Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Prelude

Meruntuhkan Monopoli Impor Plastik

Arsip 26 November 1988.

31 Oktober 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Monopoli impor plastik menggerogoti industri berbahan baku plastik.

  • Dua perusahaan pemonopoli sering membatalkan pesanan mendadak dan meminta 'kutipan' tinggi.

  • Deregulasi kebijakan memangkas monopoli ini.

SEJUMLAH importir yang tergabung dalam Asosiasi Eksportir Importir Buah dan Sayuran Segar Indonesia (Aseibssindo) menggugat Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan. Mereka menduga ada praktik monopoli impor tak sehat yang melibatkan beberapa pejabat dan petinggi partai. “Ini tidak bisa dibiarkan karena selain merugikan importir juga merugikan masyarakat, karena harga jadi tinggi,” kata Ketua Aseibssindo Ayub, Kamis, 29 Oktober lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Problem menahun yang tak kunjung beres. Pada 26 November 1988, Tempo menerbitkan laporan upaya pemerintah memangkas monopoli impor, terutama monopoli plastik, lewat artikel Lagi, Mengguncang Ekonomi Biaya.... Monopoli ini menjadi kendala bisnis yang menimbulkan ekonomi biaya tinggi. Akibatnya, masyarakat harus menanggung ongkos ekonomi biaya tinggi ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemerintah saat itu memangkas monopoli melalui 18 peraturan baru yang terdiri atas peraturan pemerintah hingga keputusan Menteri Perhubungan. Paket kebijakan ini ditujukan untuk menumbuhkan persaingan yang bakal mengikis upaya monopoli dari jalur distribusi. Perusahaan pelayaran diberi kemudahan dengan diizinkan mencarter kapal asing dan menetapkan rutenya sendiri.

Kebijakan ini juga menjamin perusahaan dapat mengurus sendiri penjualan produknya sampai tingkat pengecer, dengan membentuk perusahaan patungan yang bergerak di sektor distribusi. Selain itu, supaya muncul persaingan, pemerintah membolehkan perusahaan dengan modal asing untuk menjual produknya langsung ke pabrik-pabrik yang memakainya sebagai bahan baku.

Deregulasi di bidang distribusi ini sesuai dengan laporan Bank Dunia yang diluncurkan pada Mei 1988. Paket kebijakan deregulasi ini berpengaruh sangat signifikan terhadap industri plastik. Menurut Sekretaris Eksekutif Asosiasi Karung Plastik Wiwoho, ini merupakan peristiwa monumental karena mampu menamatkan riwayat monopoli impor plastik.

Ia mengatakan kebijakan ini merupakan langkah progresif. “Ini revolusi besar,” tuturnya. Ia menjelaskan selama ini Mega Eltra dan Panca Holding kerap bertindak seenaknya dengan membatalkan pesanan yang sudah dibayar lunas plus seabrek pungutan bernominal besar.

Plastik di masa itu merupakan bahan baku utama industri. Plastik dipakai oleh pabrik pengepakan, alat rumah tangga, bahan bangunan, dan botol kemasan makanan-minuman. Sejak Oktober 1984, barang ini hanya diimpor PT Mega Eltra dan Panca Holding yang bermarkas besar di Hong Kong. Kebijakan deregulasi ini bakal memangkas monopoli karena per 1 Januari 1989 plastik bisa diimpor langsung oleh importir umum plus.

Selain itu, bea masuk bahan baku plastik jenis PP dan PE turun dari 30-60 persen menjadi hanya sekitar 5 persen. Tapi, menurut Menteri Koordinator Perekonomian Radius Prawiro, jika produsen ingin mengimpor produk plastik dalam negeri seperti polimer, mereka akan mendapat perlakuan berbeda. Semula importir dikenai bea masuk 10 persen, dengan aturan baru bea masuknya 30 persen. “Masa peralihan lima minggu, supaya tidak terjadi kesulitan suplai,” ucap Radius.

Menurut Wiwoho, selama ini industri digelayuti kerugian dari impor plastik. Dua perusahaan yang memonopoli industri ini kerap meminta pungutan tak masuk akal dan penyerahan barang tak pernah tepat waktu. Pada 1987, mereka mengimpor plastik 450 ribu ton lebih, bernilai sekitar US$ 500 juta. “Sumbangan” mereka kepada Mega dan Panca, menurut Wiwoho, lebih dari Rp 2 triliun.

Dengan paket kebijakan yang membolehkan mereka mengimpor langsung ini, setidaknya ada dua keuntungan: bisa tawar-menawar langsung dengan pemasok di luar negeri dan segera tahu jumlah dan jenis bahan yang diimpor serta waktu tiba.

Willy Sidharta, Presiden Direktur perusahaan minuman PT Golden Mississippi, ikut gembira. Ia melihat sistem tata niaga plastik selama ini terlalu panjang. Perusahaannya setiap tahun memakai 126 ton botol plastik produksi PT Berlina. Pabriknya ini harus berhubungan dengan Mega Eltra di Jakarta dan Panca Holding di London. “Pernah terjadi salah komunikasi di tengah dan kami hancur,” tutur Willy.


Artikel lengkap terdapat dalam Tempo edisi  27 Mei 1978. Dapatkan arsip digitalnya di:

https://majalah.tempo.co/edisi/1984/1978-05-27

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus