Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di balik gedung-gedung yang menggapai-gapai langit di Jakarta, tersebutlah sebuah perkampungan tua bernama Kampung Bali. Kampung ini memiliki sebatang jarum suntik yang bergelantung di sebuah tiang kayu garda jaga. Setiap saat, pagi-siang-malam, ia, sang jarum, siap membawa pemakainya ke sebuah penerbangan fantastis bersama putaw. "Penerbangan" fantastis ini diselenggarakan dengan sang jarum tanpa ada tindakan sterilisasi dengan alkohol atau cairan pemutih (bleaching). Maka jarum inilah yang akhirnya menjadi sumber koloni HIV.
Hingga hari ini, diperkirakan ada 39,4 juta orang di seluruh dunia yang hidup dengan HIV. Di Indonesia, secara resmi pengidap HIV yang tercatat mencapai 3.338 orang, sedangkan yang sudah memasuki tahap AIDS ada sekitar 2.363 orang. Sementara itu, Indonesia memiliki 111 ribu pecandu narkoba suntik, dan 88 persennya menggunakan jarum suntik sembari reriungan alias keroyokan. Pemakaian jarum keroyokan itu sudah menjadi sebuah bagian dari kehidupan di Kampung Bali, sebuah kawasan yang tak lagi menggunakan bendera kuning jika ada warganya meninggal (melainkan sepotong seng dicat kuning yang digunakan bergantian).
HIV dan AIDS seyogianya tidak lagi dicampur aduk dengan urusan moral percintaan sesama jenis belaka. Itu temuan tahun 1981, ketika nama AIDS baru meledak menjadi satu mesin pembunuh yang keji. Kini sudah terungkap pula bahwa mereka yang tak ada urusan dengan hubungan seks bebas maupun narkoba bisa saja terkena HIV akibat kecerobohan para suami atau kekasih yang bergonta-ganti pasangan seks dan mencucuk lengannya dengan jarum putaw (baca Bukan Perempuan Biasa).
Harap diketahui, para pecandu narkoba suntik juga mempunyai jaringan penularan ganda. Selain menggunakan jarum secara keroyokan, mereka juga berhubungan seks dengan banyak pasangan. Menurut ahli epidemiologi HIV/AIDS Pandu Riono, sekitar 80 persen pecandu narkoba suntik di Surabaya saja mengaku membeli seks. Karena itu, penularan HIV di antara pecandu terjadi dengan ganas dan segera menyebar ke kelompok lain (pasangan seks) yang bukan pecandu.
Ada beberapa langkah jangka pendek dan jangka panjang yang harus diselenggarakan dengan agresif dan spartan. Dan ini harus dilakukan dengan kerja sama antara pihak pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Sejumlah LSM telah mengadakan beberapa pendekatan preventif dengan menyarankan para pemakai jarum suntik agar tidak berbagi jarum. Ini pendekatan yang kontroversial, karena para pihak moralistis menganggap seolah pendekatan ini tetap mendorong mereka berkubang dalam dunia narkoba, cuma bedanya mereka tak boleh berbagi jarum. Pendekatan ini sebetulnya bersifat jangka pendek, yang secara agresif ingin memotong mata rantai penularan HIV di antara pecandu narkoba.
Solusi jangka panjang tentu saja dengan niat pemerintah yang serius untuk membunuh jaringan narkotik dan obat terlarang?yang memang semakin menggila 20 tahun belakangan ini?yang bukan saja telah menciptakan generasi tolol yang merasa bisa "terbang dengan fantastis" dengan narkoba. Jaringan ini juga sudah melahirkan generasi yang baru merasa keren jika menggunakan jarum suntik atau obat-obatan terlarang sebagai gaya hidup. Sudahkah pemerintah berupaya keras dan bertindak keras pada anggota jaringan ini? Belum.
Pemerintah (dan juga LSM dan masyarakat) kini sudah harus memahami bahwa narkotik bukan hanya dapat membunuh karena zat adiktif yang membahayakan tubuh; tetapi karena medium jarum itu juga menjadi jembatan penyeberangan HIV. Seperti halnya sang jarum yang bertakhta di tiang gardu Kampung Bali itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo