Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEANDAINYA Prabowo Subianto menyatakan tak akan cawe-cawe dalam pemilihan kepala daerah sebelum putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70 Tahun 2024, ia bisa kita sebut negarawan. Presiden terpilih itu baru menyatakan sikapnya setelah hakim konstitusi memutuskan usia calon kepala daerah dalam Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah minimal 30 tahun terhitung sejak kandidat mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Putusan MK pada 20 Agustus 2024 itu memupus peluang Kaesang Pangarep, anak bungsu Presiden Joko Widodo, menjadi kandidat gubernur di daerah mana pun. Kaesang baru berusia 30 saat pelantikan kepala daerah pada Februari tahun depan. Karena itu, putusan ini menutup cabang baru dinasti politik Jokowi, setelah anak sulungnya menjadi wakil presiden terpilih, menantunya menjadi calon Gubernur Sumatera Utara, dan para ajudannya menjadi calon bupati atau wali kota.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak lama setelah putusan MK itu, Prabowo membiarkan anak buahnya di Partai Gerindra bahu-membahu menggagalkan putusan melalui pembuatan Undang-Undang Pilkada yang baru di Dewan Perwakilan Rakyat. Upaya menganulir putusan MK itu mendapat penolakan publik melalui demonstrasi di banyak daerah.
Rapat paripurna DPR pada 22 Agustus 2024 gagal mengesahkan aturan baru itu karena tak mencapai kuorum. Keputusan KPU tentang pemilihan kepala daerah pun mengacu pada putusan MK tersebut, termasuk soal ambang batas suara partai untuk bisa mengusung calon kepala daerah. Dengan putusan itu, PDI Perjuangan bisa mengajukan Pramono Anung-Rano Karno.
Putusan MK tersebut sekaligus membuyarkan skenario Koalisi Indonesia Maju + Partai Keadilan Sejahtera yang hendak memonopoli pilkada. Mereka mengusung Ridwan Kamil-Suswono dengan target menjadi calon tunggal atau menghadirkan calon boneka lewat kandidat tanpa partai. Kini kandidat KIM plus, kumpulan partai pendukung Jokowi dan Prabowo, punya lawan sepadan dari PDIP.
Dalam rapat pimpinan nasional Partai Gerindra di Gelora Bung Karno pada 31 Agustus 2024, Prabowo mengatakan persaingan dalam pemilu itu bagus karena rakyat jadi punya pilihan. Pernyataan yang mengacu pada pilkada Jakarta itu bisa dibaca sebagai sikap realistis Prabowo setelah DPR gagal menganulir putusan MK. Kemungkinan lain: Prabowo hendak merangkul PDIP sekaligus menandai keretakannya dengan Jokowi yang berkonflik dengan partai pimpinan Megawati Soekarnoputri itu.
Prabowo memang selayaknya menjauhi Jokowi. Sentimen negatif publik kepada Jokowi karena merusak demokrasi dan memaksakan dinasti politik keluarganya akan jadi beban bagi pemerintahannya kelak. Lagi pula Jokowi pensiun pada 20 Oktober 2024 dan dipecat PDIP. Setelah tanggal itu, ia tak lagi punya kekuatan secara politik.
Maka Pramono Anung yang meminta restu Jokowi maju dalam pemilihan Gubernur Jakarta patut dikritik. Selain tak lagi relevan saat pilkada berlangsung, Jokowi punya catatan buruk tak netral pada pemilihan presiden Februari lalu. Ia bertanggung jawab dalam pengerahan aparatur negara dan memaksakan bantuan sosial untuk memenangkan Prabowo yang berpasangan dengan anaknya, Gibran Rakabuming Raka.
Bagi PDIP, menjauhi Jokowi bisa memberikan keuntungan elektoral. Dalam banyak survei, pemilih Jakarta menempatkan elektabilitas Anies Baswedan tertinggi dibanding nama-nama lain. Anies dicitrakan sebagai lawan Jokowi dan Prabowo. Karena itu, alih-alih mencoba mendapatkan dukungan Jokowi atau Prabowo, akan lebih menguntungkan bagi PDIP menggarap sentimen anti-keduanya yang menjagokan Ridwan-Suswono.
Dengan begitu, demokrasi bisa diselamatkan. Koalisi besar Jokowi-Prabowo mendapat penyeimbang sepadan dan prinsip checks and balances bisa dijalankan.
Sebagai pemenang Pemilu 2024 dengan 25,4 juta atau 16,7 persen suara, PDIP bisa menjadi oposan pemerintahan Prabowo. Jika PDIP tergoda menyambut uluran tangan presiden terpilih untuk bergabung dalam pemerintahan, demokrasi Indonesia akan kembali terancam. Tanpa sikap oposisi yang teguh, pendulum politik hanya berayun dari Jokowi ke Prabowo belaka.