Ribut-ribut kaset bajakan Live Aid menimbulkan terminologi hukum yang menarik yaitu: Bob Geldof, penyanyi bule, warga negara Inggris, dalam KUHAP sama dengan saksi pelapor. Sementara itu, pemerintah I ndonesia sebagai terlapor - yang mungkin, setelah penyidikan pro justitia dilakukan, dapat menjadi tersangka. Sedangkan Live Aid, kaset yang dibajak tidak jelas di mana dibajaknya, sehingga locus delicti menjadi kabur. Apalagi barang bukti kaset Live Aid yang dituduhkan, yang menurut Bob ditemukan di Eropa, Timur Tengah, Timur Jauh, dan Italia telah disita + 10.000 kaset, belum menghasilkan bukti penyitaan yang secara jelas membuktikan pelakunya. Semua itu menyebabkan kasus pidana ini, di mata hukum Indonesia, menjadi kabur. Anehnya, atas tuduhan yang belum pasti itu juga memimbang asas praduga tak bersalah, tiba-tiba Ketua DPR Amir Machmud dalam pidato penutupan berakhirnya sidang ll tahun 1985/1986 menyatakan: isu pmbajakan kaset konser Live Aid dari Saksi Pelapor Bob Geldof sebagai "tindakan pembajakan yang tercela, kasus pembajakan mana menyangkut segi moral yang dapat merusak citra bangsa lndonesia"(Sinar Harapan, 23 Desember 1985). Pernyataan Ketua DPR tersebut bagi Bob Geldof, dalam Hukum Acara, adalah evidence, bukti yang menguntungkan Bob. Dari sudut kemandirian hukum hal itu merobek-robek asas independen pengadilan di Indonesia. Bayangkan, satu keputusan pengadilan luar negeri pun tak dapat langsung dieksekusi di Indonesia. Kepuusan itu hanya merupakan petunjuk yang masih harus diuji kebenaran materiilnya di sidang peradilan terbuka di Indonesia. Itu berarti, begitu mutlaknya Indonesia memberi penghargaan bagi kemandirian pengadilan Indonesia. Karena itu, tepatkah fungsi seorang hakim tiba-tiba diambil alih oleh Ketua DPR?. Dengan demikian, bukan saja bangsa Indonesia telah menjadi sesat, menganggap bahwa subyek hukum Indonesia telah divonis melakukan perbuatan tercela itu, bahkan dunia pun, akibat pernyataan Ketua DPR, telah ikut-ikut memvonis rakyat Indonesia melakukan perbuatan tercela. Itu semua hanya gara-gara tindakan satu orang warga negara asing bernama Bob Geldof. Kami dapat membayangkan - seandainya ini menjadi proses perkara - mungkin saja dalam acara hearing (mendengarkan) saksi Ketua DPR atau koran di Indonesia yang telah ikut mem-"vonis" dipanggil sebagai saksi a charge, atau sekurang-kurangnya pernyataan mereka dijadikan semacam affidavit. Atau, mungkin mereka disuruh membuat keterangan di bawah sumpah untuk sesuatu yang pasti mereka tidak yakin kebenarannya, karena memang keburu terpancing oleh tuduhan Geldof. Semua itu, menurut acara peradilan, merupakan bukti autentik. Ingat selalu asas presumption of innocence(praduga tak bersalah) dan kemandirian pengadilan Indonesia, agar di kemudian hari kita tidak terlalu gegabah mudah terpancing oleh hasutan si bule. O.C. KALIGIS, S.H. Jalan Majapahit 34/4 Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini