Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penundaan pelantikan dua wakil menteri menunjukkan buruknya administrasi pemerintah. Sekretariat Negara telah teledor memeriksa kualifikasi calon wakil menteri sehingga secara mendadak membatalkan pelantikan. Ini insiden yang memalukan.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Departemen Keuangan Anggito Abimanyu dan mantan Ketua Ikatan Dokter Indonesia Fahmi Idris batal dilantik sebagai Wakil Menteri Keuangan dan Wakil Menteri Kesehatan pekan lalu. Padahal promosi untuk keduanya sudah diumumkan oleh juru bicara presiden. Fahmi bahkan telah hadir di Istana Negara.
Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi menyebutkan keduanya belum memiliki kualifikasi sebagai pejabat karier pada eselon I-A sebagaimana disyaratkan Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009. Tapi seharusnya Sekretariat Negara memeriksa persyaratan administrasi itu sebelum hari pelantikan tiba.
Istana punya waktu panjang untuk memilih tujuh calon wakil menteri. Sekretariat Negara pun memiliki waktu yang cukup untuk memeriksa kelengkapan administrasi. Sulit diterima bahwa dengan waktu yang cukup itu administrator pemerintah tak segera tahu bahwa Anggito belum berada di tingkat eselon I-A. Fahmi bahkan sama sekali bukan pejabat karier di lingkungan Departemen Kesehatan.
Pernyataan Menteri Sudi bahwa daftar riwayat hidup baru diterima belakangan, setelah seleksi kualitas dan integritas, sulit dimengerti. Adalah aneh penyeleksian berdasarkan kapabilitas oleh presiden tak serta-merta disertai penelusuran perjalanan karier yang semestinya secara otomatis tercantum dalam daftar riwayat hidup.
Tak tertibnya mekanisme rekrutmen pejabat negara ini jelas membuat malu sang calon, juga mempermalukan presiden. Dan ini bukan kejadian pertama. Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Gita Wirjawan pernah terkatung-katung pelantikannya. Sebelumnya, Nila Djuwita Moeloek, yang mengikuti uji kelayakan sebagai Menteri Kesehatan, diganti calon lain.
Urgensi penambahan anggota kabinet ini juga perlu dipertanyakan. Presiden tentu punya hak menambah jumlah pembantunya. Dalam pemilihan wakil menteri, hak itu diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Tanpa penjelasan komplet, penunjukan wakil menteri akan dianggap usaha menutupi kelemahan sejumlah menteri yang sudah ”telanjur” ditunjuk memimpin departemen.
Presiden memang dapat mengangkat wakil menteri jika terdapat beban kerja menteri yang membutuhkan penanganan secara khusus. Tak pernah jelas apa itu ”penanganan secara khusus”. Jika wakil menteri dianggap perlu untuk mewakili menteri yang tengah berhalangan, di Dewan Perwakilan Rakyat, misalnya, anggapan itu bisa meleset. Dewan mungkin saja menolak karena menganggap mitra kerjanya adalah menteri dan bukan wakil menteri. Apa pun tugasnya, yang jelas kabinet kini semakin ”gembrot” dengan 34 menteri, tujuh wakil menteri, tujuh pejabat setingkat menteri, dan sepuluh anggota staf khusus.
Menteri sebenarnya sudah punya banyak pembantu. Direktur jenderal, misalnya, berjumlah lebih dari satu di setiap departemen. Merekalah yang mengeksekusi tugas teknis departemen. Jika presiden berucap tugas wakil menteri ”menyukseskan tugas menteri”, para dirjen itu pun menyukseskan tugas atasannya.
Demi kejelasan bagi publik, seyogianya pemerintah mengumumkan ruang lingkup dan tugas wakil menteri. Pemborosan jabatan dan anggaran harus dihindari. Begitu juga kesembronoan pengurusan administrasi negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo