Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI negeri mana pun yang mendambakan perubahan, agenda pemberantasan korupsi selalu dijadikan panji sakti merebut hati pemilih. Sebaliknya, keberanian memberantas korupsi juga dijadikan parameter sejauh mana sebuah pemerintahan baru bersungguh-sungguh mengemban amanat rakyat yang telah mempercayai mereka memegang pucuk kekuasaan. Tak terkecuali di negeri ini. Atau lebih tepat: apalagi di negeri ini.
Selama ini kita sudah seakan-akan kebal dan manda akan "peradaban" korupsi yang tumbuh kekar. Tahun lalu, menurut versi Transparency International, Indonesia sudah menempati peringkat keenam dari 133 negara terkorup di dunia. Di ranah ASEAN, kita malah "kampiun". Menurut Badan Pemeriksa Keuangan, pada periode 1999-2004 sekitar Rp 167 triliun uang negara berlabuh di kas para koruptor.
Tentu saja, korupsi bukan monopoli Indonesia. Buktinya, Perserikatan Bangsa-Bangsa merasa perlu menetapkan 9 Desember sebagai Hari Antikorupsi Sedunia. Artinya, korupsi sama gawatnya dengan HIV-AIDS, pelecehan demokrasi dan hak asasi manusia, atau perobekan lapisan ozon. Menunda tindakan pemberantasan korupsi sama bahlulnya dengan menyiapkan masa depan yang kalang kabut.
Ada secarik harapan ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dalam pelantikan Kabinet Indonesia Bersatu, mewajibkan para anggota kabinet berikrar tak terlibat korupsi-kolusi-nepotisme. SBY juga memberikan perintah khusus kepada Jaksa Agung untuk menyikat para koruptor tanpa ampun. Terakhir, Kamis pekan ini Presiden akan mencanangkan Tahun Pemberantasan Korupsi di Indonesia. Pada hari itu, konon, SBY akan menandatangani keputusan presiden tentang percepatan pemberantasan korupsi.
Cuma, itulah, sampai hari ini ingar-bingar pemberantasan tindak pidana korupsi masih tak bergeser dari suasana sejak masa awal Republik. Kita tetap bermain di tataran semangat, itikad, janji, perintah, dan keputusan. Para koruptor?dan calon koruptor?tentu memandang panorama ini sebagai tak lebih dari sekadar karnaval musiman "anjing menggonggong kafilah berlalu".
Pencanangan Tahun Pemberantasan Korupsi tentu patut disambut hangat. Tekanannya tentulah pada pemberantasannya, dan bukan pada pencanangannya. Sebab, begitu teringat pada canang, yang langsung terbayang adalah prosesi seremonial yang khusyuk dan mengharukan, tertib penuh kesungguh-sungguhan, dan setelah itu bubar, kembali ke fitrah yang penuh toleransi dan understanding terhadap tindak pidana korupsi itu sendiri.
Mengingat Tahun Pemberantasan Korupsi itu?seperti Tahun Wisata Internasional?biasanya hanya berlangsung setahun, alangkah bagusnya jika pemerintah menentukan kasus tindak pidana korupsi mana yang harus diprioritaskan. Tak mungkin menyelesaikan semua kasus sekaligus, yang malah bisa menimbulkan pertanyaan antik dan apologetik: dari mana harus mulai?
Kabar akan disidangkannya Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam, Abdullah Puteh, sudah lumayan sebagai penghibur. Begitu pula berita peninjauan kembali penerbitan surat penghentian penyidikan perkara (SP3) yang berkaitan dengan kasus-kasus besar pengemplangan uang negara. Apalagi, di depan Dewan Perwakilan Rakyat, Jaksa Agung Abdul Rachman Saleh mempertanyakan mudahnya Jaksa Agung terdahulu mengeluarkan SP3. Alangkah indahnya, seraya menyongsong canang yang akan ditabuh Presiden, pertanyaan-pertanyaan semacam itu diterjemahkan ke dalam tindakan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo