Kay Mohlman ARIEF BUDIMAN KETIKA Kay Mohlman, mahasiswi pascasarjana dari University of Wisconsin, Madison, mendarat di Bandara Soekarno-Hatta, namanya muncul dalam daftar tangkal di komputer. Tanpa ampun, dia dicegah masuk ke Indonesia. Malam itu, dia terpaksa tidur di ruang transit, karena tak ada pesawat lagi yang terbang ke luar negeri. Kedatangannya adalah untuk menjumpai pacarnya di Bali. Tidak mengherankan kalau gadis berusia 34 tahun ini menangis. Kay dikabarkan berkata, "Tak ada lagi Indonesia bagi saya" (TEMPO, 13 Juli 1991). Saya mengenal Kay pada 1979, ketika mengajar bahasa Indonesia di Universitas California, Santa Cruz. Dia salah seorang dari beberapa gelintir mahasiswa, yang entah mengapa, jatuh cinta kepada Indonesia. Dia senang makanan Indonesia, dia senang kebudayaannya. Karena itu, dia lalu mempelajari bahasa ini. Setelah belajar beberapa bulan, dia lalu bergabung dengan teman-teman lainnya di bawah organisasi Volunteer in Asia untuk datang ke Indonesia. Dia ditempatkan di Padang dan mengajar bahasa Inggris di sana. Pengalaman ini membuatnya tambah cinta terhadap bangsa yang terkenal ramah-tamah ini. Ketika melanjutkan studi pascasarjananya di Universitas Wisconsin di bidang sosiologi, dia menetapkan hati untuk menulis tentang Indonesia. Dia mulai lebih intensif mempelajari bahasa Indonesia. Bahkan sempat datang ke IKIP Malang untuk memperdalam bahasa Indonesianya. Dia menulis surat kepada saya tentang kemungkinan melakukan penelitian untuk disertasinya tentang Indonesia. Saya tentunya sangat senang. Dalam hati, saya berkata, "Satu lagi hasil nyata yang saya peroleh dalam membuat orang asing tertarik mempelajari Indonesia." Bukankah semakin banyak orang yang mempelajari bangsa ini, semakin kita diuntungkan? (Saya ingat, pada 1970-an, pemerintah Jepang memberi bantuan US$ 1 juta kepada semua universitas di Amerika Serikat yang memiliki Pusat Studi Jepang). Pada 1987, Kay datang ke Salatiga. Dia mau melakukan penelitian tentang peran sektor usaha bangunan dalam pembangunan ekonomi kita. Dia minta Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) untuk jadi sponsor. Karena UKSW sudah berulang kali jadi sponsor, setelah kualifikasi Kay dipelajari, Ketua Lembaga Penelitian Universitas UKSW Dr. Nico Kana menyetujuinya. Kay tentu saja menyambutnya dengan gembira. Usulan serta semua keterangan diajukan ke LIPI untuk minta izin penelitian. Tapi, beberapa bulan kemudian, dia mendapat surat penolakan. Tak ada alasan yang diberikan. Dia menulis surat kepada saya, menanyakan masalahnya. Dia mendengar bahwa hal ini disebabkan karena sponsornya adalah UKSW. Universitas ini dikabarkan kurang disukai Pemerintah, karena sikap beberapa dosennya yang dianggap terlalu kritis terhadap kebijakan- kebijakan pembangunan. Saya jawab bahwa saya tidak yakin begitu, karena kenyataannya ada beberapa peneliti yang disponsori UKSW tidak mengalami masalah. Masalah ini sempat saya tanyakan kepada Deputi Ketua LIPI Dr. Mochtar Buchori. Dari beliau, saya mendapat jawaban: sepanjang menyangkut LIPI, hal ini tidak benar. Tapi, izin diperbolehkannya seseorang melakukan penelitian memang tidak diputuskan oleh LIPI saja. Izin ini perlu mendapat persetujuan dari lembaga sekuriti negara. Kepada Kay, saya menulis, mungkin topik penelitiannya dianggap peka. (Sepanjang yang saya ketahui, Kay adalah seorang mahasiswi pandai yang sederhana. Dia lebih tertarik pada masalah-masalah sosial secara umum daripada politik). Dia lalu mengubah topiknya jadi industri pedesaan, dan minta Prof. Dr. Hasan Purbo dari ITB (yang pernah ditemuinya ketika kunjungannya ke Indonesia) jadi sponsor. Harapannya bangkit kembali, ketika Pak Purbo menyetujuinya. Tapi malang, beberapa bulan kemudian, dia menerima surat penolakan lagi. Suratnya yang datang kemudian menunjukkan kekecewaan dan kemarahan. Sudah beberapa tahun dia "mengurbankan" waktu untuk belajar bahasa Indonesia. Dia lalu mengatakan, buat dia, Indonesia sudah selesai. Dia lalu mengalihkan perhatiannya ke Filipina. Dalam hati, saya berkata, "Kerugian bagi Indonesia, keuntungan bagi Filipina." Sejak itu, saya tidak mendengar lagi tentang Kay. Mungkin juga dia sudah benci kepada apa saja yang ada hubungannya dengan Indonesia, termasuk saya. Sampai terjadi peristiwa di Bandara Soekarno-Hatta beberapa minggu yang lalu. Masalah ini tampaknya sepele. Tapi, sebenarnya, dia menyangkut sesuatu yang lebih besar. Apalagi, peristiwa penolakan izin penelitian tanpa alasan yang jelas terjadi pada orang lain juga. Di kalangan calon-calon sarjana di luar negeri, sudah banyak diketahui bahwa pemberian izin penelitian di Indonesia sangat membingungkan. Banyak mahasiswa, yang tadinya agak tertarik untuk mempelajari Indonesia, akhirnya mundur kembali setelah mendengar kisah-kisah seperti di atas. Sekarang, ada banyak sarjana asing yang segan mengajukan permintaan izin penelitian ke LIPI. Apalagi, kalau penelitian ini mengenai masalah yang agak peka. Karena, sekali ditolak (tanpa diberi alasan, sehingga tidak jelas apakah kalau rencana penelitian diganti, izin bisa dikeluarkan), namanya akan masuk daftar tangkal. Dan, sekali nama seseorang masuk daftar tersebut, sulit untuk mencabutnya. Meski secara teoretis nama- nama di daftar cekal itu dikaji ulang setiap enam bulan atau satu tahun, dalam kenyataannya, ini jarang terjadi. Maka, ada banyak nama yang mendekam di sana meskipun orangnya sudah mati, atau sudah sangat tua. (Menurut Dirjen Imigrasi, jumlahnya sekitar 17.000, termuat dalam beberapa buku setebal bantal). Nama itu baru dicabut kalau orang tersebut secara aktif mengurusnya. Suatu hal yang tentunya sulit dilakukan orang- orang asing. Maka, apa yang terjadi pada Kay, terjadilah. Dia tidak bisa masuk ke Indonesia bukan karena dia orang yang berbahaya, tapi hanya sekadar kelalaian birokrasi. Memang benar, masuk atau tidaknya Kay dan seratus orang seperti dia ke Indonesia, tidak ada artinya bagi bangsa ini, yang sedang sibuk melakukan pembangunan ekonomi secara menggebu-gebu, sambil sekali-sekali berteriak, "Visit Indonesia Year 1991". Yang lebih mengkhawatirkan saya adalah bila negara kita jadi tidak diminati lagi oleh para calon dan sarjana asing untuk dipelajari. Studi tentang Indonesia jadi makin sedikit. Kita jadi tidak tahu bagaimana orang lain melihat kita. Kita cuma tahu tentang diri sendiri dari kita-kita saja. Ini agak kurang sehat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini