SERIAL "Yamaha termahal di dunia" ini agaknya bagai cerita yang tak habis habisnya. Setelah memprotes Ali Said, S.H., bulan lalu, kini tokoh utama kasus itu Haji B.P. Ritonga, tampil lagi dengan jurus baru. Ia meminta Menteri Kehakiman agar mencabut izin praktek bekas penasihat hukumnya, Advokat M.D.Sakti Hasibuan. Dalam pengaduannya, pada pekan lalu itu, Ritonga menuding Sakti, yang juga ketua Peradin Medan, telah melanggar sumpah profesi advokat." Masakan ia tega-teganya bagai pisau bermata dua," ujar ayah 6 anak dan kakek 14 cucu itu. Setelah menjadi kuasanya dan memenangkan perkara sampai ke tingkat kasasi, katanya, Sakti berbalik membela lawannya sehingga putusan kasasl itu gagal. Kisah ini bermula dari Rahim, yang membeli secara cicilan sebuah motor Yamaha dari Ritonga dealer mobil di Padangsidempuan, Sumatera Utara, Februari 1984. Ketika Rahim baru mencicil Rp 50 ribu, sepeda motor bernilai Rp 1 juta itu dirampas Lesmana Husin, karena Rahim berutang kepadanya Rp 815.550,00. Ritonga tentu keberatan dan menggugat agar Lesmana mengembalikan motornya serta membayar uang paksa Rp 50 ribu sehari, terhitung sejak hari "perampasan" Yamaha itu. Hakim Imran Lubis mengabulkan gugatan itu dan menetapkan uang paksa Rp 40 ribu sehari. Merasa putusan itu tak adil, Lesmana banding. Nah, mulai di peradilan banding dan sampai kasasi inilah Ritonga menggunakan jasa Sakti, sebagai penasihat hukumnya. Hasilnya: Ritonga memenangkan perkara itu. Dengan kemenangan itu Ritonga hanya tinggal menunggu eksekusi berupa pengembalian sepeda motor dan pembayaran uang paksa, yang sampai vonis turun sudah membengkak menjadi Rp 48 juta. Tapi saat itulah, menurut Ritonga, Sakti "membelot" ke kubu Lesmana, dan mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK) atas putusan MA itu. Entah karena Sakti atau tidak, yang jelas eksekusi itu kini ditunda berdasarkan perintah Ketua Mahkamah Agung Ali Said, dengan suratnya pada 7 Desember lalu (TEMPO, 30 Januari 1988). Tindakan Sakti itu dinilai Ritonga melanggar sumpah jabatan profesi advokat. Kendati ia sudah mencabut kuasanya dari Sakti, menurut Ritonga, secara moral pengacara itu masih terikat dengan perkara, yang pernah ditanganinya. "Dulu ia bela saya sebagai pihak yang benar. Sekarang, ia membelot pula kepada seteru saya. Bah, itu namanya plin-plan," katanya. Tapi, betulkah semua itu? Sakti menyangkal pernah jadi penasihat hukum Ritonga untuk kasus itu. Ia hanya mengaku menolong Ritonga menyusun kontramemori banding dan kasasi dalam kasus Yamaha itu. "Tanpa surat kuasa resmi dari dia," kata ayah 4 anak itu. Artinya, seoara formal tetap saja Ritonga pribadi yang melakukan upaya hukum itu, bukan Sakti. Sebab itu pula Sakti berharap kasus iu diuji oleh Dertemen Kehakiman dan Dewan Kehormatan Ikadin. Sakti membenarkan, ia sebelumnya banyak menangani perkara Ritonga yang lain dengan surat kuasa resmi. Tapi, entah kenapa sejak awal tahun ini Ritonga mencabut semua kuasanya itu. Karena itu, ia berbalik ke Lesmana. "Sekiranya ia tak mencabut surat kuasa itu, secara moral saya tidak akan mau memegang perkara PK Lesmana itu," kata Sakti." Persoalannya memang terpulang ke Menteri Kehakiman dan Ikadin. Adakah kasus semacam itu bisa dikategorikan pelanggaran kode etik advokat atau SKB (Surat Keputusan Bersama) Menteri Kehakiman dan ketua Mahkamah Agung - tentang tata cara pengawasan, penindakan, dan pembelaan diri advokat? Repotnya, kedua ketentuan itu tidak mengatur sejauh itu. Menurut Sekjen Ikadin, Djohan Djauhari, kasus semacam itu terhitung tidak biasa di dunia advokat. "Kalau saya menjadi Sakti, secara moral saya akan menolak membela Lesmana," katanya. Rekannya, Denny Kailimang, Wakil Bendahara DPP Ikadin, berpendapat serupa. "Kelihatannya tidak etis, sebab Sakti sudah mengetahui rahasia Ritonga, lalu ia menyeberang ke pihak lawan. Tapi saya tidak akan mendahului Dewan Kehormatan," katanya. Bersihar Lubis (Medan) dan Muchsin Lubis (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini