TRAGEDI Pulau Babar kini terungkap. Sebuah dokumen 41 halaman, yang berisi catatan sepak terjang bala tentara Jepang, di gugusan pulau sebelah selatan Laut Banda, menyembul ke permukaan. Dan lembar-lembar rahasia itu sempat bergema luas ketika akhir bulan lalu, media massa terkemuka Jepang, Asahi Shimbun, memaparkannya secara lengkap. Tersebutlah dalam dokumen itu, November 1942, Kompi 12 Resimen Infanteri 42, yang berkuasa di wilayah timur, telah melakukan jubatsu (hukuman berat) atas 400 warga Amplawas, sebuah kampung di Pulau Babar. Pembantaian keji itu, dalam dokumen militer ini, tak menyebut alasan yang masuk akal. Setidaknya, akal sehat di masa damai. Insiden bermula dari tewasnya seorang prajurit angkatan laut Jepang, Shinora, di dusun penghasil rokok lintingan itu, 27 Oktobcr 1944. Penduduk Amplawas membunuh pula tiga orang mittei (mata-mata) yang, tentu saja, pribumi. Tak ada keterangan yang jelas mengapa insiden itu timbul. Lalu, insiden berlanjut. Kali ini yang jatuh menjadi korban seorang Kempetai (Polisi Militer Jepang), Sersan Mayor Goto. "Serma Goto tewas dengan belasan luka tusuk. Ususnya terburai keluar," begitu tertulis dalam salah satu lembar dokumen. Tentu ini masih menurut catatan dalam dokumen itu, tiga puluhan penduduk Babar itu bergerak menuju Pos Kawal Laut. Sersan marinir Katsumi Chigami jatuh sebagai korban berikutnya. Rombongan yang bersenjatakan parang dan tombak kian beringas. Sasaran berikutnya, tak tanggung-tanggung, pangkalan angkatan laut Jepang di Babar, yang diperkuat sekitar dua regu serdadu. Mayor Makino, komandan pangkalan itu, rupanya sudah mempersiapkan sambutan. Beberapa marinir dengan senapan di tangan menghadang rombongan "pemberontak" itu. Maka, insiden berikutnya pun pecah. Sebagian dari rombongan bersenjata tajam ini tewas ditembus peluru. Tentu saja, kejadian itu membuat tentara Jepang berang. Sepekan kemudian, 35 serdadu gabungan, infanteri dan marinir, melakukan opersi militer. Tujuannya, seperti disebut dalam dokumen itu, merebut kembali 4 bilah bedil dan 2 buah pistol yang jatuh ke orang-orang Amplawas. Lebih dari seratus orang diperiksa dan digelandang. Dalam operasi tobatsu (penaklukan) pertama ini beberapa warga Amplawas terbunuh. Rupanya, perkara Dusun Amplawas dianggap belum tuntas. Sepekan kemudian mendarat lagi satu kompi (60 orang) serdadu infanteri Jepang yang dipimpin oleh Kapten Toshiro Tashiro. Tim operasi tobatsu kedua, demikian disebut dalam dokumen. Kompi 12 dari Infanteri 42, Divisi V, ini datang atas perintah Panglima Divisi. Pasukan infanteri yang datang dari markasnya di Pulau Tanimbar, sekitar seratus mil laut sebelah timur Babar ini, tak hanya datang untuk menaklukkan, tapi juga untuk menangani pemberontakan. Operasi Kompi 12 ini akhirnya menimbulkan pembantaian besar: tak kurang dari 400 orang -- terdiri dari pria, wanita, dewasa, dan kanak-kanak -- terbunuh. Cukup alasankah serdadu Jepang menebar maut di pulau seluas 550 kilometer persegi ini? Ini yang tak jelas diungkapkan. Tashiro, kini 65, yang dihubungi wartawan TEMPO di Tokyo, Seiichi Okawa, dalam laporan rahasia itu menyatakan bahwa operasi jubatsu itu dilakukan lantaran penduduk Dusun Amplawas, dan dusun-dusun sekitarnya, bersikap tak bersahabat, bahkan kurang ajar terhadap Nippon Gun (Tentara Jepang) itu. Namun, belakangan, Toshiro seperti menyesali diri telah membuat laporan jujur, yang disusunnya pada bulan Januari 1946 itu. Lalu, ia berkirim surat kepada Mayor Uematsu, yang kala itu menjabat staf dokumentasi Divisi V. "Ada beberapa hal yang kurang menguntungkan dalam laporan saya. Mohon diperbaiki," demikian antara lain bunyi surat Toshiro, yang kini menjadi salah satu bagian dari 41 lembar kertas dokumen itu. Dan pengubahan atas laporan militer memang dilakukan. Jika dalam laporan pertama judulnya "Lembar-Lembar Dokumen Peristiwa Pulau Babar", maka dalam laporan final tertulis "Peristiwa Pemberontak Rakyat Pulau Babar". Dalam draft final itu alasan pembantaian dibikin tambah lucu. Inilah, kutipannya, "Semua rakyat, termasuk wanita dan kanak-kanak, bertempur membabi buta, dengan parang dan tombak di tangan. Anak panah meluncur dari banyak arah. Sebagian besar dari mereka terluka oleh anak panah dan parang mereka sendiri. Akibatnya, banyak di antara mereka yang tewas". Agak aneh, memang. Namun, laporan ini disetujui oleh Mayjen Kinjo Kobori Panglima Divisi V yang menjabat sejak Agustus 1945. Kejadian serupa dapat ditemukan di tempat lain pada peta kekejaman Jepang selama Perang Asia Pasifik berkecamuk. Di Pontianak, umpamanya, para Kempetai dan marinir Jepang tak kalah galaknya. Dan mereka tak kalah pintar membuat alasan pada setiap acara pembantaian. Plot Pendurhakaan terhadap Dai Nippon di Pontianak, umpamanya, menurut Tsuneo Iseki, adalah rekaan penguasa militer Jepang sendiri. Dalam plot itu, seolah-olah akan terjadi gerakan kekerasan anti-Jepang. Gerakan itu, begitu menurut tuduhan Kempetai, bermaksud meracuni secara masal tentara Jepang di saat merayakan Ulang Tahun Perang Asia Pasifik ke-2, Desember 1943. Dengan dalih itu, Juni 1944, puluhan orang ditangkap dan dijatuhi hukuman mati. "Padahal, komplotan itu tak pernah ada," kata Tsuneo Iseki, yang waktu itu menjadi juru bicara dalam pemeriksaan para tersangka. Iseki, kini 75, dan tinggal di Osaka, yang juga dihubungi Seiichi Okawa dari TEMPO, datang ke Pontianak akhir tahun 20-an dan bekerja di perkebunan karet. Setelah Jepang masuk, Desember 1941, Iseki mau tak mau harus bekerja untuk kepentingan penguasa Jepang. Tak hanya pada peristiwa itu Jepang membantai penduduk. Sejak menginjakkan kaki di bumi Kalimantan Barat, bala tentara Nippon ini telah siap menebarkan maut. Dan pembunuhan pertama bahkan dimulai sebelum serdadu Jepang menginjakkan kaki di daratan Pontianak. Pertengahan Desember 1941, pada sebuah siang, sembilan pesawat tempur Jepang muncul di langit Pontianak. Pesawat yang datang dengan formasi menyerang ini ternyata tak pilih-pilih sasaran. Gedung-gedung sekolah dan permukiman penduduk tak lolos dari bom dan peluru mitralyur. Darah muncrat di sembarang tempat. Hari-hari berikutnya, pesawat yang sama menyerang daerah-daerah sekitar Pontianak. Akhir Januari 1942 pasukan Jepang mendarat di Pontianak, tanpa ada perlawanan. Sejak itu, penguasa militer Jepang begitu mudah menjatuhkan hukuman tembak atau pancung kepada warga setempat. "Semua orang yang punya pengaruh ditangkap dan dibunuh," tutur H.M. Yoesoef, 71, yang kala itu seorang kader Parindra (Partai Indonesia Raya) yang tentu saja anti-Jepang. Tahap berikutnya, para pegawai pemerintah Hindia Belanda yang jadi sasaran. Menurut catatan Pemda Kalimantan Barat, kalau ini benar, tak kurang dari 20 ribu orang tewas dibantai laskar Jepang selama masa pendudukan. Putut Tri Husodo, Laporan Seiichi Okawa (Tokyo) & Djunaini K.S. (Pontianak)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini