Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Kecaman Indonesia Sidang Tahunan

Sidang tahunan adb di balai sidang picc semarak dengan debat. indonesia paling banyak menyampaikan usul. negara-negara berkembang semakin enggan memakai kredit ocr. kredit langsung akan diberikan kepada swasta.

7 Mei 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUHU panas dan kegersangan meliputi kompleks Balai Sidang PICC (Philippine International onvention Centre) di Roxas Boulevard, Manila. Namun, suasana kurang sedap ini tak menjadi hambatan bagi sekitar 1.500 orang untuk mengikuti sidang tahunan ADB (Asian Development Bank) di sana, Jumat dan Sabtu pekan silam. Pada hari pembukaan, Ny. Cory Aquino, Presiden Filipina yang populer itu, datang dalam gaun merah muda. Dengan suaranya yang bernada keibuan, ia mengimbau agar ADB bersikap lebih luwes dalam menentukan kebijaksanaan terhadap negara berkembang. Ia juga menekankan agar ADB tidak mengabaikan masalah sosial politik pada tiap negara tersebut. Pidato Cory yang tidak panjang ini mengawali sidang tahunan ADB ke-21 yang ternyata semarak dengan berbagai debat hangat. Pembicara pertama adalah ketua delegasi Indonesia, J.B. Sumarlin. Pidatonya sepanjang satu jam menyita perhatian hadirin. Lebih dari itu, sidang ADB kali ini paling banyak membicarakan apa yang dilontarkan delegasi Indonesia. Sedangkan masalah politis, yang semula diperkirakan akan seru misalnya perihal ambisi Jepang untuk mengambil saham lebih dari AS (kini masing-masing memegang sekitar 16% saham ADB) dan protes Taiwan karena kini diberi status sebagai bagian dari RRC - tenggelam dalam sidang. Dalam penilaian Sumarlin, performan ADB tahun 1987 cukup bagus, dilihat dari empat hal. Pertama, bank pemberi kredit multilateral itu dapat menyesuaikan diri dengan keperluan para anggota dari negaranegara berkembang (DMCs, Development Member Counries). ADB juga berhasil menekan suku bunga pinjaman. Selain itu, kredit lunak (ADF), yang dulu hanya diberikan pada negara miskin, tahun lalu juga diberikan pada negara lain, termasuk Indonesia. Dibentuknya tim lima orang bijak (Saburo Okita, Mohammad Sadli, John Michael Hennesey, A.K. Sen, dan Jonkheer Emile van Lennep) yang ditugasi menentukan haluan ADB untuk dasawarsa mendatang, dinilai bagus. Namun, ada satu cacat yang tak bisa disembunyikan. Tahun silam, arus balik dana dari para DMC ternyata lebih besar dari arus keluar berupa pinjaman yang sebesar US$ 693 juta. Hingga arus dana OCR antara ADB dan DMCs tercatat negatif US$ 359 juta. "Jelas, keadaan ini tidak diinginkan dan tidak disukai," kata Menkeu RI Sumarlin. Sebaliknya, arus pinjaman lunak - pinjaman dengan bunga hanya sekitar 3% per tahun - dari ADB semakin membesar. Tahun silam arus keluar itu US$ 430 juta lebih besar dari arus cicilan. Angka-angka dari kedua arus dana tersebut (OCR dan ADF) menunjukkan gejala bahwa negara-negara berkembang semakin enggan memakai kredit OCR alias pinjaman biasa. Menurut Sumarlin, penyebabnya dua: pertama karena masalah manajemen utang, kedua karena pencairan dana ADB kurang lancar. Dan ketidaklancaran itu antara lain terjadi karena ada semacam bottle neck di pihak penerima pinjaman. Tapi, dengan terbentuknya Tim Pendayagunaan Pelaksanaan Proyek-Proyek Pembangunan dengan Dana Luar Negeri (P4DLN) yang diketuai Saleh Afiff, diharapkan pencairan pinjaman dari Bank Dunia, ADB, dan para donor IGGI menjadi lebih lancar. Dalam manajemen utang, persoalan pada awal 1980-an ialah tingginya suku bunga pinjaman. Selama periode 1981-1984, ADB memberikan kredit berbunga 1O,25%-11% per tahun. Rata-rata pinjaman itu berjangka waktu 20-26 tahun, dengan masa bebas cicilan dan bebas bunga 4-5 tahun. Sejak 1986, ADB mulai memberikan pinjaman bunga bervariabel (ditinjau setiap 6 bulan) menurut suku bunga pinjaman antarbank di London (LIBOR), hingga biaya pelayanan utang (DSC) para peminjam menJadl lebih nngan. Tapi dewasa ini muncul masalah lain, yakni menguatnya beberapa jenis mata uang (currency realignment) seperti yen, Deutsche mark, dan Swiss frank. Currency realignment ini tak bisa diramalkan kapan akan berakhir. Akibatnya, para manajer utang harus menyusun strategi yang sangat ruwet. "Siklikal," kata Sumarlin. Dalam hal ini, ADB perlu mencari bentuk penyaluran pinjaman lain dari OCR dan ADF. Muangthai mengusulkan supaya ADB membuat jendela kredit baru, berupa campuran OCR dan ADF. Toh itu pun belum tentu akan disukai Indonesia. Dalam acara pertemuan dengan keluarga besar Indonesia di Kedubes Indonesia, Manila, Sumarlin mengatakan bahwa Indonesia sekarang ini hanya mau menerima kredit lunak. "Artinya, bunganya paling tinggi 3%, dengan masa bebas 10 tahun," kata Menteri Keuangan itu. Delegasi Indonesia juga menyayangkan bahwa prioritas pemberian kredit ADB tahun silam telah bergeser. Dulu, urutan prioritas kredit ADB mulai dengan sektor pertanian, kemudian proyek-proyek energi, lalu transportasi dan komunikasi, tapi tahun 1987, sektor transportrasi dan komunikasi melonjak ke urutan pertama. Sumarlin lalu mempertanyakan mengapa proyek pertanian yang berdampak sangat luas tergeser ke urutan ke-3. Di antara semua kebagusan laporan ADB, ada satu tantangan paling besar, yakin pengembangan sumber daya manusia. Tahun silam pertumbuhan ekonomi di Asia mencatat rata-rata 6,8%. Tapi, kata Sumarlin, angka itu tidak ada artinya kalau tidak menyentuh masyarakat paling rendah. Indonesia menyambut baik ikhtiar ADB untuk memberikan kredit langsung kepada pengusaha swasta. Menurut Presiden ADB Masao Fujioka, kredit semacam itu akan banyak diberikan dalam bentuk penyertaan modal usaha (venture capital) atau lewat perusahaan leising. "Tetapi ADB harus hati-hati menyalurkan bantuan kepada swasta, mengingat pinjaman (komersial) swasta di negara-negara berkembang telah mencapai titik peka," kata Sumarlin. Suara delegasi Indonesia itu mendapat tanggapan dari beberapa delegasi negara donor, seperti Jepang, Amerika Serikat, Jerman Barat, Nederland, dan Austria. Mereka memuji manajemen ADB karena tahun silam mulai menggarap nasabah baru, RRC dan India. Tetapi mereka juga mengingatkan ADB agar tidak meninggalkan nasabah lama, Indonesia di antaranya. Sejak berdiri 1966 ADB sudah menyalurkan kredit berjumlah US$ 14.746 milyar, paling banyak diberikan kepada Indonesia (US$ 4.081 milyar). Presiden ADB Masao Fujioka, dalam pertemuan dengan pers, mengatakan bahwa keluhan pemerintah Indonesia dan pemerintah negara berkembang lainnya tentu akan diperhatikan. "Sebagian sudah dijalankan. Dibukanya kantor cabang ADB di Jakarta itu merupakan satu bukti," ujar Fujioka. Max Wangkar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus