Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAHUN silam warga Washington, DC, pernah amat resah karena adanya pembunuh gelap yang beroperasi di sekitar mal dan perumahan penduduk. Beberapa perempuan tua dan setengah baya telah menjadi korban tembakan yang dilepaskan secara jitu. Saya, yang waktu itu tengah berada di ibu kota Amerika Serikat tersebut, tak urung ikut cemas dan hampir tak berani keluar jauh dari hotel. Keresahan juga dipicu oleh pemberitaan media elektronik dan cetak yang menggambarkan seolah maut setiap saat mengintai kita. Pembunuh berdarah dingin itu sepertinya ada di mana-mana karena pihak kepolisian sendiri seperti tak berdaya menghadapi kelihaian sang pembunuh, yang tak henti-hentinya meninggalkan selembar surat setengah melecehkan aparat kepolisian.
Salah satu koran yang gencar memberitakan petualangan si pembunuh gelap itu adalah The New York Times, koran besar yang amat berpengaruh di Amerika (dan dunia). Yang menulisnya seorang wartawan muda berkulit hitam bernama Jayson Blair. Wartawan yang dianggap berbakat ini tidak hanya menulis mengenai petualangan sang pembunuh gelap, tapi juga banyak sisi lain, yang diungkapnya dalam rubrik nasional. Tak mengherankan jika nama Blair, yang sesungguhnya baru sekitar dua tahun bekerja sebagai wartawan, menjadi berkibar-kibar. Kecemburuan beberapa wartawan menyeruak juga ke permukaan, walau itu semua tak menghentikan karier Blair, yang dalam beberapa hal sangat dibantu dan dilindungi oleh beberapa redaktur senior di koran tersebut.
Sayang, Blair terlalu banyak berfantasi dalam menuliskan berita-beritanya sehingga semakin lama semakin banyak pertanyaan muncul mengenai akurasi dan kesahihannya. Kemalasan Blair untuk turun ke lapangan telah meluluh-lantakkan etika dan aturan dasar penulisan berita, seperti perlunya konfirmasi cross check dan cover both sides. Blair hanya bermain-main di komputer sembari membayangkan dirinya sudah turun ke lapangan hanya dengan membaca berita dan mendengarkan radio dan televisi. Tentu tak terlalu sulit menulis sekadar berita, dan reporter bisa saja berbohong. Hanya, orang tak bisa berbohong terus-menerus. You can fool peoples one or two times, but you can not fool peoples all the time. Inilah yang terjadi pada Blair, yang tak sadar bahwa tumpukan (berita) fantasinya suatu waktu akan ketahuan.
Banyak kolega Blair yang tak habis pikir akan kebodohan mereka membiarkan petualangan si wartawan muda ini dalam merusak kredibilitas The New York Times. How could we be so stupid? Tapi mungkin ini bukan soal kebodohan. Sebuah industri besar terkadang terlena dengan nama besarnya, dan lupa pada hal-hal kecil yang elementer. Syukurlah, akhirnya The New York Times terbuka matanya, dan Blair ditindak. Bersama Blair, beberapa redaktur senior terpaksa mengundurkan diri karena harus ikut bertanggung jawab. Tak tanggung-tanggung, The New York Times terpaksa menulis editorial panjang menjelaskan kecerobohan mereka sembari meminta maaf kepada publik pembacanya.
Kasus Blair mengajarkan kepada kita semua bahwa sebuah koran—betapa besar sekalipun—tak akan pernah luput dari kesalahan. Wartawan bukanlah malaikat. Blair menunjukkan kepada kita: wartawan adalah juga manusia biasa dengan segala kekurangannya. Berita itu sering tidak sepenuhnya akurat. Ada kesalahan data atau kutipan. Persoalannya, apakah kesalahan berita itu karena kecerobohan wartawan, suatu reckless disregard? Juga perlu diteliti apakah kesalahan itu disengaja karena adanya niat jahat atau malicious intent? Yurisprudensi hukum pers di Amerika begitu kaya melindungi pers dari gugatan yang tak jelas. Sekalipun berita itu tidak akurat, kalau tak ada niat jahat dan kecerobohan luar biasa, pers tak bisa dipersalahkan.
Yang menarik, sampai hari ini kita tak mendengar ada gugatan terhadap The New York Times karena kesalahan berita yang dibuat oleh Blair. Publik Amerika tampaknya puas bahwa Blair bersama beberapa redaktur senior sudah menerima ganjaran atas perbuatan mereka. Padahal rakyat Amerika ini dikenal sangat sadar hukum dan sebentar-sebentar berurusan dengan pengadilan. Hanya, budaya beperkara di sana ditandai juga dengan ketaatan akan prinsip proporsionalitas. Orang tak begitu gila ke pengadilan kalau ada jalan keluar yang adil yang sudah ditempuh. Buktinya, jumlah perkara yang ke arbitrase jauh lebih besar dari jumlah perkara yang ke pengadilan.
Mengapa kasus Blair penting diungkapkan? Saya kira kita bisa berkaca pada kasus The New York Times dan melihat kasus TEMPO, yang sekarang tengah diadili di pengadilan. Soalnya, TEMPO juga diseret ke pengadilan karena pemberitaan yang konon katanya tidak akurat dalam kasus kebakaran Pasar Tanah Abang. Di situ dikesankan ada kepentingan bisnis Tomy Winata di balik kebakaran itu. Tomy Winata, yang ditulis sebagai "pemulung besar", sebetulnya sudah membantah keterlibatannya, dan dimuat oleh Majalah TEMPO. Jadi, prinsip pemberitaan yang seimbang, cover both sides, sudah dijaga. Apalagi dalam artikel pada Majalah TEMPO edisi 3-9 Maret lalu terdapat juga beberapa bantahan dari pihak lain yang secara serta-merta membantah keterkaitan Tomy Winata dalam proyek pembangunan kembali Pasar Tanah Abang.
Ditinjau dari perspektif hukum pers, sebetulnya keberatan Tomy Winata masih bisa ditampung dengan menggunakan mekanisme hak jawab. Tapi hak jawab ini tak digunakan sama sekali. Malah, kita menyaksikan ada gerombolan massa yang menyerbu kantor Majalah TEMPO. Tomy Winata membantah gerombolan massa itu adalah kirimannya, walau mereka membawa-bawa nama dirinya.
Sayang, kasus ini tak dicarikan jalan keluar karena sesungguhnya bisa saja dilakukan suatu kajian tentang apakah memang Majalah TEMPO tak menjalankan etika dan aturan jurnalistik dalam menuliskan berita. Apakah TEMPO tak melakukan konfirmasi, cross check, dan cover both sides? Lalu, apakah majalah ini punya kebencian dan kecerobohan luar biasa dalam penulisan berita tentang Tomy Winata? Mungkin sukar untuk bicara secara bilateral. Tapi hal ini bisa diatasi dengan mengundang lembaga Ombudsman atau Dewan Pers, yang saya kira akan menyambut positif upaya penyelesaian damai di luar pengadilan.
Saya tak bermaksud mengatakan bahwa penyelesaian hukum bukan jalan yang harus ditempuh, tetapi sebaiknya kita membangun suatu kesadaran baru dalam berinteraksi dengan pers. Artinya, kita mendukung tumbuhnya budaya pers yang profesional, dan orang tidak terburu-buru marah, apalagi menyebar gugatan ke pengadilan. Kalau pers memang salah atau keliru, mari kita perbaiki. Dan bila tak dapat diperbaiki, jalur hukum adalah jalur yang harus ditempuh. Pada sisi lain, para sumber berita harus juga bersikap terbuka dan lapang dada. Apalagi para public figures, yang pasti akan jadi incaran wartawan untuk perbuatan apa pun yang mereka lakukan.
Dalam kasus TEMPO, kita melihat beberapa gugatan disidangkan. Padahal, kalau kita memang bicara tentang tanggung jawab hukum, tanggung jawab itu seharusnya ada pada badan hukum Majalah TEMPO, bukan para direktur, redaktur dan/atau wartawan. Secara teknis, hukum gugatan bisa diajukan kepada berbagai pihak. Tetapi mengapa menjadi beberapa gugatan? Lalu, mengapa gugatan ini tak menunggu hasil proses pidana lebih dahulu? Mereka yang belajar hukum pers dan melihat kasus pers secara proporsional pastilah akan bertanya, ada apa dengan gugatan-gugatan ini. Apakah yang dikejar itu suatu pertanggungjawaban hukum atau suatu intimidasi terhadap pers? Apakah di balik gugatan ini terkandung niat untuk mempailitkan perusahaan pers? Sukar untuk tak bertanya soal ini, karena akal sehat kita sukar untuk memahami kenapa pemberitaan mengenai Tomy Winata tersebut menuai beberapa gugatan, walau—sekali lagi—secara teknis pemecahan gugatan ini dapat saja dilakukan.
Di sini lain, kita pun mungkin dapat mulai mengajukan pertanyaan kepada pers untuk mulai memikirkan langkah-langkah ke arah tumbuhnya budaya pers yang profesional. Harus diakui bahwa cukup banyak keluhan dan kritik terhadap mutu pemberitaan pers. Di sini kita tidak bicara tentang pers yang gemar bergosip atau sensasi. Kita bicara tentang pers yang selama ini kita kenal sebagai media terhormat dan tepercaya, media yang kita jadikan sebagai rujukan berita.
Mengelola pers memang tidak gampang karena pada dasarnya yang dikelola itu adalah manusia, sementara kualitas dan latar belakang manusia yang menjadi wartawan itu sangat beragam. Setiap wartawan punya semacam subyektivitas, dan kita tak akan bisa menghilangkan subyektivitas itu. Hanya, kita harus mampu meminimalkan kesalahan dan kekeliruan dalam pemberitaan karena, apabila hal ini tak bisa dilakukan, kredibilitas pers akan semakin terpuruk. Saya kira Undang-Undang Pers dan pelbagai kode etik yang kita miliki seharusnya mampu menjadi guidelines yang ampuh dalam meminimalkan kesalahan dan kekeliruan. Di sinilah kontrol publik dan pemerhati media memainkan peran yang penting.
Bagaimanapun, kepercayaan publik terhadap media mesti dijaga, dan ini memang tidak mudah. Dengan meminjam pengalaman The New York Times yang dikelabui oleh Blair selama beberapa tahun, tak ada salahnya jika media kita memikirkan suatu audit jurnalistik terhadap berita-berita yang mereka buat. Sementara perusahaan publik kita tuntut agar melakukan audit keuangan setiap tahun, perusahaan pers yang juga berurusan dengan publik saya kira berkewajiban juga memulai tradisi audit jurnalistik. Tentu ini bukanlah obat mujarab yang akan menyembuhkan pers dari kesalahan dan kekeliruan dalam pemberitaan, tetapi ini akan jadi bagian dari kontrol internal yang akan membuat pers selalu mawas diri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo