CUKUP seorang sersan dan seorang kopral untuk menghentikan Forum Demokrasi. Acara halal bihalal yang sedianya berlangsung Minggu malam lalu di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, disetop dua polisi sebelum dimulai. Inilah "musibah" kedua buat FD dalam dua bulan terakhir. Akhir Februari lalu diskusi mereka di Cibeureum juga dihentikan aparat keamanan. Seperti biasa, polisi merasa punya alasan kuat untuk melarang acara itu. "Demi undang-undang, mari kita hentikan," kata Sersan Dua Sutarman, sang petugas. Undang-undang yang ia maksudkan adalah tidak adanya izin keramaian buat acara halal bihalal yang mengundang lebih dari seratus orang itu. Memang kalau jadi terlaksana, acara itu pasti akan meriah. Saat dihentikan saja sudah ada sekitar 100 orang yang datang. Mereka juga bukan orang sembarangan. Di antaranya tampak bekas Pangkopkamtib Jenderal Purn. Sumitro, Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Soerjadi, ada Ahli Ilmu Politik dari Australia, Herbert Feith. Terlihat juga desainer terkenal yang sekarang jadi pengusaha, Poppy Dharsono. Sebenarnya, FD bukannya tak mengurus izin. Sejak 11 Maret lalu mereka sudah bolak-balik, mulai dari polisi sampai ke Departemen Agama segala. Namun, sampai acara itu hendak dimulai, izin yang dinanti-nanti tak keluar. Tak bisa lain, Abdurrahman Wahid, Ketua Kelompok Kerja FD, terpaksa menuruti perintah Pak Sersan. "Ini memperlihatkan bahwa mereka bunuh demokrasi di Indonesia," kata Abdurrahman alias Gus Dur. Sedianya Abdurrahman dalam acara itu akan membawakan sebuah risalah yang diberinya judul "Tumbuhkan kembali Daya Kritis Masyarakat". Risalah itu terhitung cukup tajam dalam menyingkap hal-hal yang selama ini jadi pembicaraan rakyat banyak. Misalnya saja, soal tata niaga cengkeh, jeruk, dan penarikan iuran teve. FD mengkritik bahwa selama ini masyarakat gagal menjangkau akar persoalan yang jadi landasan yang sama bagi tiga soal tersebut. ". . . Sumber persoalannya adalah penggunaan kekuasaan yang berlebihan, adanya nepotisme, dan kelumpuhan mekanisme kontrol . . ." demikian risalah itu menyimpulkan. Persoalan suksesi juga disebut-sebut dalam risalah setebal lima halaman itu. Untuk membahas soal ini, Gus Dur memulainya dari masalah pemilu, yang menurutnya adalah kesempatan bagi rakyat untuk membuat perubahan. Bagaimana pemilu bisa dikaitkan dengan kemungkinan perubahan, tak lain jika pemilu berpengaruh pada pembentukan kebijakan itu atau langsung pada pembuat kebijakan itu sendiri. Sekalipun risalah yang bakal dibacakannya penuh dengan "serempetanan" seperti itu, Gus Dur tak melihat bahwa pelarangan itu berhubungan dengan risalahnya. Alasannya, risalah ini baru diedarkan secara terbatas kemarin. Sedangkan pembagian untuk umum baru dilakukan menjelang acara dimulai. Ia juga tak melihat ada yang "tabu" dalam risalahnya. "Banyak orang lain bicara soal suksesi, toh nggak apa-apa," katanya. Yang jelas, para undangan yang hadir tetap bisa memperoleh risalah itu karena tak disita polisi. Mereka juga tetap saja berkumpul di ruangan sekalipun harus kegerahan karena ACnya dimatikan. Jadi acara halal bihalal sebenarnya tetap saja berlangsung, semua orang toh bisa bersalam-salaman sambil menikmati kacang goreng. Yopie Hidayat, Sandra Hamid, Leila Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini