Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Keadilan dalam Sepotong Roti

Seorang ibu yang dituduh mencuri beberapa potong roti dihukum satu bulan penjara. Keadilan di negeri ini semakin jauh.

11 Januari 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Keadilan dan hukum, Tuan, adalah dua sepupu yang ogah bertegur sapa.”

Kalimat itu diucapkan pengacara Afrika Selatan, Ian McKenzie (diperankan oleh Marlon Brando), kepada kliennya, yang menuntut keadilan atas kematian anak pesuruh sekolah. Kalimat dalam film A Dry White Season itu kemudian dikutip di mana-mana sampai sekarang, karena hukum memang sering tak memberikan keadilan.

Vonis atas seorang buruh yang dituduh mencuri kue di Pasuruan, Jawa Timur, pekan lalu, mengingatkan kembali: keadilan dan hukum bukan hanya tak bertegur sapa, terkadang malah bermusuhan.

Sulfiyana, ibu dua anak, buruh pabrik tembakau, dituduh mencuri 11 bungkus roti dan beberapa kopi instan milik perusahaan tempatnya bekerja. Nilai barang yang dicurinya itu, menurut jaksa, hanya Rp 19 ribu. Keadil­an terasa jauh ketika ia dituntut tiga bulan penjara, juga manakala hakim mengganjar satu bulan penjara dengan masa percobaan dua bulan.

Kasus Sulfiyana seperti mengulang kasus Minah, yang mencuri tiga buah kakao dan diganjar hukuman penjara 1 bulan 15 hari, dengan masa percobaan tiga bulan. Selain itu, ada beberapa kasus pencurian ringan—pencurian buah kapuk, jagung, dan seterusnya—yang juga masuk pengadilan dan mendapat vonis penjara.

Apakah para hakim tidak membaca koran atau mendengar berita tentang reaksi bergemuruh publik atas vonis ”tak berperasaan” seperti ini? Atau sistem peradilan kita semakin absurd dan kehilangan logika? Sementara koruptor yang menilap uang puluhan miliar rupiah mendapat ganjaran hukuman ringan, jaksa dan hakim seakan tak mau peduli bahwa pencurian ringan keba­nyakan didorong motif menyelamatkan perut yang lapar.

Tentu saja pencurian merupakan perbuatan kriminal yang tak bisa dibenarkan. Pelakunya harus tetap dihukum. Tapi hukuman yang setimpal tak selalu harus didapat melalui polisi atau pengadilan. Dalam kasus Sulfiyana, perusahaan tempatnya bekerja sebenarnya sudah menjatuhkan hukuman yang bahkan sangat berat. Ia dipecat karena merugikan perusahaan Rp 19 ribu—hukum­an yang bisa kita perdebatkan nilai keadilannya.

Kalaupun perusahaan berkukuh melaporkan kasus ini ke polisi, aparat berseragam cokelat itu, dan juga jaksa, tak wajib menerima kasus ini. Hakim pun tak harus memberlakukan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 364 secara kaku dan rigid. Aturan hukum warisan kolonial itu mengatur hukuman untuk pencurian barang yang nilainya sangat rendah—semula hanya untuk barang yang bernilai tidak lebih dari Rp 25—dan sifat jahatnya tak seberapa. Misalnya, karena merasa haus setelah bekerja di terik matahari, dicurilah sebuah mangga atau kelapa milik orang lain.

Karena jumlah Rp 25 dianggap tidak realistis, pada 1960 pemerintah menaikkan nilai itu menjadi Rp 250. Sepuluh tahun lalu, kejaksaan menetapkan kebijakan internal, batas minimal dipatok Rp 2.500—yang sampai sekarang dijadikan patokan oleh jaksa dan polisi. Tapi para hakim yang berpikiran rigid, yang gemar memberlakukan undang-undang dengan kaku, bisa menghitung-hitung ganjaran yang pantas untuk para pencuri ”kelas teri” itu.

Sebetulnya, sebelum aturan direvisi pun polisi dan jaksa serta hakim bisa memakai pedoman yang melekat pada diri mereka: hati nurani. Mereka seharusnya mampu melihat secara proporsional nilai keadilan dalam beberapa potong roti yang menghilang itu. Merekalah yang seharusnya mengupayakan sekerasnya agar hukum dan keadilan semakin dekat, juga bertegur sapa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus