Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Kritik Ekonomi Politik Juwono Sudarsono

Juwono Sudarsono sudah lama mengkritik kecenderungan pejabat menumpuk harta di masa Orde Baru. Bagaimana dengan sekarang?

28 April 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Juwono Sudarsono mengkritik kecenderungan pejabat menumpuk harta.

  • Kritik ini sebagai respons terhadap fenomena pada masa Orde Baru.

  • Motivasi politik dan motivasi ekonomi saling berkelindan.

Seno Gumira Ajidarma
PanaJournal.com

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ribut-ribut soal oligark serta para politikus dan penyelenggara negara yang menghimpun kekayaan tak sah belakangan ini mengingatkan kita lagi pada kritik Juwono Sudarsono beberapa dekade silam. Juwono pernah menjadi guru besar ilmu hubungan internasional di Universitas Indonesia dan Menteri Pertahanan pada kabinet Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada 1981 atau 42 tahun lalu, Juwono Sudarsono menulis catatan sebagai berikut: "Segi-segi kekuasaan tak mungkin dipisahkan dari segi-segi usaha menghimpun dan membagi-bagikan barang dan jasa masyarakat... Barang siapa memiliki dan menguasai sejumlah besar barang dan jasa masyarakat, maka ia cenderung untuk mencari perlindungan atau kekuasaan politik untuk mempertahankan apa yang dimilikinya."

Sebaliknya, menurut Juwono, orang yang berpengaruh secara politis akan berusaha memanfaatkan kedudukan dan pangkatnya dalam masyarakat guna memperkokoh pengaruh politiknya dengan jalan memperbesar simpanan harta dan kekayaannya.

Bagi Juwono (1982), simpanan harta dan kekayaannya itu bukan semata-mata penting bagi dirinya sendiri, tapi juga untuk mempertahankan jumlah bawahan dan pengikut yang bersedia berjuang bersamanya.

Kiranya konsep semacam ini tidak akan ia ungkap jika tidak terdapat gejala serupa dalam kehidupan sehari-hari, seperti gejala ekonomi politik pada tingkat mikro, yang memperlihatkan betapa tidak terpisahkannya motivasi politik dan motivasi ekonomi.

Semasa Orde Baru, istilah "pembangunan politik" dapat ditafsirkan sebagai eufemisme atawa penghalusan dari "pembangunan demokrasi", yang menjadi pembuktian terbalik dari kenyataan bahwa iklim politik saat itu "belum demokratis", bahkan "tidak demokratis"—dan ini tentu saja lumayan rawan bagi pengungkapnya.

Meskipun demikian, kritik yang tidak pretensius rupanya dapat dilakukan, misalnya dengan cara-cara akademis. Konsentrasi kertas kerja dan kolom-kolom ekonomi politik Juwono Sudarsono, misalnya, seperti terkumpul dalam buku Politik dan Pembangunan: Pilihan Masalah (1982), selain memenuhi kebutuhan akademis, secara tidak langsung berfungsi sebagai kritik sosial atas pasang naik korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Ekonomi politik semula berarti manajemen ekonomi oleh negara. Pada akhir abad ke-18, lingkup ekonomi politik terbatas pada sejumlah kecil pemikir, termasuk Pierre-Samuel du Pont di Prancis, Pietro Verri di Italia, serta Sir James Steuart dan Adam Smith di Inggris, bagi masalah-masalah mengenai kesejahteraan negara. Walaupun saat itu pertimbangan atas kehendak moral dan sosial-politik dari kebijakan ekonomi serta soal-soal administratif yang terlibat masih termasuk bahasan ekonomi politik, selama awal abad ke-19, secara umum (teori) mereka dipinggirkan.

Ada usaha-usaha untuk menetapkan hubungan antara ekonomi politik dan ilmu-ilmu pengetahuan sosial lainnya, terutama sosiologi dan politik. Pemisahan dibuat antara kajian ilmiah murni dari ilmu-ilmu ekonomi dan pertimbangan nilai (value judgments) yang tersirat dalam pilihan politis dari kebijakan-kebijakan ekonomi aktual. Pada akhir abad ke-19, di negeri-negeri berbahasa Inggris, pengertian ekonomi politik secara umum digantikan oleh satu kata: economics (ilmu ekonomi).

Pada 1932, Lionel Robbins melempar teori economics yang kontroversial pada masanya: economics adalah ilmu pengetahuan tentang tindakan manusia atas sumber daya terbatas dengan kegunaan berganda. Definisi ini didasari fakta bahwa kebutuhan manusia tak berhingga, meski jumlah sumber daya terbatas. Begitu kebutuhan seseorang terpenuhi, orang lain menggantikannya. Ada istilah "kelangkaan" (scarcity), yang dimaksudkan bahwa setiap keinginan tak akan pernah terpuaskan.

Tegangan antara kebutuhan tak berhingga dan sumber daya terbatas adalah dasar economics. Setiap sumber daya memiliki penggunaan alternatif, seperti lapangan rumput untuk peternakan sapi yang tak bisa menjadi perkebunan pada saat bersamaan. Artinya, mesti diputuskan cara terbaik dalam memanfaatkan sumber daya. Ini merupakan masalah kunci yang dihadapi setiap masyarakat, yakni menentukan mana barang yang mesti diproduksi dan berapa kuantitasnya untuk memuaskan konsumen. Adalah kelangkaan sumber daya yang memberikan nilainya.

Sejauh ini, rumusan Robbins diterima, meski ada pendapat bahwa economics mesti dilihat dalam penjelasan yang lebih luas, seperti penyidikan atas bagaimana masyarakat membangkitkan lebih banyak sumber daya secara bertahap.

Pergantian istilah itu, selain dianggap lebih nyaman, mencerminkan harapan bahwa akan mungkin memisahkan yang positif dari aspek normatif dalam ekonomi politik. Bagaimana economics berhasil memisahkannya adalah bahan perdebatan. Perubahan nama mungkin sedikit mengubah citra populer para ahli ekonomi, tapi tidak menghapus masalah atawa diskusi atas lingkup dan metodenya (Bowley & Pierson dalam Bullock & Trombley, 1999; Kishtainy et al., 2014).

Bagi Juwono, kelemahan ilmu ekonomi terletak pada sejumlah mitos bahwa "hukum-hukum ekonomi" bergerak ketika struktur politik vakum, selain menganggap bahwa mekanisme pasar cenderung mencari titik keseimbangan sehingga semua orang dengan sendirinya mendapat bagian yang layak. Seakan-akan dipercaya bahwa rasionalitas dalam perilaku ekonomi bekerja untuk semua orang (Sudarsono, 1982).

Rupanya, dari mitos-mitos semacam inilah Orde Baru beriman pada apa yang disebut Juwono sebagai "ideologi stabilitas": kebiasaan berpikir bahwa keadaan harus stabil dulu, baru bisa membangun, yang seharusnya diganti dengan kesadaran bahwa pertentangan dan peperangan (perang saudara dan perang antarnegara) adalah segi kehidupan yang lazim, terutama di dalam serta di kalangan negara-negara baru.

Selama ini, peperangan dan pertentangan menjadi bidang kajian terpisah dari penelitian tentang pembangunan politik ataupun pembangunan ekonomi. Akibatnya, berlangsung penyalahartian atas fungsi dan kegunaan konflik. Hal ini juga memperkuat anggapan bahwa perubahan sosial yang "baik" harus melalui cara-cara yang relatif "tenang".

Ideologi stabilitas sendiri lahir dari suatu kondisi yang berbeda dengan Indonesia. Pada dekade 1940-1950, pemikiran para cendekiawan Barat tidak bisa melepaskan diri dari unsur stabilitas yang menekankan keseimbangan, kemantapan, dan ketenangan atas dasar yang berbeda dengan kondisi sosial-politik negara-negara baru tempat sering berlakunya konflik, pertentangan, perang, dan ketidakseimbangan. Struktur sosial politik yang berbeda ini menggugurkan kesahihan ideologi stabilitas.

Dengan kata lain, mesti diberikan makna berbeda kepada teori-teori pembangunan ekonomi dan pembangunan politik dari kepustakaan Barat dengan memusatkan perhatian pada proses-proses mendasar melalui pendekatan masalah sebagai pola pikir lebih luas dan lebih abstrak yang membuka peluang spekulasi. Ini lebih relevan dan bermanfaat daripada sekadar menggunakan pengertian-pengertian yang menyesatkan. Menurut Juwono (1982), contoh sukses negara maju sering menjadi argumen segelintir kalangan pemimpin di negara-negara baru demi mempertahankan status quo.

Dari risalah yang ditulis pada 1971, dalam usia 29 tahun, dapatlah diikuti kritik ekonomi politik Juwono tersebut, yang di satu pihak merupakan gugatan teoretis dan di pihak lain menjadi kritik elegan terhadap para penentu kebijakan ekonomi Orde Baru. Setelah Peristiwa Malari 1974, Juwono bersama Soedjatmoko, Sarbini Sumawinata, dan Dorodjatun Kuntjoro-Jakti termasuk yang sempat diinterogasi aparat keamanan (Tirtosudarmo, 2022).

Bagi situasi pasca-reformasi hari ini, 52 tahun kemudian dan 25 tahun setelah Orde Baru terguling, berdasarkan gejala-gejala korupsi, kolusi, dan nepotisme, dapatlah kiranya diperiksa apakah kritik Juwono ini diambil peduli atau diabaikan.


PENGUMUMAN

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus