Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Sulitnya Memberantas Mafia Hukum

11 Januari 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENJARA di Indonesia memang ajaib. Dibangun sebagai tempat narapidana menjalani hukuman, banyak rumah tahanan berubah menjadi markas besar yang nyaman bagi kaum terhukum. Lihat saja sel yang me­ngurung Artalyta Suryani alias Ayin di Rumah Tahanan Pondok Bambu, Jakarta.

Di situ Ayin hidup seperti saat di luar bui. Ada kantor pribadi, tempat dia memimpin rapat perusahaan dan menerima tamu sampai tengah malam. Ia mempunyai kamar sendiri lengkap dengan penyejuk udara. Ia memelihara pembantu di sana. Bahkan, mungkin agar tetap sehat, Ayin mandi dengan air minum dalam galon. Padahal dia tengah menjalani kurungan lima tahun akibat terbukti menyuap jaksa Urip Tri Gunawan.

Ternyata Ayin bukan satu-satunya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa tahanan kasus korupsi memperoleh layanan khusus. Bila ingin mandi, mereka tinggal memutar shower. Mau nonton sinetron atau berita pagi, mereka dipersilakan menyalakan televisi di kamar masing-masing. Jika para pesakitan itu mau meneruskan kuliah di perguruan tinggi, ini bisa diatur. Kebelet mengubah status di Facebook atau Twitter? Gampang. Buka saja laptop dan nyalakan koneksi Internet. Ada inspeksi mendadak? Jangan takut, ada sipir—tentu sudah diberi uang semir—yang akan memberikan aba-aba lewat handie talkie.

Koruptor dan makelar kasus tentu tak disatukan dengan penjahat lain. Ketika rumah tahanan di Indonesia yang berkapasitas 90 ribu dijejali 132 ribu orang, koruptor dan makelar kasus diperlakukan istimewa. Pencuri, perampok, penipu, pembunuh, pemerkosa, pemakai narkoba, kurir, pengedar, dan bandar narkoba, serta penjudi dan bandar judi dipersilakan berdesak-desakan. Para koruptor dan makelar kasus mendapat penjara yang bukan ”neraka” sesak yang apak. Rumah tahanan bagi mereka bukan lagi tempat yang makanan dan minumannya terbatas, atau yang tempat mandi dan buang airnya kotor. Yang seseram itu sudah tak berlaku bagi terhukum yang, seperti Ayin, tetap meneruskan pekerjaannya mengatur kasus ini dan itu dengan telepon seluler di tangan.

Maka mungkin kelak ada pesakitan kasus korupsi yang menulis buku tip tentang bagaimana hidup aman dan nyaman di penjara Indonesia. Melihat korupsi yang semakin menggila—artinya ada tren kenaikan jumlah koruptor yang barangkali mulai waswas bakal masuk bui—kemungkinan besar buku itu bakal laris.

Para koruptor kelas berat tak perlu cemas. Masuklah penjara dengan gembira. Tirulah strategi Ayin yang mengikuti jejak pendahulunya, Bob Hasan di Nusakambangan dan Tommy Soeharto­ di Cipinang. Cuek sajalah bila kenikmatan itu akan semakin menyebarkan sikap sinis di masyarakat. Sinisme adalah penyakit yang paling parah dalam menumbuhkan kepercayaan bahwa korupsi bisa diberantas. Publik tahu begitu pula Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia bahwa hidup di penjara bisa tak sengsara bila uang ”bicara”.

Para koruptor baru boleh cemas kehi­langan layanan VIP di penjara seandainya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono benar-benar melaksanakan tekad dan janji­nya memberantas mafia hukum. Sebab, bila janji ini dijalankan, Ayin dan para koruptor itu pasti akan mendapat perla­kuan yang sama seperti terpidana lain. Tak kurang tak lebih.

Presiden tentu tahu bahwa hukuman pidana diberikan bukan cuma bertujuan melampiaskan pembalasan. Bukan juga untuk menyeimbangkan kerugian yang ditanggung korban kejahatan dengan memberikan penderitaan setimpal kepada pelakunya. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Lembaga Pemasyarakatan mengatur bahwa hunian bagi narapidana bukan sekadar tempat memenjarakan orang, melainkan tempat merehabilitasi dan mengembalikan orang yang pernah melakukan tindak pidana ke masyarakat. Tapi tetap saja para penghuni­nya tak boleh bebas melakukan apa saja, meski memiliki uang segudang.

Ayin dan koleganya di penjara pun boleh makin gentar­ seandainya Ketua Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum Kuntoro Mangkusubroto bersedia bahu-memba­hu dengan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar membasmi penyelewengan di lembaga pemasyarakatan yang sudah berurat-berakar. Bila para pembantu presiden itu bersatu, pembenahan rumah tahanan serta pembatasan kembali hak-hak ekonomi dan sosial narapidana pastilah akan menjadi prioritas. Bila pembenahan rumah tahanan tak dilakukan, pembentukan tim pemberantas mafia hukum akan sia-sia.

Publik menunggu pemerintah mengembalikan fungsi penjara sebagai tempat menjalani hukuman atas kesalah­an anggota masyarakat kepada negara dan masyarakat. Penjara perlu dikembalikan sebagai tempat narapidana melewati waktu dengan keterbatasan, bukan tempat mereguk kebebasan tanpa batas.

Bila kuasa uang milik koruptor, makelar kasus, dan terpidana berduit bisa membeli kebebasan di balik jeruji besi, matilah rasa keadilan sampai di sini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus