Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KITA tak bisa menangkap makna yang terkandung dalam RAPBN kalau salah cara membacanya. Kesalahan yang paling fatal adalah kalau kita membandingkan begitu saja RAPBN 2004 dengan APBN 2003. Penyebabnya, besaran di APBN 2003 ternyata banyak yang jauh meleset dibandingkan dengan realisasinya.
Contoh yang paling mencolok ialah pada pajak penghasilan minyak dan gas bumi. Realisasi dari pos ini diperkirakan akan jauh lebih tinggi dari apa yang tercantum dalam APBN 2003, sebesar Rp 14,8 triliun. Pos subsidi bahan bakar minyak adalah contoh lain. Dalam APBN 2003, alokasi untuk pos ini adalah Rp 13,2 triliun, padahal realisasinya diperkirakan akan melebihi Rp 20 triliun.
Perbedaan mencolok tersebut terutama disebabkan oleh melesetnya asumsi harga minyak. Pada APBN 2003, nilainya diperkirakan hanya US$ 22 per barel, sedangkan perkiraan realisasi untuk rata-rata tahun 2003 adalah US$ 27,4 per barel.
Itu baru asumsi harga minyak. Asumsi lainnya sebagian besar juga hampir pasti meleset. Tingkat inflasi, misalnya, pada APBN 2003 dipatok 9 persen. Kenyataannya, sampai Juli, inflasi bulanan hanya 1,26 persen, sedangkan inflasi year on year pada bulan Juli cuma 5,79 persen. Dengan mengacu pada perkembangan selama tujuh bulan terakhir, diperkirakan inflasi tahun ini paling tinggi 6 persen. Jadi, 3 persen lebih rendah dari yang dipatok APBN 2003.
Demikian pula dengan asumsi suku bunga Sertifikat Bank Indonesia. APBN 2003 mematok 13 persen untuk suku bunga SBI bertenor tiga bulan, padahal kenyataannya sekarang saja sudah berada di bawah 10 persen.
Perkiraan yang jauh lebih rendah itu menyebabkan realisasi pembayaran bunga obligasi rekap akan turun cukup tajam ketimbang yang dianggarkan, sebesar Rp 55,2 triliun. Jika kita membandingkan pembayaran bunga utang dalam negeri pada RAPBN 2004, sebesar Rp 43,8 triliun, seolah-olah terjadi penurunan Rp 10 triliun lebih. Padahal tidak demikian kenyataannya. Hal serupa terjadi pada turunnya pos pembayaran utang luar negeri karena asumsi nilai tukar rupiah lebih tinggi dibandingkan dengan perkiraan semula.
Satu-satunya asumsi makro yang meleset ke bawah, atau menjadi lebih buruk dari perkiraan, ialah produksi minyak. APBN 2003 memasang angka 1,27 juta barel per hari, sedangkan perkiraan realisasinya hanya 1,09 juta.
Sementara itu, asumsi yang tak berubah dibandingkan dengan perkiraan realisasinya ialah pertumbuhan ekonomi sebesar 4 persen. Berdasarkan kecenderungan selama semester I tahun ini, saya memperkirakan pertumbuhan ekonomi untuk 2003 bakal sulit mencapai 4 persen. Tapi, uniknya, dengan pertumbuhan yang tak meningkat itu, penerimaan pajak justru naik. Ini mengindikasikan betapa sumber penerimaan pajak masih belum dioptimalkan. Betapa RAPBN 2004 belum menunjukkan kesungguhan pemerintah untuk menggali sumber-sumber pajak potensial dan memberantas kebocoran pajak, yang diduga banyak kalangan jumlahnya sangatlah besar.
Harus diingat pula, angka-angka di dalam RAPBN ataupun APBN adalah angka nominal. Dengan membandingkan pos penerimaan RAPBN 2004 dan APBN 2003, yang hanya naik dua persen, dan bahkan turun bila dibandingkan dengan angka perkiraan realisasi APBN 2003, kian nyata bahwa pemerintah memang seperti kekurangan "gairah" untuk menggenjot penerimaan dalam negeri.
Dengan penyajian seperti itu, makin tawar saja rasanya mengomentari parade angka-angka di dalam APBN. Analisis "naik-turun" jelas akan menyesatkan. Bicara tentang stimulus fiskal jelas tidak pas, karena dalam konteks sistem nilai tukar fleksibel yang kita anut, APBN memang tak akan pernah efektif memacu pertumbuhan. Ini berbeda dengan masa lalu, ketika defisit dibiayai oleh utang luar negeri, sehingga tak menimbulkan efek mendesak (crowding out) terhadap investasi swasta.
APBN kita juga tidak mencerminkan perjuangan politik partai-partai bagi kepentingan konstituennya. Alokasi dana APBN, kebijakan perpajakan, serta pilihan-pilihan untuk menutup defisit anggaran tidak terkait dengan ideologi partai yang berkuasa ataupun partai lain yang terwakili di DPR, sehingga boleh dikatakan penyusunan APBN ini lebih didominasi pendekatan teknokratik ala neoklasik.
RAPBN 2004 ternyata juga ditanggapi dengan hambar oleh pers. Praktis tak satu pun media massa nasional, juga daerah, yang menempatkan pemberitaan tentang arah kebijakan dan politik anggaran pemerintah yang seharusnya teramat penting ini sebagai headline. Komentar dari berbagai kalangan pun datar, dingin, dan di permukaan saja.
Saya tidak tahu apakah reaksi "pasar"—pasar modal dan pasar valuta asing—yang "positif" berarti bahwa RAPBN 2004 telah sesuai dengan harapan pasar yang cenderung konservatif, atau justru sebaliknya bahwa itu mencerminkan kondisi pasar yang sakit sebagai akibat dari informasi yang asimetris. Yang sudah pasti, pasar modal kita jauh dari efisien dan kotor karena banyak dinodai oleh pelaku ataupun otoritasnya sendiri.
Memang peranan APBN dalam perekonomian sudah sangat terbatas—sekitar 17 persen terhadap produk domestik bruto. Namun sepatutnya pidato pengantar Nota Keuangan dan RAPBN oleh Presiden di hadapan DPR dapat memaparkan arah dan pedoman kehidupan berekonomi setahun ke depan sebagai bagian dari kerangka pencapaian tujuan jangka panjang.
Pidato Presiden sepatutnya menjawab tantangan-tantangan yang dihadapi oleh bangsa ini berkaitan dengan ketimpangan yang semakin melebar, keadilan antargenerasi, perubahan demografis pada umumnya dan khususnya antisipasi terhadap penuaan penduduk, perubahan teknologi, dan keterpurukan bangsa di tengah pergaulan ekonomi dunia.
APBN juga paling tidak memaparkan upaya pemerintah untuk mengantisipasi bencana alam dan malapetaka (catastrophe) yang makin sering terjadi, bahkan cenderung mengglobal. Tanpa upaya untuk meningkatkan carrying capacity bangsa—antara lain lewat APBN—bencana demi bencana akan semakin berdampak besar terhadap perekonomian.
Kita bisa memahami kenapa konservatisme melekat kental di RAPBN 2004. Yang mengemuka adalah motif survival, untuk mempertahankan kestabilan ekonomi yang telah dicapai dengan susah payah selama dua tahun terakhir. Juga karena ada faktor pemilihan umum tahun depan. Pemerintah rupanya berupaya menutup celah sekecil apa pun yang berpotensi mengganggu kestabilan dan pada gilirannya harus dibayar mahal.
Masalahnya, mungkin konservatisme itu terlalu berlebihan. Untuk sebagian, hal ini bersumber pada kenyataan bahwa pemerintah telah memutuskan keluar dari program IMF lewat jalur post program monitoring (PPM). Akibatnya, pemerintah harus menambah alokasi dana untuk pembayaran cicilan utang dan bunga pinjaman, yang dalam lima tahun terakhir memperoleh fasilitas penjadwalan ulang dari Paris Club. RAPBN 2004 menunjukkan, setiap pilihan yang diambil ada konsekuensinya, ada biayanya, dan tak gratisan.
Dengan segala keterbatasan yang ada, memang tak semua tantangan bisa diatasi. Namun setidaknya ada arahan awal tentang langkah-langkah untuk menjawabnya. Konservatisme RAPBN 2004 akan sedikit terobati seandainya diimbangi dengan pengayaan substansi dan arahan yang jelas dalam menghadapi berbagai tantangan ke depan.
Tak banyak harapan yang bisa ditumpukan pada RAPBN 2004. Tadinya, harapan lebih banyak ditumpukan pada isi paket kebijakan baru yang disusun sendiri oleh pemerintah pascaprogram IMF sebagai pengganti letter of intent. Namun tertundanya pengumuman paket baru ini, yang sudah lewat dari seminggu, menambah preseden buruk. Persoalan yang sudah muncul sebelumnya ialah perbedaan asumsi pertumbuhan: yang dipidatokan Presiden sebesar 5 persen dan yang tertera dalam Nota Keuangan sebesar 4,5 persen. Apa pun alasannya, publik menangkap perbedaan ini sebagai sebuah cermin ketidakserasian tim ekonomi. Kesalahan kecil ini tak sepatutnya terjadi.
Yang tak kalah kontroversialnya ialah perkiraan tentang penanaman modal asing neto negatif yang meningkat tiga kali lipat lebih, menjadi minus US$ 3,689 miliar. Penjelasan Bank Indonesia, bahwa peningkatan ini mencerminkan perusahaan-perusahaan asing makin sehat sehingga mulai bisa membayar utang kepada perusahaan induknya, kurang bisa dipahami. Bukankah ini mencerminkan ekspektasi negatif terhadap perekonomian tahun depan? Bagaimana menjelaskannya dengan semangat untuk menggapai pertumbuhan yang lebih tinggi, sampai ke tingkatan 5 persen, sebagaimana isi pidato Presiden?
RAPBN 2004 memang menjanjikan konsolidasi fiskal yang berkelanjutan, sebagaimana yang tecermin dari penurunan defisit yang cukup signifikan, dari 1,8 persen PDB pada 2003 menjadi 1,2 persen PDB pada 2004. Itu pun sebetulnya kurang selaras dengan keputusan politik yang telah dibuat yang mengamanatkan defisit pada 2004 harus lebih kecil lagi. Sekali lagi, ini suatu pelajaran bahwa setiap pilihan ada konsekuensinya.
Saya masih berharap akan ada perubahan cukup berarti setelah pembahasan dengan DPR nantinya. Yang saya tunggu-tunggu adalah munculnya semangat untuk lebih menegakkan rasa keadilan, yakni ditambahnya alokasi untuk memperbesar penyerapan tenaga kerja dan memperbaiki infrastruktur dasar, dengan memburu harta konglomerat bermasalah. Saya cukup yakin penerimaan dari penjualan aset BPPN—yang tinggal tulang-belulangnya sekalipun—bisa dinaikkan empat kali lipat dari yang tertera di RAPBN 2004, sebesar Rp 5 triliun, seandainya para pencoleng di jajaran petinggi BPPN segera diganti dengan orang-orang bersih yang masih punya nurani.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo