Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ANDAI waktu bisa diputar ulang, mestinya kasus Bank Century tak bakal terjadi. Itu pun masih perlu diberi catatan tebal: pengawasan perbankan pascakrisis moneter 1997-1998 berjalan sangat baik. Kita ingat, pada saat krisis melanda sejumlah negara yang dijuluki ”Macan Asia”, perbankan Indonesia betul-betul babak-belur. Rapor bank-bank besar merah menyala. Hampir semua konglomerat terperangkap kredit macet ratusan triliun rupiah. Akibatnya, lebih dari seratus bank tinggal sejarah.
Pelajaran yang bisa dipetik: ambruknya bank sebagian besar akibat ulah pemiliknya. Salah satu indikasi adalah tingginya pelanggaran batas maksimum pemberian kredit. Pelanggaran berat ini tertutup rapi sebelum krisis datang. Tapi, setelah krisis, kebobrokan terkuak dan ternyata sudah sedemikian parah. Terbongkarlah betapa konglomerat pemilik bank begitu rakus menggaruk banknya sendiri. Fakta ini sekaligus menunjukkan tumpulnya pengawasan Bank Indonesia, yang gagal mengendus praktek kriminal pemilik bank.
Ternyata, setelah satu dekade, pengawasan perbankan oleh Bank Indonesia tak beranjak maju. Sebagian pengawas di bank sentral seperti ogah memetik pelajaran pahit dari masa lalu. Kasus penyelamatan Bank Century pada November 2008 adalah contoh yang jelas. Setelah penyelamatan, terungkap alangkah buruk pengawasan perbankan, seperti tertuang dalam hasil audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan—terlepas dari banyaknya kritik atas hasil audit itu. Praktek busuk di masa lalu ternyata berulang, antara lain pemberian kredit kepada pemilik bank sendiri. Yang mencengangkan: Robert Tantular yang tidak lolos fit and proper test pada 1999 ternyata berperan penting di Century.
Padahal, jika ditelusuri sampai 2002, praktek buruk Century sudah dilakukan manajemen Bank CIC cikal bakal Century bersama Bank Danpac dan Pikko. Temuan Tempo yang berasal dari hasil pemeriksaan Bank CIC sebelum merger dengan jelas menunjukkan pengawas Bank Indonesia dengan mudah bisa diperdaya oleh manajemen CIC—yang dikendalikan keluarga Tantular. Bahkan ada dugaan petinggi BI memasukkan hasil pemeriksaan itu dalam peti es, sehingga CIC lolos merger. Lahirlah Century. Ujungnya, sudah diketahui, BI menyatakan Century sebagai bank gagal. Lantaran dinilai bisa berdampak sistemik, Century diselamatkan. Andai pengawasan BI prima, kasus Century tidak bakal terjadi.
Pengalaman buruk itu seharusnya memberikan banyak pelajaran. Salah satunya, Bank Indonesia wajib merombak sistem pengawasan perbankan. Tahun ini mestinya sudah terbentuk Otoritas Jasa Keuangan, yang menggantikan peran BI dalam pengawasan. Tapi, sampai Otoritas terbentuk, perbaikan sistem harus dilakukan. Begitu Otoritas Jasa Keuangan berdiri, mereka bisa langsung mengawasi dengan sistem baru yang lebih andal.
Yang juga penting adalah bagaimana mengawasi lembaga pengawasan perbankan, entah Bank Indonesia entah kelak Otoritas Jasa Keuangan. Sudah sering terjadi, Bank Indonesia tergopoh-gopoh ketika muncul kasus, padahal pengawasan reguler seolah-olah dilakukan tanpa cela. Laporan Bank Indonesia juga selalu biru. Di sinilah kita berharap DPR dan Badan Pemeriksa Keuangan lebih intens dalam mengawasi Bank Indonesia atau Otoritas Jasa Keuangan.
Komisi Pemberantasan Korupsi juga harus tuntas menggarap kasus Century ini. Selanjutnya, pengawas bank perlu dicegah agar tak menjadi keledai yang terperosok (atau ”memerosokkan” diri?) berulang kali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo