Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEPOLISIAN Negara Republik Indonesia dan Tentara Nasional Indonesia melanggar konstitusi ketika memecat anggotanya dengan alasan orientasi seksual. Petinggi kedua lembaga semestinya membatalkan keputusan terhadap enam belas orang itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Belasan aparat itu dipecat dengan alasan mempunyai orientasi homoseksual. Padahal tak ada satu pun pasal dalam Undang-Undang Kepolisian ataupun Undang-Undang TNI yang mengaturnya. Pemecatan dilakukan berdasarkan aturan internal yang lebih lemah daripada undang-undang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Terhadap tentara, tindakan dilakukan menggunakan Telegram Panglima TNI tentang larangan melakukan hubungan sesama jenis. Petinggi tentara juga merujuk homoseksual melanggar Pasal 62 Undang-Undang TNI, yakni tabiat atau perbuatan yang bisa merugikan disiplin keprajuritan. Sedangkan di kepolisian, keputusan didasarkan pada peraturan Kepala Polri tentang kode etik profesi. Dua dasar itu bertentangan dengan Konstitusi, yang melarang perbedaan perlakuan berdasarkan orientasi seksual.
Sanksi berbasis alasan diskriminatif itu sudah selayaknya dibatalkan. Demosi selama tiga tahun dan tak menyandang jabatan sampai pensiun kepada Brigadir Jenderal EP bahkan melanggar Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Polri. Apalagi jenderal bintang satu itu diwajibkan meminta maaf dan mengikuti pembinaan mental selama satu tahun.
Masalah homoseksualitas di kalangan aparat keamanan ini berawal dari pernyataan diskriminatif pejabat negara. Awalnya Ketua Kamar Militer Mahkamah Agung menyebutkan bahwa “fenomena LGBT” merupakan akibat pengaruh lingkungan yang membentuk perilaku menyimpang. Juru bicara TNI kemudian menyatakan homoseksualitas merupakan “penyakit psikologi”. Padahal Badan Kesehatan Dunia (WHO) sejak 1990 telah menghapus homoseksual dari daftar gangguan mental dan perilaku.
Pejabat yang memiliki pemahaman hukum seharusnya tidak melontarkan pernyataan—apalagi keputusan—stigmatis kepada kelompok homoseksual. Aparat negara justru seharusnya memberi contoh untuk memberikan perlindungan kepada setiap warga tanpa memandang orientasi seksual masing-masing. Pernyataan stigmatis dari pejabat akan makin meningkatkan perlakuan diskriminatif terhadap kelompok LGBT.
Kelompok LGBT sering kali menjadi korban penangkapan, penyerangan, pengusiran, dan ujaran kebencian. Diskriminasi, pelecehan, juga kekerasan terhadap mereka yang dianggap berbeda dianggap kewajaran. Kelompok LGBT selalu distempel sebagai kelompok yang bertentangan dengan agama, norma, dan kaidah serta disebut menyimpang. Tak jarang kelompok ini dilabeli sebagai “terkutuk” sehingga kekerasan dan ujaran kebencian kepada mereka kerap dianggap lazim.
Perlakuan diskriminatif itu bahkan menghilangkan hak-hak dasar mereka sebagai warga negara. Banyak dari mereka yang sulit memperoleh pelayanan publik, termasuk dalam pengurusan kartu tanda penduduk. Mereka kesulitan mendapatkan kartu hanya karena kolom jenis kelamin.
Pandangan keliru terhadap kelompok LGBT umumnya dianut kelompok konservatif setiap agama. Indonesia bukanlah negara berdasarkan agama. Karena itu, petinggi TNI dan Polri tidak boleh mengambil keputusan berdasarkan alasan tersebut. Keputusan tersebut, tentu saja, juga bertolak belakang dengan kebijakan pemerintah yang selama ini terus mengkampanyekan perlawanan terhadap radikalisme.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo