Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Repotnya Melewati Gus Dur

6 Desember 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEANDAINYA Nahdlatul Ulama mendengarkan saran Kiai Achmad Siddiq yang diucapkan 25 tahun lalu, mungkin kisruh pasca-Muktamar Boyolali 2004 tak akan terjadi. Pemikir penting dan bekas Rais Am NU itu menyarankan agar NU kembali sebagai organisasi keagamaan saja. Partisipasi politik NU, yang dianggap sebagai "selingan" bagi NU, di mata Kiai Achmad sudah berakhir ketika NU melebur dalam Partai Persatuan Pembangunan pada 1973. Saran itu tak sepenuhnya diikuti. Persentuhan NU dengan politik seperti "pasang naik dan pasang surut" mengikuti hasrat pemimpinnya.

Kita tahu, urusan politik juga yang buntutnya terbawa-bawa sampai ke Muktamar Boyolali. K.H. Abdurrahman Wahid, mustasyar (penasihat) NU, berupaya menjegal K.H. Hasyim Muzadi dari pencalonan kembali sebagai Ketua Umum (Tanfidziyah) PBNU. Abdurrahman atau Gus Dur menganggap Hasyim Muzadi mempolitisasi NU ketika maju dalam pemilu presiden yang lalu?mendampingi Megawati dari PDI Perjuangan. Di Boyolali, Gus Dur tidak saja gagal masuk dalam bursa pemilihan Rais Am Syuriah yang prestisius itu, tapi juga gagal mengganjal pencalonan Hasyim Muzadi, yang terpilih lagi sebagai Ketua Umum Tanfidziyah dengan perolehan suara jauh melewati saingannya, Masdar F. Mas'udi, yang dijagokan Abdurrahman.

Maka, yang pertama bisa diserukan kepada NU, baik kepada kelompok yang menang maupun yang kalah di Boyolali, ingatlah keadaan jam'iyyah pada tahun 1983. Setelah konflik internal mempersoalkan jabatan ketua umum yang dipegang Idham Chalid, NU pecah menjadi kelompok Cipete dan kelompok Situbondo. Pertentangan antar-kiai meruncing. Konflik itu membuka pintu bagi intervensi pemerintah, yang sedang getol mengkampanyekan asas tunggal Pancasila. Kelompok Situbondo, yang disokong pemerintah, akhirnya menerima asas tunggal dan berhasil menyelenggarakan muktamar di Situbondo pada 1984. Kelompok Cipete, yang basisnya kiai luar Jawa, "terluka". NU perlu waktu lama untuk mengobati carut-marut akibat pertarungan kepentingan internal itu.

Potensi dan tanda-tanda konflik 1983 bakal berulang sudah tercium pasca-Boyolali. Kelompok yang kalah, dalam hal ini Kiai Haji Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sebagai mustasyar (penasihat), mengantongi mandat 29 kiai karismatik NU untuk "membentuk PBNU yang benar, berkedudukan di Jalan Kramat Raya Nomor 164, Jakarta".

Apabila Gus Dur dengan keras hati membentuk "PBNU yang benar", jelas pada saat yang sama stempel "PBNU yang imitasi" akan dilekatkan pada pengurus NU hasil Muktamar Boyolali. Sukar membayangkan konflik dua kubu ini tidak akan diikuti pengikutnya sampai pelosok-pelosok daerah. Sukar pula membayangkan bagaimana kelak sebuah kantor PBNU di Kramat Raya, Jakarta, itu dibagi untuk "dua kubu" yang mengklaim sama-sama punya otoritas menjalankan organisasi. Gus Dur akan menguasai lantai satu dan Kiai Sahal-Hasyim di lantai tiga?

Ketimbang menjadi buah mulut masyarakat, sebaiknya gagasan membentuk kepengurusan "NU dobel" dihindari, misalnya dengan sekuatnya mengupayakan tabayyun (berdamai) yang khas NU itu. Setelah itu, organisasi NU harus diberesi agar ketergantungan pada "otoritas keulamaan" dan "kepemilikan darah biru"?dua tiket spesial bagi Abdurrahman?tidak membuat roda organisasi macet. Sejak Gus Dur terpilih sebagai ketua umum di Situbondo pada 1984, dua tiket spesial itu dibiarkan melekat pada sosok Abdurrahman. Bahkan masih ditambah para ulama NU yang menyebut Gus Dur sebagai azimat kaum nahdliyin, setengah wali, dan seabrek julukan "keramat" lainnya.

Predikat itu datang karena Abdurrahman dianggap punya jasa besar untuk NU. Di Situbondo, Kiai Abdurrahman dan Achmad membawa NU ke jalan yang benar, yakni Khitah 1926. Peran yang paling penting, keduanya berhasil meningkatkan NU dari posisi yang "marginal" di mata pemerintah Orde Baru menjadi organisasi yang dihormati. Keduanya berani mengambil risiko tak populer di mata gerakan Islam lain di Indonesia, dengan menerima asas tunggal Pancasila dan Republik Indonesia sebagai bentuk final negara. Jasa besar itulah yang membuat keduanya dipilih kembali di Muktamar Krapyak, Yogyakarta, pada 1989.

Kekuasaan besar, tanpa kontrol internal yang memadai, membuat langkah Abdurrahman Wahid dan sejumlah elite kiai yang mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa pada 1999 tidak terbendung. Asyik-masuk dengan politik itu mencapai puncaknya tatkala Abdurrahman terpilih sebagai presiden. Ia semakin bertenaga melakukan aktivitas apa pun, termasuk mengatur naiknya Ketua Tanfidziyah NU yang baru, Hasyim Muzadi, dalam muktamar NU di Lirboyo, 1999. Ujung-ujungnya, urusan politik juga yang meretakkan hubungan Abdurrahman dengan Hasyim.

Maka, sudah tepat jika rais am yang baru, Kiai Sahal Mahfudz, tegas menyatakan bahwa NU tidak lagi ikut politik. Selain bebas dari pengaruh politik, NU perlu bebas dari ketergantungan pada individu yang memiliki tiket-tiket spesial?karena "otoritas keulamaan" ataupun "darah biru"?baik Gus Dur maupun yang lain. NU harus dipimpin oleh tokoh yang dipilih secara demokratis, mempunyai kapabilitas dan kesalehan yang mumpuni, agar mampu mempertahankan NU sebagai pembawa ajaran Islam yang luwes dan moderat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus