KAMI ingin mengomentari berita berjudul Memperkarakan Jaksa (TEMPO, 30 November, Hukum). Kami menganggap wajar bila Pengadilan Tinggi Sulawesi Selatan membebaskan Jaksa Radipi. Andai kata bukan karena kesalahannya tidak terbukti, tentu karena kekeliruan dalam menerapkan hukum. Yang dimaksudkan dengan tindak pidana korupsi ex Pasal 420 KUHP itu ialah kejahatan-kejahatan jabatan yang dapat dilakukan oleh hakim, jaksa, dan penasihat pengadilan. Berdasarkan asas Lex speciali derogat generalii yang terkandung dalam Pasal 63 ayat (2) KUHP, pejabat-pejabat tersebut tidak mungkin dipersalahkan melanggar ketentuan lain, apalagi yang nyata-nyata diperuntukkan bagi pegawai negeri pada umumnya. Jaksa Radipi dituduh melanggar ex Pasal 418 KUHP, suatu ketentuan umum, karena ditujukan pada pegawai negeri pada umumnya, misalnya penjaga palang kereta api. Adilkah bila jaksa tersebut dihukum melanggar ketentuan itu, sedangkan baginya telah diatur secara khusus yaitu Pasal 420 KUHP tadi. Memang Inlands Officier van Justibe yang berasal dari W. v.S., disengaja atau tidak telah lupa diterjemahkan dalam KUHP. Tapi apakah kekeliruan itu dapat dijadikan alasan untuk menghukum jaksa dengan menggunakan ketentuan lain! Dalam praktek, entah mengapa, pengertian-pengertian genus seperti halnya dengan pegawai negeri, atau pengertian-pengertian species seperti hakim, jaksa, dan penasihat, kurang mendapat perhatian yang layak. Itu berakibat sesuatu yang dapat dikatakan ekstrem bahwa seorang jaksa, contoh tadi, dapat saja dihukum menyalahgunakan kekuasaan yang hakikatnya hanya melekat pada penjaga palang kereta api atau pada pegawai kota madya yang memberikan izin membangun. Yang lebih fatal lagi, seorang hakim benar-benar dihukum menyalahgunakan kekuasaan kepolisian hanya karena ia tidak terbukti bersalah menyalahgunakan kekuasaan mengadili orang. Gelagat yang sama tampak dalam sikap Jaksa Tinggi Sulawesi Selatan terhadap apa yang disebut manipulasi pajak itu, meskipun menurut asas tadi, manipulasi pajak adalah pengertian species dari tindak pidana umum. Selain itu perbedaan yang khas antara manipulasi pajak dan tindak pidana korupsi ialah dalam subyeknya: bila dalam manipulasi pajak subyeknya adalah wajib pajak, dalam tindak pidana korupsi, pegawai negeri atau pejabat. Akhirnya, karena RUU Mahkamah Agung yang kini dibahas dalam DPR juga melarang permohonan kasasi terhadap putusan bebas, maka melalui interpretasi antisiperen atau futuristis, misalnya, permohonan kasasi terhadap perkara bebas tersebut dapat saja ditolak oleh Mahkamah Agung. J.Z. LOUDOE Penjernihan IV/11 Jakarta Pusat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini