Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Memang sulit menentukan penyebab kecelakaan pesawat udara. Apalagi kecelakaan pada saat pendaratan. Ada banyak orang yang terlibat ketika pesawat mendarat. Ada pengawas menara kontrol di darat yang memberitahukan segala hal tentang kondisi landasan. Ada pilot yang bertanggung jawab sepenuhnya dan menentukan apakah pesawat akan didaratkan atau tidak. Lebih rumit lagi mengusut penyebab kecelakaan itu jika pilot ikut menjadi korban. Semuanya itu membutuhkan waktu. Dan itulah yang dialami pesawat Lion Air yang terperosok di Bandara Adi Soemarmo Solo, yang menewaskan 26 orang, termasuk pilot dan seorang pramugari.
Untunglah, kotak hitam yang merekam segala hal teknis?termasuk rekaman percakapan pilot dengan pengawas menara kontrol?sudah ditemukan. Begitu pula kopilot yang berkebangsaan Belanda tidak ikut tewas, meski harus menunggu kesembuhan untuk bisa dimintai keterangan. Nantinya, kalau pemeriksaan sudah menyentuh kotak hitam dan kopilot, akan menjadi jelas apa penyebab kecelakaan Lion Air ini, apakah faktor pesawatnya ataukah hal-hal lain di luar pesawat. Di luar pesawat ada banyak faktor pula, apakah kesalahan pilot (human error) atau masalah bandara dengan segala perlengkapannya yang tidak mendukung pada saat cuaca buruk.
Lion Air yang terperosok di Solo ini sebuah pesawat tua buatan tahun 1982, dan orang lantas menghubung-hubungkan dengan layak tidaknya terbang. Namun hasil keterangan sementara menyebutkan pesawat itu dinyatakan laik terbang. Semua instrumen dalam pesawat tidak ada masalah. Hasil penyidikan sementara tidak menunjukkan ada "kesalahan" pada pesawat, bahkan semua alat pengaman di dalam pesawat tersedia sesuai dengan standar dan bekerja sebagaimana mestinya. Ban yang semula diduga gundul sehingga menyebabkan pesawat tergelincir juga tidak benar adanya.
Karena itu dugaan sementara penyebab kecelakaan Lion Air ada di luar faktor pesawat. Misalnya, diduga pilot mendaratkan pesawat tidak di ujung landasan, melainkan terlalu ke tengah. Sehingga, panjang landasan yang tersisa tidak mencukupi untuk menghentikan pesawat dengan aman.
Jika hal ini benar, kenapa bisa begitu? Apakah cuaca demikian buruknya sehingga jarak pandang pilot terbatas dan ia tidak tahu bahwa pendaratannya terlalu ke tengah? Atau ada "angin belakang" yang mendorong pesawat sehingga mendarat agak di tengah landasan? Semuanya sedang dikaji.
Sementara itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah meminta agar Departemen Perhubungan melakukan audit terhadap semua bandara yang ada di Indonesia. Ini juga langkah yang bagus, karena banyak bandara yang sesungguhnya bermasalah pada saat musim hujan. Bukan hanya jarak pandang jadi pendek yang disebabkan oleh hujan lebat itu, tetapi landasan di bawah tergenang air. Bandara Adi Soemarmo masih tergolong baik, genangan air hanya 2 sampai 5 milimeter pada saat Lion Air mendarat. Bandara Ahmad Yani Semarang sering terendam air lebih tinggi jika hujan datang. Ini membuktikan bahwa sistem aliran air hujan dari landasan ke tanggul pinggir landasan tidak sempurna.
Saatnya pemerintah membenahi masalah perhubungan udara ini, mengingat luasnya wilayah Indonesia. Apalagi, sebagai negara kepulauan, pembenahan sarana hubungan udara makin mendesak untuk memperpendek waktu tempuh dan tentunya tetap aman dalam berbagai cuaca.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo