SENIN pekan ini adalah hari libur nasional di Australia. Tapi Dubes RI di Canberra, Sabam Siagian, hari itu datang ke kantornya. Rupanya, Sabam kangen melihat ruang kerjanya yang lebih dari sebulan ditinggal ke Jakarta. Dia mengaku senang melihat ada "suasana baru" di luar pagar kedutaan besar RI. "Saya lega. Ini hari pertama saya tidak melihat lagi poster-poster dan salib," ujarnya. Di halaman KBRI dua polisi berjaga-jaga. Polisi federal Australia akhirnya bertindak juga. Minggu sore lalu, satuan polisi mendatangi halaman luar KBRI. Mereka mencabuti sejumlah poster anti-pemerintah RI, dan 124 salib kayu bercat merah, yang ditanam persis di luar pagar kedutaan, perlambang makam korban Peristiwa Dili. Sejumlah demonstran mencoba mencegah. Tapi mereka tak berkutik. Polisi telah mengantungi surat perintah dari pengadilan. Demonstrasi anti-Indonesia di seputar KBRI itu dilancarkan sejak 18 November lalu sebagai reaksi atas terjadinya insiden Dili. Sebuah gubuk kayu dengan atap rumbia, yang mereka sebut "Embassy of East Timor", didirikan beberapa meter dari pintu masuk KBRI. Pondok itu mereka jaga 24 jam. Setiap hari, ada serombongan orang datang, menari-nari, dan berteriak-teriak anti-RI. Mereka melarang tukang pos datang masuk ke KBRI, begitu juga mobil pengantar keperluan sehari-hari KBRI, seperti makanan dan minuman. Bahkan, awal Januari lalu, para pendukung Fretilin itu melempari mobil yang ditumpangi staf KBRI. Duta Besar Sabam Siagian tentu melakukan protes. Namun, pemerintah Australia membiarkan saja aksi itu terus berlangsung. Alasannya, aksi unjuk rasa itu sah menurut hukum Australia. Belakangan, Menteri Ali Alatas sendiri melayangkan protes keras, menyusul insiden pelemparan batu itu. Sabam pun memprotes dengan gaya diplomatnya, menunda-nunda kepulangannya ke Canberra, setelah kepergiannya ke Jakarta pertengahan Desember lalu. Ali Alatas memang punya alasan untuk geram. Sebab, menurut Konvensi Wina 1961, sebagai tuan rumah Australia harus sanggup menjamin keamanan dan keselamatan kedutaan, konsulat, dan perwakilan asing lain di negerinya. Lagi pula, Menlu Australia Gareth Evans telah berjanji akan menertibkan aksi unjuk rasa itu, ketika bertandang ke Jakarta pertengah Desember lalu. Protes keras Ali Alatas ini memang ada hasilnya. Polisi Australia membongkar paksa pondok dan tenda yang dijadikan "Kedutaan Tim-Tim" itu. Namun, polisi tak mau menyentuh poster dan salib berlumuran cat merah, karena merasa bukan kewenangannya. Di lain pihak, kaum pro-Fretilin menganggap pembongkaran gubuk itu sebagai tindakan di luar hukum. Alhasil, perkara itu masuk pengadilan. Persidangan sempat berlangsung alot. Tapi akhirnya Pengadilan Federal Australia, dalam awal putusannya Jumat pekan lalu, memenangkan tuntutan Menlu Gareth Evans. Hakim Donnel Ryan menganggap perbuatan para pengunjuk rasa itu tak cuma bertentangan dengan Konvensi Wina 1961, tapi juga dinilai telah menyinggung martabat bangsa. Dalih pengunjuk rasa -- itu digelar di tempat umum, tak melanggar peraturan -- tak bisa diterima oleh Hakim Ryan. Namun, keputusan hakim tidak membuat kaum demonstran itu jera. Mereka telah membangun tenda lain di sebuah lapangan kecil, milik kota praja, sekitar 50 meter dari tempat semula, lengkap dengan spanduk anti-RI. Polisi di Canberra tak bisa berbuat banyak. Sebab, pengadilan di Canberra, berbeda dengan Pengadilan Federal Australia, beranggapan bahwa unjuk rasa tersebut tak melanggar hukum. Putut Trihusodo, Dwi S. Irawanto, dan Dewi Anggraeni
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini