Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Kabar baik, monsieur cardin

Merk pierre cardin banyak ditiru di indonesia. sulit menyelesaikannya karena masalah merk masih semrawut. kini belantara merk mulai dibenahi, bersamaan dengan dipersoalkannya tentang hak cipta.

7 Mei 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SIAPA yang tak kenal Pierre Cardin? Sudah belasan tahun, namanya, dengan inisial P, menghiasi kemeja, celana, T-Shirt, dan gesper orang-orang kaya sampai ke petani di pedesaan. Tentu saja merk P di baju Om Ed di Pondok Indah berbeda dengan label P di hem Mas Ngadirun di Ngawi. Punya Om Ed dibeli di butik eksklusif di Jakarta, konon diimpor khusus. Harganya di atas Rp 100 ribu. Hem Mas Ngadirun hanya berharga di bawah Rp 10 ribu. Tapi siapa peduli? Inilah Indonesia: di sini ada kebersamaan. Tapi kebersamaan antara si kaya dan si miskin itulah yang pekan-pekan ini terusik oleh kedatangan Pierre Cardin di Jakarta. Monsieur Cardin, yang konon punya perusahaan di 98 negara itu, "mencak-mencak" karena merknya "seenak"-nya dicuri orang Indonesia. Jelasnya: baju Mas Ngadirun itu tidak asli Pierre Cardin, tapi dipalsukan oleh pengusaha-pengusaha Indonesia yang nebeng nama beken itu. "Dulu merk saya itu dipalsukan di banyak negara, kini hanya di negara Anda saya menghadapi masalah itu," kata Cardin kepada pers di Jakarta. Berani amat memang M. Cardin marah di negeri orang. Tapi tuduhannya itu memang berdasar. Berdasarkan catatan Direktorat Paten dan Hak Cipta, sedikitnya ada 16 orang pemegang merk Pierre Cardin di Indonesia untuk berbagai jenis barang - tapi tak satu pun seizin Cardin. Dan Cardin punya problem lain: "Nama saya didaftarkan orang di sini, tapi saya tidak bisa mendaftarkan nama saya sendiri," katanya. Sebagai pemilik nama atau merk, ia memang pantas kesal. Pierre Cardin, melalui kuasanya di sini, pernah menggugat sebuah perusahaan, CV Makmur, 1981, yang berdomisili di daerah perdagangan Jakarta Kota, karena memproduksi gesper ikat pinggang dengan leter P. Ternyata, si pemilik pabrik Pierre Cardin "lokal" itu dimenangkan pengadilan, karena ia memakai pertama kali merk itu di Indonesia. Sesuai dengan Undang-Undang Merk, 1961, maka si pemakai merk pertama kali di Indonesia dianggap sebagal pemllik merk tersebut. Cerita selanjutnya mungkin lucu bagi M Cardin. Karena CV Makmur dianggap pemilik merk itu, ia berhak pula menggugat pengusaha-pengusaha lokal lainnya yang mencoba-coba memproduksi gesper ikat pinggang dengan leter P. Bahkan ia sempat menyeret seorang pengusaha lain yang memproduksi merk serupa ke sidang pidana, sehingga lawannya divonis lima bulan penjara. Mungkin bagi Pierre Cardin ini ibarat "pencuri" yang memperkarakan "pencuri" lainnya. Tapi sebenarnya bukan hanya merk Pierre Cardin yang bernasib begitu. Merk apa saja yg terkenal di dunia - juga yang belum dikenal di Indonesia - seperti Lanvin, Cartier, Charles Jourdan Elese, Nike, Gucci - dipalsukan di sini. Mereka bisa memalsu dengan sah karena undang-undang - seperti disebut tadi - hanya melihat siapa pemakai dan pendaftar pertama dari merk itu. Akibatnya memang buruk bagi si pemilik merk. Banyak pengusaha yang kerjanya hanya memonitor merk-merk beken di luar negeri kemudian mendaftarkannya di Indonesia. Pengacara Denny Kailimang, yang diberi kuasa oleh pemilik merk Cartier, misalnya, menyebut pihaknya kecele karena merk itu sudah didaftarkan sekitar 20 orang, yang tak dikenalnya. Akibatnya, Denny terpaksa mencari orang-orang itu, dan atas nama kliennya membeli kembali merk miliknya itu. Bisnis semacam itu, konon, sudah belasan tahun dipraktekkan pedagang-pedagang merk yang memang lihai memanfaatkan celah-celah peraturan. Kendati si pemilik telah mendapatkan kembali merknya, belum tentu pula merk itu tak akan dipalsukan lagi. Direktur Utama PT Jay Gee Enterprise, Nico Mohan, yang menjadi agen pakaian Levi's di Indonesia, pernah menyebutkan merknya dipalsukan sekitar 1.000 orang pengusaha lokal, mulai dari yang kelas kaki lima sampai ke pengusaha kelas eksportir. Tapi rimba raya merk di Indonesia tidak hanya semrawut akibat kenakalan pengusaha di sini dan kelemahan undang-undang. Aparat yang menerima pendaftaran merk pun juga sering teledor. Tidak jarang instansi itu menerima pendaftaran untuk satu merk barang yang sama dari dua pendaftar berbeda. Sementara itu, pengadilan, yang sering mendapat pekerjaan akibat sengketa merk itu, selama ini tak pula ingin bersusah payah melihat "itikad baik" dan "itikad buruk" pihak yang bersengketa. Untunglah, belakangan ini, sejak ramai-ramainya masalah intellectual property rights dipersoalkan negara-negara maju, belantara merk di sini mulai disiangi. Apalagi setelah penyanyi terkenal Bob Geldof memaki-maki Indonesia karena lagunya dibajak di sini dan Presiden Ronald Reagan berkunjung ke Indonesia. Semuanya p ikut membantu mengingatkan Indonesia membenahi berbagai soal property rights, termasuk soal merk tadi. Mahkamah Agung, misalnya, tahun lalu telah meralat keputusannya dalam perkara merk Nike. Sebelumnya peradilan tertinggi itu memutuskan pemilik merk itu perusahaan lokal PT Panarub, belakangan dalam vonis peninjauan kembali (request civil) ia mengembalikan merk itu ke pemilik aslinya, Nike International di Amerika. Sebuah yurisprudensi yang bisa juga dimanfaatkan oleh Pierre Cardin dan kawan-kawannya. Menteri Kehakiman Ismail Saleh pun tak kalah gesitnya. Tahun lalu beliau mengeluarkan keputusan agar aparatnya menolak pendaftaran merk terkenal di dunia oleh pengusaha lokal yang tak mendapat izin dari pemiliknya. Dan untuk Pierre Cardin, yang menemuinya pekan lalu, ia menjanjikan tidak akan lagi memperpanjang hak para pengusaha lokal - yang habis setiap 10 tahun - untuk memiliki merk P. Sudah tentu ini kabar baik Monsieur Cardin. Kabar buruk bagi Mas Ngadirun. Anda berkemungkinan tak akan lagi memakai kemeja atau kaus berleter P, karena harga pakaian dengan leter itu, asli atau palsu, tentu akan naik. Tak apa ....

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus