Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LAPORAN tim independen kemanusiaan untuk pengusutan kematian pendeta Yeremia Zanambani merupakan tamparan keras kepada Tentara Nasional Indonesia dan pemerintah Joko Widodo. Tim yang dipimpin pegiat hak asasi manusia Haris Azhar ini dibentuk untuk menyelidiki kekerasan terhadap Yeremia, 63 tahun, Ketua Sekolah Tinggi Alkitab Theologia di Hitadipa, Kabupaten Intan Jaya, Papua.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yeremia ditemukan bersimbah darah di kandang babi tak jauh dari rumahnya pada 19 September lalu. Kepada tim independen, istri Yeremia menyampaikan ucapan suaminya sesaat sebelum tewas, yakni pelaku penembakan adalah orang yang biasa mereka bantu dan beri makan. Pengakuan itu merujuk pada Alpius, anggota TNI, dan seorang teman yang identitasnya belum diketahui. Laporan tim independen menyebutkan, selain menembak, pelaku menikamkan pisau ke punggung korban.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebelumnya, tim gabungan pencari fakta yang dibentuk pemerintah dan diketuai Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. menyampaikan kesimpulan mengambang. Menurut Mahfud, pembunuhan itu mungkin dilakukan aparat atau pihak ketiga. Ada tendensi pelaku lain itu merujuk pada Organisasi Papua Merdeka (OPM). TNI dan Kepolisian RI juga menuding OPM di belakang kekerasan itu.
Ketika pengusutan pembunuhan pendeta Yeremia belum tuntas, pelanggaran hak asasi manusia terjadi lagi di Intan Jaya. Yang menjadi korban adalah Rufinus Tigau, seorang katekis atau guru agama Katolik. Ia diduga tewas oleh bedil TNI saat berjalan pulang dari pertemuan katekis di gereja Paroki Santo Mikhael, Bilogai, Intan Jaya, 26 Oktober lalu. Penembakan ini juga melukai Meinus Kobagau, bocah tiga tahun. Meski dibantah Keuskupan Timika, TNI menuding Rufinus bagian dari OPM.
Pada Desember tahun lalu, tentara juga menembak tiga pengojek. Penembakan itu merupakan reaksi atas serangan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat kepada pasukan TNI yang menewaskan dua prajurit.
Amnesty International Indonesia mencatat pada 2020 saja telah terjadi 15 kasus pembunuhan yang menewaskan 22 orang di Papua. Sebagian besar pelaku diduga adalah polisi dan militer Indonesia. Kebanyakan insiden tidak diselidiki dengan saksama, bahkan diabaikan sama sekali. TGPF baru dibentuk dalam kasus kematian pendeta Yeremia—itu pun dengan temuan yang tak tegas dan samar-samar.
Zaman berubah. Pemerintah Indonesia tak boleh menggunakan pendekatan usang dalam menangani ketidakadilan di Papua. Mengirim tentara non-organik dalam jumlah besar ke Papua hanya memperburuk keadaan. Pemerintah hendaknya memperbanyak dialog dengan semua elemen masyarakat Papua setelah dengan cermat memetakan mereka.
Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) tak selayaknya berpangku tangan menghadapi kekerasan tak berkesudahan ini. Sebagai pemangku kepentingan di provinsi yang kebanyakan penduduknya beragama Katolik, KWI hendaknya bersuara lebih lantang kepada OPM, pemerintah Jakarta, dan TNI.
Ketidakpercayaan masyarakat Papua terhadap pemerintah pusat sudah terlalu besar. Dunia internasional pun skeptis terhadap solusi Jakarta mengatasi Papua. Pembiaran dan pengaburan atas pelanggaran hak asasi manusia di Papua kian membuat Bumi Cenderawasih menjauh dari Indonesia.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo