Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TERPURUKNYA demokrasi Indonesia hari-hari ini persis gambaran Bung Hatta pada 1960 dalam Demokrasi Kita. Hukum ditekuk untuk kepentingan penguasa, politikus jadi tukang stempel tindakan Presiden, petualang politik dan ekonomi merajalela dan menunggangi partai dan gerakan politik lain untuk kepentingan pribadi. Krisis demokrasi terjadi setelah Sukarno mengubur demokrasi konstitusional dan menggantinya dengan demokrasi terpimpin pada 1959.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hari ini, Presiden Joko Widodo memang tak mengeluarkan dekret untuk melanggengkan kekuasaan. Setelah hasratnya memperpanjang masa jabatan presiden gagal karena ditolak Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, usahanya terus berkuasa memakai cara lain: menyorongkan anaknya, Gibran Rakabuming Raka, sebagai calon wakil presiden untuk Prabowo Subianto.
Pertama-tama, hukum diakali di Mahkamah Konstitusi melalui perubahan syarat calon presiden dan wakil presiden dalam Undang-Undang Pemilu. Perubahan itu membuat Gibran yang belum cukup umur bisa melenggang menjadi kandidat wakil presiden. Setelah itu, alat dan sumber daya negara dikerahkan untuk memenangkannya.
Aparat kepolisian menekan para kepala desa agar tak mendukung calon lain. Mereka yang membangkang ditakut-takuti dengan pengusutan dugaan korupsi penggunaan dana desa. Kementerian dan lembaga menginstruksikan pegawainya memilih Prabowo-Gibran jika tak ingin dipindahkan ke tempat yang “kering”.
Polisi juga meredam kritik para guru besar dan dosen berbagai kampus yang memprotes keberpihakan Jokowi. Perwira menengah setingkat kepala kepolisian sektor mendekati petinggi kampus agar membuat testimoni yang memuji pemerintahan Jokowi.
Yang sudah jadi omongan adalah penyaluran bantuan sosial dari anggaran negara. Menggelontorkan bansos menjelang pemilihan umum, Jokowi tanpa malu bahkan membagikannya di pinggir jalan. Dia dan sebagian menteri menggunakan bansos untuk mengiming-imingi masyarakat agar memilih calon yang ia dukung.
Tak kalah memalukan: Jokowi menyatakan presiden boleh berkampanye. Mengutip Undang-Undang Pemilu secara tak lengkap, ia mengesampingkan ketentuan lain dalam aturan itu bahwa presiden yang boleh berkampanye adalah inkumben yang sedang mencalonkan diri. Apalagi Jokowi tak terdaftar dalam tim kampanye calon mana pun—syarat seorang presiden bisa menjadi juru kampanye. Karena itu, ralat dan permintaan agar aparatur negara netral dalam pemilu terasa basi dan apologetik.
Jokowi dan gerombolannya tampaknya tengah memastikan bahwa kecurangan tak selalu berarti mengarahkan pemilih di bilik suara. Kecurangan tidak juga selalu berarti utak-atik suara setelah pencoblosan. Pengkondisian pemilihan umum agar menguntungkan Prabowo-Gibran merupakan kecurangan yang terang benderang. Pemenang yang dihasilkan dari pemilihan umum yang curang memiliki legitimasi yang rendah.
Dalam Demokrasi Kita, Hatta mengatakan perlunya gerakan ekstraparlementer untuk membangun kembali demokrasi. Dalam situasi sekarang, gerakan tersebut bisa berarti seruan kampus serta para aktivis prodemokrasi. Saat ini sudah puluhan kampus meminta Jokowi menghentikan laju mundur demokrasi dan penyalahgunaan sumber daya negara untuk melanggengkan kekuasaan.
Presiden dan sejumlah menteri layak dikecam karena meremehkan serta menuduh gerakan protes ditujukan untuk membela rival Prabowo. Bahkan jika para pemrotes adalah pendukung Anies Baswedan atau Ganjar Pranowo, dua kandidat presiden lain, esensi protes seharusnya didengar jika Jokowi memang punya niat menjaga demokrasi.
Tak menggubris kritik seraya menyebut protes merupakan bagian dari demokrasi merupakan hipokrisi Jokowi yang nyata. Jokowi harus ingat, Reformasi 1998 berawal dari protes kecil lalu membesar bagai bola salju. Kampus terbukti menjadi mercusuar yang menuntun kita keluar dari krisis demokrasi.
Yang terjadi beberapa bulan terakhir membuka mata kita bahwa Jokowi adalah sumber segala kerusakan. Ambisi pribadi terus berkuasa telah merusak demokrasi dan membawa republik ke tubir jurang. Perlawanan harus dilakukan. Demokrasi harus diselamatkan. Yang harus dilakukan pada hari-hari menjelang pencoblosan seperti sekarang adalah tidak memilih calon yang didukung Jokowi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Jangan Pilih Kandidat yang Didukung Jokowi"