarkan sensasi, sensualitas, seks, atau pornografi. Tapi, pikiran pria muda itulah yang membentuknya demikian. Membuat dunia di depannya porno, karena dunia dalamnya dipenjara oleh satu norma yang entah kenapa membuat jantungnya berdegup keras, matanya nanap, darahnya menderas, adrenalin meningkat.
Bisa jadi itulah tragik dari sebuah hidup yang lebih ba-nyak berdiam di masa lalu. Khususnya masa yang digenggam oleh pengertian yang menempatkan tubuh begitu sakral, sehingga penampakannya yang terbuka—bahkan sedikit saja—dianggap melanggar kesucian. Sebuah tradisi yang dimanifestasi oleh beberapa adat dan agama, tak ha-nya Timur, juga Barat di masa sangat lalu.
Tradisi itu tidak menjadi tidak persoalan, ketika masyarakat yang mendukung menerapkannya dengan saksama dan konsekuen. Ia menjadi ambigu bahkan kontroversial ketika dalam keseharian pemeluknya, perilaku dan ekspresi budaya yang ada justru menegasinya. Pelacuran tergelar di mana-mana, perselingkuhan menjadi kelumrahan, kitab-kitab yang mendewakan tubuh dan seks terbit begitu saja, bahkan beberapa seni memberinya porsi yang utama.
Maka, yang kemudian terbentuk dan terasa biasa adalah penipuan hati dan pikiran bahkan di tingkat personal. Hipokritas yang terintegrasi secara kultural. Hal-hal degil, negatif, dan menyimpang dilakukan bersama, dan ditutupi bersama. Secara formal menolak, namun diam-diam memberi permisi diri. Jika yang tersembunyi itu mencuat, ramai-ramai mereka berteriak, memaki, menghujat, menghujam, bahkan mendestruksinya. Mereka menjadi bangsa yang ambigu.
Kenyataan semacam itu, bisa jadi telah menjadi kelumrah-an di beberapa bagian bumi ini. Tak kecuali di negeri ini. Sebuah episode yang mau tak mau harus terlewati, dan mengalami salah satu puncaknya pada saat negeri ini meng-alami atau memasuki satu masa—tak terelak—bernama ”modern”. Sebuah episode di mana tradisi-tradisi mesti membenturkan diri pada satu kesatuan normatif baru yang —dianggap dan diterima for granted—global dan unversal: modernitas, beserta produk-produk ikutan lainnya.
Dalam tingkatan ini, ambiguitas atau kemunafikan pun se-makin menguat: penerimaan norma dan moral modern secara rasional disimpan dan dipraktekkan bersama dengan per-tahanan tradisi secara emosional dan spiritual-. Maka, kemudian yang terjadi adalah keterbelahan kultural-—hingga- split personality di tingkat pribadi—yang kian mengeras. Di saat modernitas dan kebebasan menuntut risiko rasional untuk membiarkan publik dan individu mengekspresikan segenap aspirasi (artistik, misalnya), pada saat yang ber-samaan tradisi menolaknya. Ketika ekspresi itu manifest, pertahanan tradisi pun menyerangnya. Kita pun menjadi manusia, jadi bangsa yang tidak konsekuen.
Contoh kecil saja: ketika logika modern membenarkan—secara medis dan kultural—terdapat seks ketiga, the third sex alias kaum homo, maka dengan ragu, malu dan sekali lagi ambigu, kita setengah menolak setengah menerimanya. Akhirnya, ekspresi homoseksual yang tersembunyi (di balik semak atau di balik dinding kelab malam) kita menutup mata. Saat ia dinyatakan terbuka, kita pun berteriak menghardiknya.
Lain hal, goyangan pinggul dangdut—sejak dulu kala—menjalar dari desa ke desa. Para pembela tradisi bertutup mulut, sebagian lain menikmatinya. Namun, begitu muncul terbuka, di televisi misalnya, mereka pun berteriak seperti- pahlawan terluka. Sebagian lain, membayar mahal hanya ”cuma untuk dipantatin Inul”, ketus Kyai Mbeling Emha dalam sebuah tulisannya.
Begitu majalah Playboy terkabar akan beredar, para ambiguis berseru sebagai penjaga moral suci. Sementara bertahun sebelumnya, kelab-kelab porno, pelacuran terbuka di jalan raya, majalah dan tabloid yang begitu kasar pornografinya, melenggang begitu saja. Dan laku keras.
Memandang diri dengan cara seperti di atas, membuat kita semestinya merasa risih dan kalau bisa merasa malu, saat mendiskusikan RUU Pornografi yang kini digodok dan diributkan di parlemen. Tentu saja debat itu takkan berkesudahan—juga akan sangat rapuh jika pun kompromi berhasil diproduksi—karena ia bermain di level yang ambiguistis, dan juga penuh kemunafikan di atas.
Penerimaan yang terbelah atas kenyataan mutakhir kita saat ini—yang bahkan sudah menanjak pada tahapan yang lebih tinggi dari sekadar ”modern—akan menciptakan perseteruan abadi, bahkan di tingkat pribadi. Tak heran, misal-nya, sebuah surat pembaca di harian ternama, menuding musikus Rhoma Irama yang dianggapnya kesulitan mene-gak-kan moralitas di atas norma pornografi, sementara hi-dup pribadinya pun belum dapat menyelesaikan masalah tersebut.
Artinya, kita tidak bisa lagi berkutat dan terkungkung oleh pengertian, definisi, atau implementasi ide tentang ”pornografi”, tanpa menyepakati lebih dulu peradaban modern macam apa yang fit in dengan realitas masyarakat atau diri kita sendiri. Tanpa menyepakati substansi ”kebebasan” sebagai akibat logis di dalamnya.
Jika ”kebebasan modern” kita terima aklamasi dalam pengertian universal sebagaimana secara global juga diterima, maka kebebasan itu tidak lagi fakultatif. Ia mesti- penuh, genap, 100 persen. Termasuk kebebasan individu meng-apre-siasi tubuh, misalnya, sebagai bagian dari artistika alam yang perlu dieksplorasi. Sebagaimana seni menjalaninya, sejak puluhan abad lalu. Bahwa paham atau batasan pornografi pun akan bergeser dari batasan-batasan tradisional, pada norma-norma terbuka yang membebaskannya.
Porno, bukan lagi pada pikiran dan perasaan yang terpenjara—seperti pria muda di awal tulisan ini—tapi pada rasionalitas tendensi yang mengeksploatasinya sekadar untuk kepentingan sesaat atau material belaka, misal saja. Jika tidak demikian, kita mesti berani menetapkan fakultasi pada kebebasan modern ini. Menetapkan wilayah dan ruang yang mungkin baginya, karena memang, misalnya, tak ada kebebasan yang sebenarnya, kecuali ide atau kehendak yang sembunyi di baliknya.
Tapi dapatkah kita meloloskan diri dari kebebasan yang telah ”universal” itu? Dapat kita bebas dari kebebasan? Sebelum diri sendiri mampu bebas dari ambiguitas, tampaknya kita tak cukup bebas untuk bicara bebas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo