Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENAWARAN saham publik perdana Ant Technology Group mesti jadi cambuk bagi Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, juga pemerintah untuk bergegas mengakselerasi ekosistem digital di negeri ini. Pemangku kebijakan perlu beradaptasi lebih cepat, mengimbangi perkembangan teknologi yang terus berlari kencang, agar besarnya potensi ekonomi digital Indonesia tak sia-sia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aksi korporasi Ant Group di Bursa Efek Hong Kong dan Shanghai pada Kamis pekan ini, 5 November 2020, memang bersejarah. Perusahaan teknologi finansial yang terafiliasi dengan raksasa e-commerce Cina, Alibaba Group Holding Limited, ini diperkirakan bakal meraup dana US$ 34,5 miliar atau sekitar Rp 508 triliun, rekor initial public offering terbesar di dunia. Pencapaian Ant Group ini menggambarkan betapa ekonomi digital, termasuk di dalamnya teknologi finansial, bakal terus tumbuh di masa depan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ekonomi digital memang sedang meledak di dunia. Korporasi teknologi banyak negara berbondong-bondong masuk ke beragam sektor layanan berbasis Internet, dari perdagangan, transportasi, perjalanan wisata, medis, hingga jasa keuangan. Bisnis ini menjadi emas baru yang kini nilainya mencapai 15,5 persen produk domestik bruto dunia.
Ledakan yang sama terjadi di negeri ini. Berbagai perusahaan teknologi digital sudah merambah ke semua aspek kehidupan warga: dari transportasi, pariwisata, pendidikan, sampai kesehatan. Riset Google dan Temasek pada 2019 menaksir kue ekonomi digital Indonesia telah mencapai US$ 40 miliar, tumbuh rata-rata 49 persen setiap tahun sejak 2015. Indonesia diprediksi menjadi kekuatan baru ekonomi digital dunia dengan omzet tiga kali lipat dalam lima tahun ke depan.
Persoalannya, prediksi itu hanya bisa terwujud jika sejumlah persyaratan terpenuhi. Saat ini modal terbesar Indonesia hanyalah besarnya populasi penduduk dan masifnya jumlah pengguna Internet yang terus meningkat. Berbagai aspek lain untuk mengoptimalkan potensi ekonomi digital justru masih tertatih-tatih.
Tengok saja upaya mengintegrasikan sistem pembayaran digital yang sampai kini masih tertunda. Regulasi untuk mendukung pertumbuhan industri teknologi finansial juga masih lemah. Cetak biru pendidikan sumber daya manusia yang melek teknologi informasi pun belum ada. Selama ini, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan pemerintah malah terlihat pasif. Mereka baru buru-buru menyiapkan strategi dan kebijakan ketika persoalan bermunculan. Ini tentu membuat Indonesia terus tertinggal dari negara lain.
Kebijakan Bank Indonesia pada Januari 2020 untuk memberlakukan Quick Response Indonesia Standard (QRIS) adalah contoh kebijakan yang tepat tapi terlambat. Sayangnya, penerapan QRIS ini molor dari target semula pada 2018. Padahal desakan untuk mengintegrasikan berbagai sistem pembayaran QR code, yang selama ini dikelola terpisah oleh tiap penyelenggara jasa sistem pembayaran, sudah lama digaungkan.
Ke depan, Bank Indonesia mesti lebih progresif. Setelah berhasil menggulirkan Gerbang Pembayaran Nasional, dengan QRIS sebagai bagian di dalamnya, BI mesti bergerak lebih cepat. Bank Indonesia seharusnya segera menyiapkan mata uang digital bank sentral (CBDC) seperti yang sudah dilakoni bank sentral Cina dan Jepang. Pemberlakuan CBDC tak hanya membuat pengelolaan sistem pembayaran dan kebijakan moneter oleh bank sentral lebih efisien, tapi juga menjadikan sistem keuangan lebih mudah dijangkau warga negara yang tak bisa mengakses layanan perbankan. Inklusi keuangan ini merupakan sumbangsih terpenting ekonomi digital untuk kemajuan kesejahteraan rakyat Indonesia.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo