Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Solusi Sanggauledo untuk Ambon

Ambon makin parah. Siapa tahu solusi di Sanggauledo bisa ditiru.

8 Agustus 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BETAPA repotnya akal sehat menerima kenyataan di Ambon ini: jumlah aparat keamanan terus ditambah, sementara jumlah korban yang tewas juga terus melonjak. Di kota yang dulu dikenal sebagai "Ambon Manise" itu sedikitnya ada lima batalyon tentara—sekitar 5.000 orang—plus aparat kepolisian dan militer setempat, sedangkan sejak akhir Juli saja sudah 90 jiwa tewas. Itu berarti setiap hari, sekarang ini, di kota dengan 300 ribu penduduk itu, ada tiga atau empat nyawa yang harus menjadi korban. Hampir 70 ribu orang mengungsi ke luar Ambon. Ribuan lainnya hidup di barak-barak pengungsian, kondisi mereka buruk. Ditambah jumlah korban tewas kerusuhan Januari lalu, di sana sudah 120 orang tewas. Kuntowijoyo pernah mengkritik pemerintah yang tak kunjung mau mendata, mencatat, dan menganalisis kerusuhan sosial yang sepuluh tahun belakangan ini semakin banyak terjadi. Maka, solusi yang ditempuh juga selalu bersifat trial and error. Di Ambon, satu kelompok yang bertikai diungsikan ke barak-barak pengungsian. Dan seharusnya pemerintah setempat percaya bahwa membangun barak pengungsian hanya bisa jadi solusi berjangka waktu pendek. Sebab, membiarkan satu kelompok dalam sebuah barak pengungsian sama saja dengan menyemaikan bibit-bibit kebencian pada kelompok itu. Penderitaan karena buruknya kondisi makanan dan kesehatan, apalagi ditambah perlakuan aparat yang timpang, akan melahirkan dendam berkepanjangan. Sebelum Palestina merdeka, pengungsi Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza bisa menjadi contoh betapa hidup di pengungsian membuat orang tak punya banyak pilihan: melawan atau menjadi korban. Solusi atas kasus Sanggauledo bisa saja diterapkan di Ambon. Perseteruan antara etnis Dayak dan Madura di Kalimantan Barat pada 1997 itu, yang juga makan korban ratusan jiwa, diselesaikan oleh masyarakat sendiri melalui penandatanganan piagam perdamaian. Pemerintah dan aparat keamanan bertindak sebagai mediator di sana. Mulanya, dari dua kelompok yang bertikai, bertemulah orang-orang yang paling tak punya masalah, misalnya pemuka agama. Dan perjanjian damai ini dilakukan sampai di kecamatan-kecamatan, tidak berhenti sampai di provinsi. Sehingga problem "arus bawah" masyarakat bisa ditangkap dan pemuka masyarakat di tingkat akar rumput juga bisa diikutkan dalam penyelesaian masalah mereka. Jika terjadi pelanggaran atas perdamaian, jalur komunikasi yang terjalin antarpemuka rakyat bisa dimanfaatkan untuk meredam konflik baru. Seperti ditulis koran lokal Akcaya edisi Januari 1997, ikrar perdamaian warga Kecamatan Bengkayang di Kabupaten Sambas diikuti oleh lima desa yang baru selesai bertempur. "Tak lagi terlihat perasaan takut dan curiga di antara mereka," tulis Akcaya. Ikrar itu dipimpin oleh tumenggung adat setempat dan ditutup dengan membersihkan kampung bersama-sama. Acara serupa juga dilakukan di tiga kecamatan lainnya. Walau Sambas belum bebas pengungsi, jumlahnya sudah makin susut sekarang ini. Di Ambon urusan agak semrawut karena aparat keamanan "terpecah" mengikuti kelompok yang berbeda agama itu. Dan ketika kaum bersenjata ini sulit dikendalikan, kerusuhan semakin parah— dan meredam aparatnya sendiri itulah tugas terpenting TNI jika ingin meredakan Ambon. Sementara itu, pemuka masyarakat bisa mencoba solusi model Sanggauledo.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus