Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ANGGOTA kabinet sudah lama bukan lagi jabatan yang membanggakan. Asalkan punya koneksi, menjadi pengurus partai politik, atau berkeringat memenangkan calon presiden pada pemilihan umum, setiap orang bisa menjadi menteri atau wakil menteri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada pula kategori lain: representasi golongan tertentu untuk memberi kesan presiden merangkul semua kelompok. Di era Prabowo Subianto, jika pernah menjadi korban pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu, Anda beruntung. Keberadaan Anda di kabinet bisa menghapus dosa masa lalu itu. Kecakapan bukan syarat mutlak menjadi anggota kabinet. Memang ada pengecualian untuk pos tertentu, tapi cuma satu-dua.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lebih dari 100 orang dipanggil Prabowo untuk mengisi posisi sekitar 50 menteri yang dilapis 1-3 wakil menteri. Beberapa calon menteri disinyalir titipan pengusaha yang mengantarkan Prabowo menjadi presiden. Di posisi wakil menteri bahkan ada influencer yang selama ini pekerjaannya “menggonggong” di media sosial jika Presiden diserang. Mereka nirprestasi dan nirkompetensi. Kabinet zaken yang digembar-gemborkan Prabowo hanyalah omong kosong.
Karena dipilih tanpa kecakapan, para pembantu presiden mafhum bahwa mereka dapat dicopot kapan saja, misalnya karena lanskap politik berubah. Karena itu, agar bertahan, mereka akan melakukan segala cara: kasak-kusuk, injak dan sikut. Sementara belum diganti, mereka akan berupaya mencari untung, termasuk dengan cara tak patut.
Kerja dan kinerja bukan sesuatu yang utama. Sadar suatu saat bakal dicopot, mereka cukup pura-pura bekerja. Berkeliling daerah, melongok gorong-gorong macet, nyemplung ke sawah lalu difoto bersama petani cukup untuk membuat mereka seolah-olah bekerja.
Apalagi zaman sekarang kinerja dapat diukur dengan survei kepuasan publik. Makin dipersepsikan oleh publik bahwa mereka trengginas, makin percaya diri mereka untuk melobi kiri-kanan agar tak di-reshuffle. Padahal, tanpa transparansi atas penyandang dana jajak pendapat, tiap survei selalu layak dipersoalkan akurasinya.
Penambahan pos jabatan dan perubahan nomenklatur kabinet merupakan kerepotan lain yang akan dihadapi Prabowo.
Pada tahun-tahun awal, kementerian akan lebih sibuk berbenah ketimbang langsung bekerja. Pemisahan kementerian atau pembentukan kementerian baru membutuhkan waktu untuk konsolidasi. Perubahan struktur organisasi menuntut perubahan alokasi bujet dan tanggung jawab. Pada akhirnya, keputusan Prabowo membentuk kabinet berpostur besar yang diisi oleh orang-orang yang miskin kompetensi akan berakibat pada pencapaian program. Sukses tak bisa diraih, borosnya anggaran tak dapat ditolak. Yang paling dirugikan tentu masyarakat—mereka yang berharap pemerintah bekerja keras memperbaiki nasib mereka.
Cara Prabowo membentuk kabinet sebetulnya bisa dibaca dari cara dia menyusun kepengurusan Gerindra, partai yang ia pimpin. Di partai itu, ia menempatkan lebih dari 400 pengurus, yang terdiri atas Dewan Pembina, Dewan Penasihat, Dewan Pakar, dan Dewan Pimpinan Pusat. Nama-nama pengurus dipajang meskipun gerak organisasi terpusat di tangan Prabowo dan segelintir orang saja. Di mata Prabowo, agaknya, organisasi besar diperlukan untuk menampung banyak kepentingan dan menyenangkan banyak orang.
Jikapun nanti kabinet dibongkar, jangan bermimpi kabinet zaken terbentuk. Perubahan konstelasi politik hanya akan memunculkan anggota kabinet yang kurang-lebih sama. Kecemasan akan ketidakstabilan pemerintahan, jika partai dan pendukung diabaikan, bakal melahirkan kabinet baru yang sama lemahnya.
Sampai di sini, Prabowo akan terkurung dalam pusaran kepentingan dengan publik yang menjadi korban.