Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Kaca

Alaa Hamid, 53, novelis Mmesir, dihukum 8 tahun penjara oleh pengadilan Kairo. novel "sebuah jarak dalam pikiran manusia" dianggap kontraversial. Ia tak paham kecenderungan yang muncul di negeri muslim.

1 Februari 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ALAA Hamid menulis sajak: Mereka titahkan agar pikiranku ditangkap Dan disumpelkan ke dalam karung, Lalu ditaruh di punggung keledai. Sesampai di mahkamah, mereka pun membukanya, Tapi ternyata karung itu kosong. Kenapa, tanya mereka, Karena keledainya lapar, dan memakan pikiran saya Apa gerangan pikiran Alaa Hamid? Yang jelas ia ditindak. Menurut The Economist pekan lalu, 25 Januari 1992, penulis Mesir yang tak begitu dikenal itu dihukum delapan tahun oleh sebuah pengadilan di Kairo. "Kejahatan saya satu-satunya," kata laki-laki berumur 53 tahun itu, "ialah membiarkan diri saya berpikir." Di kamarnya yang sempit, di waktu senggangnya, inspektur pajak ini menulis novel. Tapi novelnya itu, Sebuah Jarak Dalam Pikiran Manusia, sial. Karya ini adalah sebuah kisah perjalanan imajiner seorang laki-laki di suatu masa depan. Ia bertemu dengan para nabi di masa lampau. Ia menantang mereka, dengan bahasa yang main-main dan terkadang "berani". Di akhir cerita, sebuah pengadilan menghukum mati si terdakwa yang mencoba membantah hukum-hukum agama dengan argumentasi filsafat.... "Salah saya ialah tak memahami luasnya kebebasan di Mesir," kata Hamid lagi. "Sebegini ... ," sambungnya, seraya membuat lingkaran kecil dengan jarinya. Namun, agaknya bukan hanya itu kesalahan Hamid. Mungkin sekali ia tak sadar akan sebuah kecenderungan yang tampak dominan di negeri-negeri muslim dewasa ini. Mohammed Arkoun menyebut kecenderungan itu sebagai logosentrisme dalam pemikiran sebagian ulama dan ahli fikih: menganggap bahwa kebenaran wahyu dapat ditangkap dan dikuasai dengan cara analisa gramatikal dan makna kata dalam teks. Padahal, bagi Arkoun, bahasa itu sendiri juga berada dalam sejarah. Logosentrisme akan melihat wahyu sebagai sesuatu yang mandek, tanpa alternatif. Pendekatan strukturalis (dan poststrukturalis) tidak. Pada saat yang sama, Arkoun juga melihat, sisi imaginaire dalam kehidupan kaum muslimin kini hampir punah. Sisi inilah yang tampak dalam tradisi rakyat, dalam budaya yang tumbuh dari tempat asal, imajinasi sosial yang dalam sejarah berlangsung spontan, yang memungkinkan ekspresi kesenian yang autentik di masyarakat-masyarakat muslim. Semua itu kini terancam. "Gerakan modernis", semakin formalistisnya ibadah, di samping urbanasisasi, telah mengikis sisi yang kaya itu. Dan kita pun berhadapan dengan dorongan ke arah uniformitas, dalam cara dan isi kita berhubungan dengan Tuhan. Ternyata, bukan cuma Alaa Hamid yang harus menghadapi itu. Hakim ketua yang memvonis Hamid adalah Said Ashmawy. Ia dianggap ahli hukum Islam yang telah menulis sejumlah buku. Namun Januari ini, di Pekan Buku Internasional di Kairo, para ulama dari Al Azhar menyita lima buah karya Ashmawy. Betapa ironis. Tapi Ashmawy beruntung: pikirannya memang tak cocok dengan pikiran para ulama, namun kritiknya tentang ide "negara Islam" menyenangkan pemerintah Mesir. Presiden Mubarak akhirnya memerintahkan agar buku Ashmawy beredar kembali. Maka siapa yang menentukan mana yang menyimpang dan yang tidak? Ulama, presiden, hakim, orang bersenjata, pemilik penjara? Dari mana dan dari siapa mereka memperoleh hak itu? Tak mungkinkah hak itu digugat? Pertanyaan seperti itu, tentu saja, ungkapan pemikiran "liberal" -- sebuah merek yang terkutuk di Dunia Ketiga. Ada yang mengatakan, pemikiran "liberal" bukan cuma sebuah idea. Ia juga pernyataan kepentingan praktis kelompok cendekiawan, wartawan, profesional bebas, wiraswasta, kaum minoritas etnik dan agama. Pemikiran "liberal", yang menggarisbawahi kemerdekaan pers, kebebasan berekspresi dalam seni, rule of law, harkat individu dan seterusnya itu, pada dasarnya bukan cerminan kepentingan orang banyak di kelas bawah. Dengan kata lain, basisnya lemah. Apalagi, seperti ditunjukkan Leonard Binder dalam Islamic Liberalism, khususnya di masyarakat Timur Tengah, kebudayaan yang ada sangat terpengaruh oleh kebutuhan yang terus-menerus untuk berkomunikasi dengan lapisan yang buta huruf dan klas yang miskin, yang tak mempersoalkan siapa yang berhak dan tak berhak melarang orang membaca buku. Tapi mungkin soalnya bukan cuma kepentingan menulis & membaca buku. Agama, kebenaran, soal Tuhan dan manusia adalah soal yang tak harus selalu tersangkut kepada benda dan kepentingan. "Kebenaran adalah ibarat cermin yang diberikan Tuhan dan kini telah pecah," kata Mohsen Makhmalbaf, sutradara film Iran terkemuka itu, sebagaimana dikutip Kompas Minggu. Manusia memungut pecahannya dan tiap orang melihat pantulan di dalamnya, dan menyangka telah melihat kebenaran. Sangat repot bila kemudian ada yang menggunakan pecahan kaca itu untuk menusuk orang lain yang punya pecahan yang lain. Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus