Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bob Hasan kelak perlu menulis buku petunjuk tentang bagaimana hidup nyaman di penjara Indonesia. Melihat ada tren kenaikan jumlah koruptor yang akan masuk bui, buku itu bisa laris. Pasti akan ada penerbit Singapura yang tertarik dan menerbitkannya dengan judul How to Survive an Indonesian Jail Without Really Trying.
Sebagai narapidana, Bob Hasan, orang dekat Presiden Soeharto, yang dulu berkecimpung dalam uang dan kekuasaan, kini dikurung di sebuah pulau yang terkenal sebagai koloni hukuman, Nusakambangan. Tapi hanya beberapa minggu sejak Bob Hasan di situ, tempat itu berubah jadi?ya, hampir jadi?pesanggrahan yang nyaman. Dulu para tahanan politik tahun 1960-an yang dibuang ke sana begitu kurang makan hingga, untuk mendapatkan protein, mereka terpaksa makan lintah: mereka akan cari lintah yang sudah gemuk yang habis mengisap darah di paha kerbau yang sedang digembala, lalu mereka panggang, sampai well-done. Kini, Bob bernasib lain. Di pulau itu ia tampaknya bisa mengatakan, "Aku datang, aku lihat, aku menang." Veni, vidi, vici. (Lihat rubrik Selingan.)
Dalam arti tertentu, berkat Bob, Nusakambangan jadi lebih cocok dengan perikemanusiaan. Tapi apakah caranya sesuai dengan hukum, itu perkara yang mudah ditanya sukar dijawab. Sebab, penjara di Indonesia memang ajaib. Bagi para pelaku kejahatan kecil, yang menunjukkan pula kecilnya jangkauan mereka ke dalam nafkah dan harta, penjara adalah neraka yang sesak. Keadaan makanan, tempat buang air, tempat mandi, dan kesehatan mengerikan. Belum lagi perlakuan para penjaga dan narapidana lain yang bisa brutal. Yang seseram itu pasti tak berlaku bagi terhukum yang, seperti Bob Hasan, telah bisa mengambil harta seakan-akan hendak hidup selama-lamanya.
Maka, para koruptor kelas berat, jangan cemas. Masuklah penjara dengan sukacita. Tirulah strategi Bob Hasan. Kalau Anda gemar badminton, dengan uang Anda bangunlah lapangan badminton. Kalau doyan main biliar, masukkan uang buat menyiapkan permainan itu. Siapa tahu kelak di Cipinang, karena Tommy Soeharto ada di sana, akan ada kolam renang, tempat mandi sauna, bahkan sirkuit balap. Departemen Kehakiman mungkin bisa menyebut ini sebagai contoh sukses "privatisasi".
Bahwa keadaan itu akan tambah menyebarkan sikap sinis di masyarakat?bahwa semua orang bisa dibeli?pasti Departemen Kehakiman tahu. Sinisme adalah penyakit yang paling parah dalam menumbuhkan kepercayaan bahwa korupsi bisa diberantas. Tapi akankah pemerintah dan DPR cepat mengatasi itu, entahlah. Banyak yang mulai mengatakan bahwa cara yang baik bisa dilihat di RRC: di sana koruptor ditembak mati. Di sini, jangan-jangan rasa keadilan yang sudah mati.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo