Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MESKI para calon presiden menyatakan mendukung Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset Tindak Pidana, pengesahan aturan itu belum terlihat “hilal”-nya. Pembahasan rancangan usulan pemerintah itu mentah lagi. Dewan Perwakilan Rakyat sama sekali tak menyinggungnya dalam sidang paripurna terakhir pada 6 Februari 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perjalanan rancangan aturan untuk merampas aset pelaku kejahatan pidana itu tertatih-tatih dalam sembilan bulan terakhir. Presiden Joko Widodo mengirimkan surat pengajuan rancangan kepada Ketua DPR Puan Maharani pada 4 Mei 2023. Hingga kini surat itu belum beranjak dari meja Puan. Aturan ini tampaknya belum menjadi prioritas bersama pemerintah dan badan legislatif. Hal itu berbeda dengan pembahasan rancangan yang juga menjadi unggulan pemerintah, seperti Revisi Undang-Undang Cipta Kerja dan Undang-Undang Ibu Kota Negara yang selesai dalam waktu singkat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RUU Perampasan Aset sudah diusulkan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan pada 2008 di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Pemerintah merancang draf pertama pada 2012. Bertahun-tahun draf itu tak beranjak, ada revisi kedua pada 2019. Draf RUU Perampasan versi mutakhir disusun pada 2023. Menilik waktunya, pembahasan aturan itu memang bersifat musiman: hanya ramai pada masa kampanye pemilihan umum.
Para pemimpin partai politik tak kunjung memerintahkan anggotanya membahas rancangan aturan ini. Dari penelusuran Tempo, setidaknya ada dua pasal yang menjadi momok politikus. Di antaranya poin di pasal 5 yang berisi kriteria aset tindak pidana yang dapat dirampas meski sudah dihibahkan hingga keuntungan ekonomi yang dihasilkan dari aset itu. Ada lagi pasal 7 yang menyatakan harta pelaku bisa dirampas meski sudah meninggal atau melarikan diri. Semua perampasan itu dilakukan tanpa proses pemidanaan.
Para politikus tak perlu alergi jika memang mendukung pemberantasan korupsi yang selama ini selalu didagangkan partai masing-masing. RUU Perampasan Aset dibutuhkan karena selama ini penegak hukum selalu terbentur aturan saat hendak menyita harta pelaku yang sudah berpindah tangan. RUU ini diharapkan menimbulkan efek jera karena bisa memiskinkan mereka yang disasar, dari koruptor hingga bandar narkotik.
Saat pembahasan nanti, DPR bisa menguji pasal-pasal itu secara terbuka dengan mengundang intelektual kampus, ahli hukum pidana, hingga kelompok masyarakat sipil yang sudah lama mengawal rancangan undang-undang ini. Pembahasan bersama ini penting karena rancangan undang-undang tersebut disinyalir berisi pasal yang berpotensi memunculkan penyalahgunaan kewenangan.
Jika disalahgunakan, rancangan undang-undang ini bisa berbalik arah menjadi alat untuk melegitimasi dan melanggengkan oligarki. Sekarang hukum mudah dibelokkan oleh pemerintah. Fenomena ini terlihat di Komisi Pemberantasan Korupsi. Lembaga yang dulu independen itu berubah menjadi rumpun kekuasaan eksekutif setelah terbitnya Undang-Undang KPK hasil revisi. Akibatnya, komisi antirasuah kerap digunakan untuk menekan lawan politik lewat kasus korupsi. Kewenangan penyidik dalam RUU Perampasan Aset memang perlu diatur. Penegak hukum, misalnya, hanya boleh menyita aset koruptor lewat persetujuan pengadilan. Badan yang akan ditunjuk mengelola aset yang disita juga perlu diawasi lembaga independen.
Bagaimanapun, langkah pertama adalah menjadikan rancangan undang-undang ini sebagai prioritas. Jika tidak, topik ini baru akan ramai lagi lima tahun mendatang.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Topik Musiman Perampasan Aset"