SEORANG kiai kecil yang namanya tak satu kali pun ditulis media massa mengatakan kepada kami bahwa akan lahir kaum muslimin baru yang tampil memimpin sejarah umat manusia. "Memimpin, bukan menguasai," kata beliau. Ia mengingatkan cara berpikir kami yang modern, goblok, dan berbahaya. Memimpin bisa jadi bersifat antagonistik terhadap menguasai. Menguasai itu kemenangan egoistik, sedangkan memimpin itu hikmah. Ia memberi metafor kuno bagaimana suku Amatoa dulu memilih pemimpinnya, serta berbagai pemberitahuan lain tentang suku-suku primitif yang telah sukses menemukan kunci-kunci kehidupan, kesehatan, dan kebahagiaan - lebih dari seribu kepintaran masyarakat modern yang sibuk menjebak diri. Saya harap tulisan ini bukan pekerjaan "menoleh ke belakang dan menjadi batu". Memang tak salah bahwa Amatoa memiliki kebijakan demokrasi - masyarakat modern belum memilikinya. Demokrasi yang tak hanya dimonopoli oleh kedaulatan manusia atas kehidupan dan atas saudara-saudaranya sendiri. Demokrasi yang melibat semua subyek alam - sejauh yang mereka mampu akrabi - untuk menggenggam hak dan partisipasi yang sama dalam pengelolaan kehidupan. Penduduk memilih kandidat pemimpinnya, lantas diserahkan kepada kerbau, lebah, atau apa saja, untuk diskrining. Kerbau dilepas, dan terserah berapa lama mau ngendon di hutan, sampai akhirnya kembali dan memasuki rumah kandidat yang dipilihnya. Kerbau bukan saja amat peka terhadap alam. Ia bukan seperti manusia, yang memiliki jarak ontologis dan jarak maniak kekuasaan terhadap alam. Kerbau itu sendiri adalah alam. Tak ada jarak antara kerbau dan alam. Sebutannya saja yang berbeda. Juga lebah. Digigitnya sang kandidat hingga kesakitan. Karena itu, sang kandidat tak lulus: jangan mengangkat pemimpin yang sakit. Atau si lebah yang justru mati terkapar sesudah menggigit. Hindarkan diri dari pemimpin yang destruktif. Hanya kandidat yang tak sakit dan tak menyakiti yang memiliki kapasitas memimpin. Kepemimpinan kaum muslimin bukan kekuatan atas dunia dan atas "anak-anak alam" yang lain. Kepemimpinan mereka, keimanan mereka, tercapai ketika telah diwujudkannya Islam sebagai hikmah kehidupan, sebagai rizqullah untuk semua hamba-Nya, sebagai rahmat lil'alamin. Maka, arus kepemimpinan itu mungkin tidak membanjir lewat suksesi politik. Melainkan lebih "mengepung" lewat irama dan momentum-momentum kbudayaan yang luas dan detail. Lewat pendidikan kepribadian - sebagaimana Islam mewataki kelahirannya pertama kali. Lewat uswatun hasanah - " pilot proyek" kebaikan. Fastabiqu-alkhoirat. Kepemimpinan itu diproses tidak harus melalui konsep-konsep besar, ideologi besar, demonstrasi besar, makar besar, revolusi besar. Tapi lebih melalui alternatif-alternatif yang bersahaja, yang sekarang juga bisa engkau dan aku mulai di rumah, di pos siskamling, di warung, di lingkaran jemaah, di kantor, dan di mana saja. Suatu kebahagiaan panjang yang tampaknya harus dimulai dengan rasa sakit, rasa malas, bahkan rasa sinis terhadap percikan-percikan kehendak semacam itu yang muncul dari lubuk hati. Kini, air kawah telah mulai mengalir. Perut dunia mulas. Segala yang tegak pada "dunia lama" sekarang mulai perlahan-lahan terbaring. Kaki dan selangkangan abad ke-20 merasa risi dan sebel oleh aliran air kawah itu. Para ayatullah yang ngeyel, ayat-ayat Allah yang tak sekaligus bisa dipahami, sempalan-sempalan gejala yang besok akan menjadi pokok, pertengkaran-pertengkaran di kalangan kaum muslimin sendm yang memang mereka butuhkan untuk saling paham, ketemu, dan lahir. Itu semua begitu bikin capek dan mangkel, baik bagi orang lain maupun bagi diri muslimin sendiri. Tapi itu memang baru Kakang Kawah. Sang bayi baru hendak lahir. Air kawah belum berbentuk, belum berpola, belum jelas batang tubuhnya, belum menggapai jari-jemarinya, belum memancar cahaya matanya, belum terdengar tangis kelahirannya. Belum. Tapi akan - kata sang Kiai. Sekarang, seperti diucapkan oleh Muhammad, kaum muslimin sedang mengalami rasa asing kepada sejarah dan kepada dirinya sendiri. Islam bermula dari keasingan, dan akan menemukan keasingan demi keasingannya kembali. Puji Tuhan untuk keasingan itu, karena - dari suatu jarak -- orang-orang asing memiliki peluang untuk memperbaiki apa yang dirusakkan manusia. Haihaata! Gus Kiai, bener, tuh? Saya, sih, amin-amin saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini