Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Jepang

Pimpinan meiji jepang th 1889, meresmikan lembaga birokrasi negara, pengatur keinginan rakyat & penyusun kepentingan utama. sebagai negara yang integralistik & totaliter, sesuai dengan corak masyarakat indonesia.

13 Desember 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA satu anekdot tentang Chairil Anwar. Di masa penjajahan Jepang, penyair ini menulis sebuah sajak. Dua baris terakhirnya berseru: Kawan, kawan, Kita mengayun pedang ke Dunia Terang! Dalam bukunya Kesusastraan Indonesia di Masa Jepang, Kritikus H.B. Jassin menceritakan bagaimana sajak itu menimbulkan kecurigaan penguasa. Sajak itu sebenarnya sudah lolos dari sensor Kempetai. Tapi instansi yang lebih tinggi, Gunseireibu, berkeberatan. Kalimat Chairil -- yang sebenarnya menyerukan perjuangan ke dunia yang lebih baik -- ditafsirkan sebagai anjuran "pemberontakan terhadap Jepang". Mereka yang terbiasa dengan dengan kekuasaan dan aturan memang umumnya sulit memahami puisi -- benda ajaib yang lahir dengan bahasa yang sering tak terduga dari hati. Mungkin sebab itu kesusastraan kian dikontrol. Pengarang Idrus terpaksa menyembunyikan karya-karyanya sampai datang kemerdekaan. Tulisan Maria Amin banyak yang tak dapat "izin", dan, tulis Jassin, "dia masuk lis hitam" sebagai orang yang "dicurigai". Ada yang khas pada tiap pemerintahan pendudukan dalam soal daftar hitam kecurigaan itu. Apalagi Jepang dalam keadaan perang dan tiap hari orang harus berteriak, "Awas mata-mata musuh!" Tapi ada sesuatu yang lain yang memang menyebabkan kekuasaan Jepang akan menolak (setidaknya mematai-matai) puisi Chairil dan prosa Idrus dan sejumlah pernyataan individu lain yang mandiri. Negara, dalam sejarah Jepang modern sampai selesainya Perang Dunia II, telah diserahi kekuasaan begitu rupa hingga bisa mengurus dan mengatur sembarang hal -- sampai soal sampah dan sajak. Sampai dengan 1945 itu, Jepang adalah sebuah negara birokratik. Ada seorang ahli yang mengatakan bahwa pada awalnya adalah Zaman Restorasi (Pemulihan) Meiji. Kekuasaan telah direbut dari Shogun Tokugawa oleh sejumlah pemimpin dan dikembalikan kepada Kaisar. Tiap kali persoalan timbul tentang sah atau tidaknya kekuasaan para pemimpin perebut itu dalam pemerintah, mereka pun naik banding kepada sang Maharaja. Dengan demikian, di antara mereka tak ada "tokoh utama". Semua sama di depan Tenno. Tapi persamaan ini tentu menyebabkan tiap orang juga bisa punya wewenang yang tak kalah kecil jika hendak bersaing dengan mereka. Maka, bagaimana mempertahankan posisi? Bagaimana memilih pengganti para pelopor Restorasi tanpa menjadikannya arena konflik yang sengit? Jawabnya: sebuah strategi birokratisasi. Apalagi Jepang sebelum Perang adalah Jepang yang pada dasarnya rusuh. Modernisasi menimbulkan kesengsaraan dan kerusuhan petani. Di kota buruh gelisah, juga kalangan bisnis, dan akhirnya mereka ingin Jepang yang kuat dan keras. Demikianlah kekuasaan harus dikukuhkan. Di tahun 1889, melalui suatu konstitusi menjadi resmilah apa yang dilembagakan oleh pimpinan Meiji: sebuah monopoli bagi birokrasi negara untuk mengatur keinginan masyarakat dan juga dalam menyusun prioritas kepentingan. Memang, dalam perkembangannya kemudian, birokrasi ini akhirnya harus mengakui, monopoli itu tidak bisa mutlak. Pertumbuhan Jepang sendiri telah melahirkan kelompok-kelompok yang kian mendesakkan otonominya, misalnya di kalangan bisnis dan profesi. Tapi toh akhirnya birokrasi itu menemukan cara bagaimana mempertahankan posisinya yang di atas angin. "Kepentingan-kepentingan swasta", tulis Bernard Silberman dalam sebuah telaah mengenai sejarah Jepang modern, "dibirokratisasikan meskipun tidak dilenyapkan." Dengan proses itu, partai politik, organisasi pemuda, serikat buruh dan grup bisnis muncul mengikuti model dan tuntutan birokrasi pemerintahan. Dari sini agaknya tak tampak benar adanya jurang -- apalagi konfrontasi antara warga masyarakat dan aparat pemerintahannya. Dibandingkan dengan negeri-negeri Barat, yang tampak di Jepang itu bisa memikat memang. Apalagi kemudian dari dalamnya dikembangkan sebuah ideologi suatu pengukuhan. Struktur politik di Jepang, menurut paham ini, adalah suatu alternatif bagi apa yang bertumbuh di Barat: Jepang negara kekeluargaan, Barat masyarakat persengketaan. Tak heran bila di aman pendudukan Jepang itu, orang seperti Prof. Supomo seorang pemikir penting yang ikut menyiapkan konstitusi kita pertama kali -- terpikat akan model "Asia Timur" itu. "Negara Dai Nippon berdasar persatuan lahir dan batin yang kekal antara Yang Mahamulia Tenno Heika, negara dan rakyat Nippon seluruhnya," kata Supomo. Ia menyebutnya negara "integralistik", dan "totaliter". Baginya, itu "sangat sesuai" dengan corak masyarakat Indonesia. Negara totaliter? Orang seperti Chairil Anwar (yang merasa disewenang-wenangi) mungkin tak setuju. Tapi siapa peduli penyair? Juga kemerdekaannya? Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus