PALU, ibukota Propinsi Sulawesi Tengah, agak tenang setelah
jabatan gubernur diserah-terimakan dari Moenafrie kepada Eddy
Djadjang Djajaatmadja. Setidaknya ketenangan itu terasa di
kantor gubernur. Tapi 2 minggu setelah serah-terima, 3 sampai 5
November lalu, terjadi perkelahian antara dua kelompok pemuda.
Peristiwa itu tak jauh dari rumah S. Sarungu, Kepala Direktorat
Pembangunan Desa Sul-Teng. Sebagian pemuda yang bertikai tadi
lari ke sana hingga rumah itu dilempari batu. Yang menarik:
Sonny Smith, 21 tahun, mahasiswa Jakarta, terlibat. Ia adik
Nyonya Cora Moenafrie.
Memang ada dugaan hal itu berkaitan dengan pro-kontra
penggeseran Moenafrie yang antara lain bersumber dari
ketidak-serasian antara Moenafrie dengan Sekwildanya, BL Sallata
yang kebetulan orang Toraja. Sumber di Palu mengungkapkan,
Sallata berniat mengganti beberapa pejabat dengan rekan-rekan
sedaerahnya. Yang menjadi sasaran penggantian antara lain: Karim
Mbo (Karo Pembangunan), Jaeluddin Lembah (Karo Perbekalan),
Ruslin Abdullah (Karo Pemerintahan), HF Tangkilisan (Asisten II
Sekwilda), Basyir Nursin (Direktorat Sospol), Sangkota dan
Pelima (wakil ketua dan anggota Bdppeda).
Untuk Menarik Perhatian
Tapi Sallata membantah. "Itu bukan wewenang saya sebagai
sekwilda. Itu hak gubernur," katanya. Bahkan ia juga pernah
berkata kepada Ruslin Abduliah: "Yang sudah, ya sudahlah." Dan
Pjs Gubernur Eddy Djadjang sendiri memang tidak akan menggeser
siapa-siapa, seperti digariskan oleh Mendagri.
Mendengar keributan tersebut, Moenafrie yang kini mengontrak
rumah di Pulo Mas, Jakarta segera memanggil Sonny dkk dan
memperingatkan agar jangan membuat gara-gara. Selama menjadi
gubernur, Moenafrie memang dekat dengan anak-anak muda, juga
para mahasiswa asal Sul-Teng yang belajar di Jakarta, Bandung
atau Yogya. Tapi peringatan ltu terlambat.
Dua hari kemudian, 7 November lalu, bahkan ada usaha membakar
rumah Sallata di Jalan A. Yani Palu. Tengah malam, Jeffrie Lasut
(17 tahun) dan Anwar Thayib (19 tahun) berkendaraan motor menuju
rumah Sallata. Sampai depan rumah, mereka melempar beberapa
kantong plastik berisi bensin, lalu melempar obor yang menyala.
Untung bensin cuma tumpah di tanah dekat tanaman bunga. Dan api
pun padam. Hansip penjaga rumah Sallata tidak menghiraukannya.
Beberapa jam kemudian, waktu subuh, empat pemuda 20 tahunan --
Roy Lisangan, Pieter Kaleb, Jacky Umbas, Eddy Rumangan
--mengendarai 2 sepeda motor mengulang usaha pembakaran itu.
Syall milik Jackie yang telah dicelupkan ke bensin dan
dibungkuskan batu lalu dibakar dan dilempar ke atas rumah dan
berhasil membakar 3 atap sirap kayu. Untung api segera padam dan
rumah Sallata pun selamat. Beberapa jam kemudian sebagian pelaku
tertangkap. Anwar Thayib yang diperkirakan lari ke pantai barat
Sul-Teng dan Roy Lisangan yang diduga berada di Kecamatan
Moutong, Donggala, sampai pekan lalu masih buron.
Tapi sehari kemudian, otak pembakaran itu tertangkap pula.
Mereka adalah Mohammad Kasim Maragau, 34 tahun, swasta, dan
Ismail, 25 tahun, mahasiswa Jakarta yang konon juga Sekjen
Generasi Muda Sul-Teng. Kasim ditangkap di rumah dinas bekas
Gubernur Sul-Teng sedang Ismail disergap di Bandar udara
Mutiara, Palu. Ia ada di rumah ini dalam rangka mengurus
barang-barang Moenafrie. Ketika ditemui TEMPO di tempat tahanan
Kowil 192 Sul-Teng Ismail mengenakan sarung Bugis warna hijau.
Kasim sendiri berwajah lumayan berkumis dan berjenggot tak
teratur. Dari mereka juga diketahui rencana membakar rumah
beberapa pejabat lain: drs. Simak (Asisten I Sekwilda), drs. S.
Sarungu (Kadit PMD), drs. Sarappang (Sekretaris DPRD), dan SML
Tobing (ketua Bappeda).
Mungkinkah Moenafrie terlibat? Sumber di Jakarta dan Palu
membantah keras. Begitu pula hasil pemeriksaan Polri di Kowil
192, tidak menyimpulkan bahwa Moenafrie berada di belakang usaha
pembakaran tersebut. "Mungkin itu didalangi orang untuk lebih
menjatuhkan Moenafrie," kata sumber tersebut.
Tapi Moenafrie sendiri tentu repot. Para pelaku, sebagian besar
mahasiswa Jakarta asal Sul-Teng, memang pernah menemui Moenafrie
sehubungan dengan rencana penggeserannya tempo hari. Apalagi
Sonny Smith adalah adik iparnya, sedang Jeffrie Lasut, pelajar
SMA Palu, adalah anak HHE Lasut, bekas sekretaris pribadi
Moenafrie. "Terlalu bodoh kalau saya yang menyuruh mereka
berbuat begitu," kata Moenafrie.
Barangkali mereka hanyalah simpatisan Moenafrie yang bertindak
sendiri tanpa perhitungan. Repotnya lagi: Mohammad Kasim Maragau
dan Ismail, otak pembakaran itu, juga mengaku mengenal baik
Moenafrie. Tapi mereka juga mengaku telah membujuk para pelaku
yang katanya hampir setiap hari membicarakan kasus penggeseran
Moenafrie.
Menurut pihak Polri, cara membujuk itu gampang sekali kalau
berhasil, mereka dijanjikan sejumlah uang dan diterbangkan ke
Jakarta. Sebagian pelaku bahkan sudah ada yang menerima uang
muka Rp 2.000 dan Rp 5.000. Tapi ketika usaha mereka gagal, uang
dan tiket ke Jakarta tidak ada.
Keberangkatan Kasim dan Ismail sendiri dari Jakarta ke Palu
memang mendapat tugas dari Moenafrie untuk mengurus
barang-barang sebanyak 39 kali. Rupanya tugas itu
disalah-gunakan. Kepada TEMPO mereka sempat berucap: "Usaha
pembakaran itu hanya untuk menarik perhatian agar Sallata
dipindahkan. Kami rela dipenjara asal para pejabat putra daerah
tidak digeser."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini