PERANG Asia Timur Raya telah usai. Tapi sejarah tak berhenti sampai di situ. Ini cerita tentang tentara Jepang yang pernah menduduki negeri ini, tapi enggan kembali ke tanah leluhurnya. Ada pilot yang menjadi mantri. Ada petugas logistik yang menjadi pedagang. Mereka kawin dengan bekas bangsa yang dijajahnya. Namun, ada pula yang kembali ke Jepang untuk mengubur masa lalunya. Adakah kesempatan baginya untuk meminta maaf atas kekejaman yang pernah dilakukannya? T. Onodera alias Soedarmo, 70. 1 Maret 1942, sekitar tengah hari. Ratusan prajurit Jepang mencemplungkan diri telanjang dari kapal pengangkut mereka menuju pantai. Di antaranya adalah Sersan Mayor T. Onodera. Ia termasuk beruntung selamat. Sebagian rekannya tenggelam bersama kapal mereka ketika bertemu dengan dua kapal perusak sekutu di perairan Merak, Jawa Barat, sehari sebelumnya. Kendati begitu, sisa pasukan yang ada tetap didaratkan di pantai Banten. Namun, Letnan Jenderal Imamura, sebagai pimpinan tertinggi penyerangan, tak bisa berbuat lebih banyak untuk mengetahui keadaan anak buahnya. "Semua alat komunikasi ikut tenggelam," tulis Imamura dalam memoirnya. "Satu-satunya hal yang saya tahu adalah bahwa Resimen Shoji, Brigade Sakaguchi, dan Divisi Tsuchihashi, telah didaratkan." 2 Maret 1942. Jenderal Imamura mendirikan markas di Serang, 16-17 km dari pantai pendaratan. Sersan Mayor Onodera ikut merasakan betapa beratnya perjalanan menuju kota itu. Jangankan kendaraan, pasukan infanteri Jepang saja susah payah melalui barikade pohon-pohon berdiameter satu meter yang dirobohkan Belanda sepanjang jalan. Kemudian berada di Batavia, Sersan Mayor Onodera, bersama dengan satuan berkekuatan satu peleton, ditugasi mengamankan dan menguasai daerah pelabu Tanjungpriok. Sepanjang jalan, "Tak satu pun peluru dilepaskan, karena kami tidak berjumpa dengan pasukan Belanda dan Sekutu," katanya kepada Ahmed Soeriawidjaja dari TEMPO di Jakarta. Sementara itu, Jenderal Imamura mulai memindahkan markasnya dari Serang ke Batavia. Sepanjang satu setengah tahun pertama, Onodera tetap diposkan di Tanjungpriok. Demi tanggung jawabnya, "Setiap pagi saya terpaksa belajar bahasa Indonesia," kata Onodera. Pekerjaan ini tampaknya sebuah beban tersendiri baginya. Setelah itu, ia kemudian ditugasi bergabung dengan pasukan Jepang yang sedang berlatih perang gerilya di Tangkubanperahu, sebelah utara Bandung, Jawa Barat. Tapi situasi memburuk. Di sana-sini tentara Jepang mulai digasak serangan balasan pasukan Sekutu. Karena itu, Onodera diminta mempersiapkan perlawanan gerilya di sepanjang pantai utara Pulau Jawa untuk menghadapi bala tentara Sekutu. Dari kabar-kabar yang didengarnya, Onodera merasa Jepang sudah di ambang kejatuhan. Maka, ia bertekad untuk mendekati rakyat saja. Caranya? "Kawin dan jadi orang Indonesia," jawab Onodera. Melalui seorang kenalannya, di akhir 1944, ia dipertemukan dengan Sri Sujati, putri seorang mantri polisi di Solo, yang masih berusia 17 tahun. "Tidak ada kenal-kenalan lagi. Langsung saja kawin," kata Onodera, yang kala itu sudah berusia 28 tahun. Agustus 1945, Jepang menyerah. "Saya bingung dan putus asa. Tidak ada harapan untuk kembali ke Jepang. Sejarah Jepang tidak pernah mengenal kalah perang," tutur Onodera sambil mengenang. Belum menjadi tawanan tentara Sekutu dan dipenjarakan di penjara Glodok (sekarang pusat pertokoan Harco, Jalan Hayam Wuruk), ia sempat memulangkan istrinya yang dalam keadaan hamil ke orangtuanya di Solo. Namun, dua bulan kemudian, entah bagaimana, ia berhasil melarikan diri dari penjara. Karena merasa bahwa Jepang pernah menjanjikan kemerdekaan kepada Indonesia, ia lalu bertekad menggabungkan diri ke dalam BKR (Badan Keamanan Rakyat) sebelum menjadi TNI. Tahun 1954, Onodera berhenti dari TNI dengan pangkat kapten memperoleh penghargaan, antara lain Bintang Gerilya, dari pemerintah. "Sewaktu masih aktif di militer, orang-orang imigrasi tidak ada yang berani ganggu-ganggu saya, tidak mau bertanya," kata Onodera ketika menceritakan urusan kewarganegaraannya. Untung saja, Wakasad Brigjen Gatot Subroto sempat memberikan surat keterangan yang menyatakan ia sebagai bekas pejuang. Sehingga, proses naturalisasinya berjalan lancar. Untuk menghidupi keluarganya, Onodera sempat bekerja di Konsulat Jepang, Surabaya. Kini, di akhir masa hidupnya, ia tidak perlu lagi mengurusi 5 anaknya yang telah memberi 16 cucu dan 5 buyut. Satu-satunya kesibukan tinggallah sebagai Ketua Yayasan Warga Persahabatan, wadah yang mengumpulkan 177 orang bekas tentara Jepang di Indonesia. (Machmud) Masao Shirikawa, 64. Perang Asia Timur Raya telah mengubah nasib Masao Shirikawa. Dari seorang pilot Pasukan Berani Mati (Jibakutai) Angkatan Udara Jepang menjadi mantri di Klinik Sahabat kepunyaannya sendiri di Langsa, Aceh. Perjalanan hidupnya memang bagaikan perang itu sendiri: antara kalah dan menang. Sehabis menamatkan sekolah menengahnya di Jepang, ia sempat belajar ekonomi dan perdagangan di sebuah perguruan tinggi. Gelar kesarjanaan diraihnya di tahun 1943, persis ketika negaranya mengumandangkan genderang perang ke segenap penjuru Asia. Karenanya, Shirikawa terkena wajib militer. "Saya minta ditempatkan di bagian angkatan udara," kata Shirikawa kepada Mukhsin Lubis dari TEMPO di Langsa. Untungnya, permintaan tersebut dikabulkan. Berbekalkan 65 jam terbang yang didapatnya selama pendidikan satu tahun, di akhir 1944, Shirikawa dikirim ke Singapura dengan pangkat letnan dua penerbang. Nasib buruk menimpa Shirikawa di sana. Belum sempat bertugas, ia diserang penyakit malaria dan disentri sehingga harus berbaring sepanjang tiga bulan. Beratnya merosot 29 kg menjadi 45 kg. Akibatnya, ia diafkir dari dinas ketentaraan dan dihadapkan kepada dua pilihan: pulang ke Jepang atau bertahan di Singapura. Shirikawa mengambil pilihan terakhir. "Pulang ke Jepang tidak mungkin. Karena mereka yang kembali ke sana banyak dihadang tentara Sekutu," kata Shirikawa menjelaskan. Kemudian ia bertemu dengan kakak kelasnya di bangku kuliah, Takahashi, yang waktu itu mengepalai Mistsui Bussan Kaisha (MBK), perusahaan dagang Jepang di Singapura. Perusahaan ini dikenal pula sebagai pemasok peralatan perang tentara Jepang. Akhir Juli 1945, Shirikawa diberi kepercayaan mengelola MBK cabang Medan. Ketika Jepang bertekuk lutut kepada Sekutu sebulan kemudian, ia menerima saja tawaran Ibrahim, asal Langsa, yang baru menyelesaikan pendidikan Heiho-nya, untuk ke kampung halamannya. Semula Shirikawa ragu. Pulang ke Jepang atau menetap di Langsa. "Biarlah saya tinggal di Indonesia saja. Kalau bisa membantu perjuangan bangsa Indonesia daripada menjadi tawanan Sekutu," ujar Shirikawa mengenang saat-saat ketika ia mengambil keputusan tersebut. Namun, ada soal lain yang menyebabkan ia bersikap demikian. "Jepang berjanji memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Tapi tidak ditepati. Saya sangat kecewa dengan janji itu," kata Shirikawa lebih lanjut. Pergilah ia menuju Langsa, kampung halamannya yang baru. Sebelum berangkat, ia sempat mengemasi obat-obatan milik MBK. Obat-obatan itulah yang menolong kehidupannya di sana. Hatta, putri keluarga Aminuddin, keluarga induk semang Shirikawa di Langsa, sakit bisul. Dengan modal ilmu kedokteran yang didapatnya selama dirawat dulu, ia melakukan pembedahan pertama: "Memotong bisul anak Pak Aminuddin." Dan berhasil. Sejak itu penduduk Langsa menganggapnya sebagai dokter. Lalu? "Kalau siang saya mengobati, malamnya saya mencoba membaca buku-buku pelajaran medis yang saya bawa dari Medan," kata Shirikawa. Memasuki bulan Oktober, Ibrahim meminta Shirikawa melatih dasar-dasar kemiliteran kepada penduduk setempat. Tawaran itu diterimanya dengan syarat ia disediakan seorang ustad. Seorang ustad ? Ketaatan ibadat keluarga Aminuddin memang langsung menarik perhatiannya saat-saat pertama ia tinggal di sana. Muncullah keinginannya untuk mempelajari Islam. Kata Shirikawa, "Adabnya sangat cocok dengan pelajaran budi pekerti yang saya pelajari ketika di sekolah dasar." Tak lama kemudian, ia masuk Islam dan dikhitankan oleh Bilal Yakob. Lalu ia diberi nama Machmud. Setelah Konperensi Meja Bundar, 1949, Shirikawa diminta memilih terus di ketentaraan atau kembali menjadi orang sipil. Ia lebih suka meninggalkan dunia kemiliteran dengan pangkat terakhir letnan muda. Sekarang ia punya kesibukan lain di luar kliniknya: mendirikan masjid di Cot Plieng. Menurut Salim Yamanashi, bekas sersan intendans Jepang yang mengurusi YWP Cabang Medan, pembangunan masjid itu adalah rencana Shirikawa sendiri tanpa campur tangan Yayasan. Dari dua istrinya, Shirikawa mendapatkan 13 anak dan 20 cucu. Masaharu Ishii alias Mohamad Amin, 70. Ia masih berusia 20 tahun ketika memasuki dinas militer. Saat itu ada semacam "klasifikasi": mereka yang berbadan sehat dan atletis digolongkan sebagai pemuda kelas I. Mereka yang sehat tetapi tidak memiliki postur atletis (misalnya kuntet) dimasukkan ke dalam kategori pemuda kelas II. Yang tidak memiliki kedua persyaratan tersebut disebut pemuda kelas III. "Waktu itu, kalau bisa masuk kelas I, rasanya, bangga sekali. Dan minimal tidak dianggap rendah oleh para gadis dan (calon) mertua" kata Masaharu Ishii kepada Totok Amin dari TEMPO di Surabaya. Ishii boleh berbangga. Selain terpilih dalam kategori tertinggi, nama pemuda asal Pulau Hokkaido ini termasuk dalam 200 pengawal Istana. Tahun 1939, tiga tahun pertama masa dinasnya, Ishii bertugas di Kanton (sekarang Ghuang Zhou), Cina, dengan pangkat sersan mayor. Dari situ ia ke Vietnam, Kamboja, dan Muangthai. Ketika Perang Dunia II pecah, Ishii lantas dikapalkan ke Labuhanruku, Sumatera. "Pertama kami mendarat," kata Ishii, "kami harus melewati rawa sampai ke pinggang. Lalu kami membayangkan bagaimana keadaan Indonesia: jelek dan primitif. Namun, sesampainya di darat, kesan itu hilang. Ternyata, di Indonesia banyak jalan yang rata dan baik. Tidak kalah dengan di Jepang. Bahkan lebih baik dari desa asal saya," Ishii pun tertawa. Pada 1943 Ishii ditarik ke Kutaraja, ibu kota Provinsi Aceh yang sekarang bernama Banda Aceh. Dari sana ia dipindahkan lagi ke Meulaboh, menempuh jarak 245 km dengan truk selama tiga hari. Tidak heran, sebenarnya, karena Belanda menghancurkan beberapa bagian ruas jalan antara kedua kota itu beserta jembatannya. "Tugas kami di Meulaboh adalah menjaga sisi barat Sumatera dari serbuan Inggris atau Belanda. Tapi sampai masa tugas selesai di tahun 1945, kami tidak pernah bertemu musuh," ucap Ishii. Ishii mengaku bahwa selama tugas ini tidak pernah menghadapi perlawanan berarti penduduk pribumi. "Orang Aceh saat itu baik-baik. Kecuali para sultan yang menjadi antek Belanda," kata Ishii lebih lanjut. Kalaupun ada perlawanan dari penduduk setempat, terutama disebabkan oleh hal-hal yang ditimbulkan karena perbedaan agama dan budaya. Misalnya saja saat itu ada tentara Jepang yang memasuki masjid tanpa membuka sepatu. Kontan saja penduduk menuduh si Jepang itu kafir. "Kami sendiri tidak tahu apa itu agama Islam. Masjid saja baru tahu waktu itu." Semasa di Meulaboh, Ishii tetap mengurusi masalah logistik untuk 180 serdadu yang diposkan di situ. Karena itu, ia lebih sering berhubungan dengan penduduk setempat, terutama untuk membeli keperluan sehari-hari. Saat itu kerja Kempetai cuma mengobrol. "Lantaran tidak ada mata-mata atau pemberontak yang harus ditangkapi, mereka lantas menangkapi saja para penjudi," tutur Ishii. Akibatnya, Ishii turut sibuk mengurusi makanan para tawanan. Akhirnya, ia memberanikan diri mengeluarkan perintah: tawanan yang "tidak penting" dilepaskan saja. "Lalu penduduk mengira saya ini bisa menguasai Kempetai. Padahal, alasan pembebasan tersebut cuma karena beban logistik," Ishii menambahkan. Menyerahnya Jepang kepada Sekutu baru diketahuinya lima hari kemudian dari sepucuk surat rahasia yang dikirim dari markas besar di Pematangsiantar. Mereka diperintahkan menyerahkan seluruh senjata dan logistik di Pematangsiantar, lalu kembali lagi menjagai Meulaboh. Semua dokumen dan uang di markas dibakar. Belakangan mereka menemui kesulitan karena tidak bisa membeli keperluan sehari-hari. Sebagai pemecahannya dipakailah cara barter: kain milik serdadu dengan beras penduduk. Satu ketika markas Meulaboh dikepung sekitar 30 ribu penduduk yang dipimpin oleh H. Daud, orang terkaya di Aceh Barat. Tidak ada kontak senjata. Tapi, "Hanya kontak mulut saja, ya . . . bentak-bentakan," kata Ishii. Selang seminggu berikutnya, H. Daud ternyata kewalahan menanggung makan anak buahnya. Maka, Ishii dipanggil keluar dan diajak berdamai. "Baiklah. Saya bersedia. Tapi apa jaminannya?. Jika nanti penduduk masih kalap 'kan gawat." ujar Ishii menirukan ucapannya kepada H. Daud kala itu. Akhirnya, disepakati bahwa upaya damai ini diumumkan secara lisan kepada para penduduk yang mengepung markas. Ketika pasukan Sekutu datang untuk melucuti tentara Jepang, suasana kota keruh kembali. Rakyat siap membakar kota. Maka, Ishii mencoba menenteramkan luapan emosi rakyat dan membuka gudang logistik. "Daripada nanti dirampas Sekutu atau Belanda, lantas mereka membagi-bagikan kepada penduduk, 'kan kesan penduduk terhadap Jepang menjadi jelek," ujar Ishii. Ia sendiri tidak termasuk mereka yang diangkut tentara Sekutu. "Ketinggalan kapal," katanya memberi alasan. Padahal, sebenarnya, ia punya alasan lain. "Saya tidak ingin ke Jepang. Sebagai anak bungsu, menurut adat Jepang, saya tidak mendapatkan warisan. Lagi pula, keadaan Jepang dalam bayangan saya adalah hancur porakperanda." Oleh pejuang setempat, Ishii dan lima rekan lainnya akhirnya ditangkap dan sempat mendekam tiga tahun di penjara. Di tahun 1948, ia menemukan jodohnya, seorang putri pedagang di Meulaboh. Lalu, mengapa ia harus mengubah namanya menjadi Mohamad Amin? Nama itu sebenarnya adalah samaran untuk menghilangkan kecurigaan pihak Belanda. Terutama ketika ia berhubungan dengan seorang pedagang yang belakangan menjadi mertuanya. Dari hasil perkawinan mereka, Ishii mendapatkan lima anak. Yang sulung kini mengikuti suaminya di Spanyol. Untuk mengisi waktunya, Ishii berdagang dibantu anak keduanya. Tsutsumi Kyokatsu alias Ridwan, 67. Ia memulai kariernya dari jenjang kepangkatan terendah, sebagai prajurit. Secara administratif, Kyokatsu tergabung bersama Resimen Infanteri IV. Dari daerah kelahirannya di Pulau Hokkaido, ia kemudian berangkat ke Cina, kemudian Malaysia. Pertengahan Maret 1942, ia berada di kapal pengangkut yang menuju Tanjungtiram, wilayah di Kabupaten Asahan. Menurut rencana semula, mereka diharuskan kembali ke kapal yang berlabuh di Tanjungtiram tujuh hari setelah pendaratan. Rencana berikutnya adalah penyerangan ke Australia. Dua hari sebelum tanggal keberangkatan kembali, mereka sudah berada di Bukittinggi. Hari demi hari berlalu dan rencana penyerangan ke Australia makin tidak jelas. "Tunggu punya tunggu, koh tidak ada kabar kelanjutannya. Sampai akhirnya saya ditugasi menjaga Payakumbuh dan Sawahlunto," kata Kyokatsu. Semasa di Sumatera, Kyokatsu tidak merasakan perang. "Hanya rusuh-rusuh saja," ujarnya. Ia sempat pula bertugas di Aceh sebagai Kempetai. Mendengar kabar Jepang menyerah, "Saya bingung. Apalagi Mayor Jenderal Toyoji Shirano, panglima tentara Jepang di Sumatera yang berkedudukan di Bukittinggi, kemudian mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri, menjelang akhir Agustus 1945. Ridwan sekarang menetap di Jakarta. James R. Lapian, Laporan biro-biro & Seiichi Okawa (Tokyo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini