Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DAGELAN sering muncul di kabinet Presiden Joko Widodo, yakni ketika satu menteri bertengkar dengan menteri lain. Silang pendapat secara terbuka dalam sejumlah isu ini mengesankan rapuhnya ikatan di antara sesama anggota kabinet—jika tidak mau disebut sebagai wujud lemahnya kepemimpinan sang Presiden.
Figur paling kontroversial dalam kabinet adalah Menteri Koordinator Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli. Sejak dilantik pada Agustus tahun lalu sebagai pengganti Indroyono Soesilo, berkali-kali ia terlibat perselisihan dengan anggota kabinet lain. Hanya sehari setelah resmi menjadi menteri, Rizal bertarung kata-kata dengan Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno mengenai pembelian pesawat berbadan besar oleh Garuda. Ia lalu "berbalas pantun" di media massa dengan—ini yang ajaib—Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Rizal kemudian juga berselisih dengan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said. Mereka setidaknya mengambil sikap berseberangan dalam hal perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia dan rencana eksplorasi gas di Blok Masela. Di media sosial, Rizal bahkan menyerang secara pribadi menteri yang sebetulnya berada di bawah koordinasinya itu.
Perselisihan lain melibatkan Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno dan Menteri Perhubungan Ignasius Jonan dalam proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Kali lain, Menteri Pertanian Amran Sulaiman dan Menteri Perdagangan Thomas Lembong juga terlibat pro-kontra tentang impor beras. Dalam kadar yang "lebih ringan", Menteri Sekretaris Kabinet Pramono Anung saling sindir dengan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Marwan Jafar di Twitter.
Perdebatan keras memang diperlukan untuk menghasilkan keputusan terbaik. Adu argumentasi di antara anggota kabinet juga sangat penting demi proses penentuan kebijakan yang transparan. Namun silang kata semestinya dilakukan di dalam ruang tertutup, sebelum Presiden mengambil keputusan. Begitu Presiden memutuskan satu pilihan, para menteri sepatutnya menutup mulut dan patuh. Kritik terhadap keputusan pemerintah biarlah menjadi milik "oposisi" di parlemen dan masyarakat.
Pro-kontra terbuka di antara sesama anggota kabinet tidak ada manfaatnya. Apalagi jika pertentangan itu dilandasi kepentingan pribadi atau kelompok dari mereka yang terlibat. Perdebatan menjadi tidak sehat dan jauh dari kebaikan masyarakat.
Pemerintah pun akan kehilangan fokus mengatasi pelbagai persoalan mendesak jika terus dirongrong silang kata sesama menteri. Kabinet yang gaduh akan membuat janji Jokowi menarik sebanyak mungkin investor luar negeri bisa menjadi sekadar jargon. Padahal kebutuhan akan masuknya investasi langsung ini sangat mendesak agar uang bisa mengalir ke dalam negeri.
Tak ada cara lain, Presiden harus segera memperbaiki manajemen pemerintahannya. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah segera mengambil keputusan terhadap persoalan yang menjadi bahan perdebatan. Dengan begitu, tidak ada lagi menteri yang mengatasnamakan Presiden, lalu di depan media massa berbohong dengan mengatakan pemerintah telah mengambil suatu keputusan.
Dalam rencana eksplorasi Blok Masela, pengambilan keputusan yang cepat bahkan berkaitan dengan finansial. Jika eksplorasi segera dimulai, negara sudah meraup pendapatan dari ladang gas alam ini pada 2025. Kalau rencana eksploitasi terus-menerus mundur, menurut hitungan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, setiap tahun negara rugi sedikitnya US$ 3,6 miliar atau sekitar Rp 49 triliun.
Cara lain adalah bersikap tegas kepada menteri yang nyata-nyata mengabaikan perintahnya. Dalam sejumlah kesempatan, Presiden melarang anggota kabinetnya cekcok di media massa. Kenyataannya, sejumlah menteri menganggap larangan Kepala Negara itu sebagai angin lalu. Presiden semestinya memberikan sanksi kepada mereka yang membandel.
Semua anggota kabinet selayaknya juga bisa memahami posisi mereka. Anggota kabinet tak layak menjadi oposisi dalam pemerintahan mereka sendiri. Menteri yang merasa tak lagi cocok di dalam kabinet semestinya segera menghadap Presiden untuk mengucapkan: "Cukup sampai di sini dan terima kasih." Hal ini memudahkan Presiden meluruskan roda kekuasaannya.
Tanpa usaha memperbaiki manajemen pemerintahannya, Presiden Joko Widodo akan meninggalkan setidaknya dua kesan di mata publik. Pertama, Presiden dianggap sengaja membiarkan menteri-menterinya berselisih demi "politik keseimbangan". Kedua, ini yang berbahaya, muncul kesan bahwa Presiden tak kompeten memimpin pemerintahan. Kita tahu, Jokowi menanggung harapan yang sangat besar dari pemilihnya. Harapan itu akan runtuh jika ia dianggap tak lagi bisa mengelola konflik di dalam kabinetnya sendiri. berita terkait di halaman 128
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo