Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JARAK antara realitas dan janji-janji manis pemerintah kian lama kian jauh saja. Ketika Presiden Joko Widodo dan para politikus pendukungnya di kabinet dan Dewan Perwakilan Rakyat mengiming-imingi rakyat dengan lompatan besar kesejahteraan lewat omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja, kenyataan di lapangan berbicara sebaliknya. Komitmen deregulasi yang digembar-gemborkan pemerintah tak ubahnya pepesan kosong kalau korupsi dan birokrasi yang ruwet dibiarkan merajalela.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak awal, majalah ini telah mengingatkan pemerintah bahwa Undang-Undang Cipta Kerja adalah kebijakan yang lahir dari diagnosis yang keliru atas problem mendasar dalam pengelolaan ekonomi kita. Keterpurukan ekonomi Indonesia tidak semata disebabkan oleh regulasi yang tumpang-tindih dan berlebihan, tapi juga oleh penegakan hukum yang seenak udel. Pangkal soalnya adalah budaya korupsi yang berurat-akar dalam sistem politik dan birokrasi pemerintah. Aturan sapu jagat semacam omnibus law tak akan mampu menyelesaikan persoalan ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kasus dugaan suap dalam penerbitan rekomendasi impor produk hortikultura di Kementerian Pertanian dan surat persetujuan impor di Kementerian Perdagangan adalah contoh nyatanya. Meski peraturan menteri sudah menegaskan persyaratan impor dan tata cara penerbitan izin, implementasinya di lapangan bisa berbeda 180 derajat. Permohonan impor satu perusahaan bisa ditolak tanpa penjelasan atau digantung berbulan-bulan, sementara izin perusahaan lain bisa turun dalam waktu singkat. Bau suap dan kongkalikong tercium pekat dalam proses pemberian izin yang tak transparan semacam itu.
Investigasi Tempo selama lebih dari dua bulan menemukan keterlibatan pejabat teras di dua kementerian itu dalam memainkan izin impor produk hortikultura. Mereka bersiasat dengan politikus Partai Nasional Demokrat (NasDem) dan Partai Golkar untuk meminta jatah preman dari setiap kilogram impor yang izinnya diterbitkan. Separuh dari total nilai sogokan harus dibayar di muka. Akibat permainan ini, hanya segelintir pengusaha yang izinnya terbit tepat waktu. Sisanya baru mendapat izin impor setelah musim panen di negara asal produk mereka lewat. Itu pun setelah Asosiasi Eksportir-Importir Buah dan Sayur Segar Indonesia mengancam menggugat ke pengadilan tata usaha negara.
Praktik korupsi semacam ini sebenarnya bukan hal baru. Sejak zaman Menteri Pertanian Suswono di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, para politikus sudah bermain kuota impor. Ketika itu, politikus Partai Keadilan Sejahtera, Luthfi Hasan Ishaaq, ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi setelah menjanjikan kuota impor daging sapi dengan imbalan fulus Rp 1,3 miliar. Sayangnya, kini KPK sudah tak bergigi lagi untuk mengungkap modus korupsi serupa yang terus berulang di kementerian yang sama.
Modus suap ini terus berlanjut karena pemerintah mempertahankan kebijakan kuota impor untuk berbagai jenis komoditas. Padahal hasilnya adalah politik rente yang menguntungkan partai politik penguasa kementerian yang bersangkutan. Pemerintah memilih memberikan konsesi kepada politikus ketimbang menciptakan pasar yang sehat dan ketahanan pangan yang berkesinambungan untuk publik. Meski harga terus bergejolak dan nasib petani juga tak diuntungkan, kebijakan kuota impor ini terus saja dipertahankan.
Menurut data Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2020 mencapai 26,42 juta atau 9,78 persen dari total penduduk. Jumlah mereka diperkirakan naik drastis akibat pandemi Covid-19. Sudah saatnya pemerintah memperhatikan kebutuhan mereka ketimbang kebutuhan dana partai politik pendukung. Kenaikan tak terkendali harga barang kebutuhan pokok akibat permainan impor amat berpengaruh pada kemampuan orang miskin bertahan hidup.
Para petani kita pun tak mendapat manfaat banyak dari kebijakan proteksi melalui kuota impor. Sejarah menunjukkan petani kita justru kelabakan kalau pemerintah melakukan intervensi dengan kebijakan setengah matang. Pengalaman pahit di era Orde Baru ketika pemerintah mengatur tata niaga jeruk dan pemasaran cengkih tak boleh terulang. Biarkan mekanisme pasar bekerja sehingga petani bisa memilih sendiri produk yang paling menguntungkan buat mereka. Pemerintah cukup memastikan petani memperoleh apa kebutuhan mereka untuk berkembang.
Omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja mungkin saja menggunting ratusan aturan yang menghambat perekonomian Indonesia. Tapi, tanpa penegakan hukum yang jujur dan berwibawa, para politikus kotor, pengusaha berwatak mafia, dan birokrat busuk akan terus merongrong negeri ini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo