SAMBIL sesenggukan, A.M. Fatwa mencucurkan air mata. Ingusnya mengalir, hingga beberapa kali mesti diusap dengan sapu tangan. Toh ia membaca terus pembelaannya. Suaranya keras sampai terdengar serak. Sesekali kedua tangannya diangkat tinggi. Tubuhnya bergoyang-goyang. Namun, Fatwa membaca terus. "Ya Rabbana, wahai Tuhan kami. Janganlah Engkau jadikan kami sasaran fitnah bagi kaum yang zalim. Selamatkan kami dengan rahmat-Mu dari perbuatan tipu daya orang-orang yang kafir". Ia terdiam sebentar. Lalu membaca doa dengan tersendat. "Robbana dlolamnaa anfuusanaa". Terdiam lagi. Hakim anggota Abdul Razak membantu meneruskan "Wa inlam taghfirlanaa ...." Tapi Fatwa tak menirukan. Malah matanya terpejam. Kepalanya menunduk menyerong ke kanan. Kedua tangannya yang semula memegang erat pinggiran mimbar, tempatnya membaca, terlepas. Terdengar ia mengucapkan "Allah", lalu tubuhnya terjungkal ke belakang. Pecinya terlepas. Tampaknya Fatwa pingsan. Hakim Abdul Razak langsung meloncat dan mengangkat kepala Fatwa. Hakim ketua B.E.D. Siregar cepat menyusul dan mengangkat bagian punggung Fatwa. Hakim lainnya, Sri Wati, juga Jaksa Soesilo Oeripto, tampak tarmangu kaget. Fatwa pun dirubung. Ia segera digotong keruang poliklinik yang terletak di lantai 3. Setelah diperiksa Dr. Bharya, yang kebetulan ada di PN Jakarta Pusat karena terlibat perkara dalam kasus Nur Usman, Fatwa dilarikan ke Rumah Sakit Islam Jakarta. Para hakim, jaksa, dan pembela kembali ke ruang sidang, lalu hakim menyatakan sidang ditunda satu jam. Saat itu sekitar pukul 13.00, belasan menit setelah Fatwa terjungkal. Semua orang tampaknya masih terkesima karena tak menduga Fatwa akan pingsan. Peristiwa yang terjadi Kamis siang pekan lalu di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat itu memang mengagetkan. Fatwa, yang disidangkan dalam perkara subversi karena dianggap tersangkut Peristiwa Tanjung Priok, dituntut hukuman seumur hidup. Senin pekan lalu, atas permintaan hakim, ia mulai membacakan pleidoinya. Untuk membacakan pembelaannya yang 1.200 halaman, Fatwa tampaknya melakukan cukup persiapan. Ia tak cuma membawa anak istrinya, tapi juga persediaan makanan dan obat. Tampak tersedia satu liter Aqua, madu dalam botol, obat sariawan, obat gosok, obat mata, obat untuk tekanan darah rendah, lalu berbagai pil untuk mengatasi pusing, maag, supradin, dan penguat saraf. Kemudian hari berikutnya, sidang dengan sekali istirahat - berlangsung hingga pukul 21.15, sampai hakim memutuskan untuk menunda sidang hingga esok harinya. Hari itu, di hadapan sidang yang sepi pengunjung, Fatwa hanya sempat membacakan 423 halaman pleidoinya, 370 halaman di antaranya tak dibaca. Rabu lalu, sidang diskors selama 10 menit oleh hakim pada pukul 21.00. Waktu itu Fatwa baru membaca sampai pada halaman 824. Begitu sidang dibuka kembali, Hakim Ketua Siregar mengingatkan terdakwa, semua sidang ada jadwalnya. Karena itu, Fatwa diminta menyelesaikan pidatonya paling lambat Kamis esoknya. Ia diberi waktu dua jam, setelah itu pembela diberi waktu empat jam untuk mengucapkan pembelaan mereka. "Kalau saya diberi waktu dua jam, saya kira ya selesai," kata Fatwa. Kepada TEMPO, Siregar menjelaskan, bagaimanapun sidang itu ada jadwalnya. "Batasan waktunya sudah ada. Karena itu mesti vonis sebelum 24 Desember ini, sebab masa tahanan Fatwa, habis tanggal 24 itu," katanya. Kalau tidak selesai? "Ya, kita usahakan selesailah. Dan saya kira bisa selesai," sahut Siregar. Masa tahanan Fatwa memang berakhir 24 Desember, dan menurut KUHAP, ia harus dibebaskan hari itu meski persidangannya belum selesai. Kamis pekan lalu itu Fatwa telah membaca hingga halaman 1.188 dari pleidoinya yang berjudul "Demokrasi dan Kebebasan Beragama Diadili". Tinggal 16 baris saja yang belum dibacanya sewaktu ia pingsan. Saat itu ia telah membaca sekitar 32 jam. Tatkala pukul 14.30 sidang dibuka kembali, tanpa kehadiran terdakwa, hakim ketua menyatakan pleidoi terdakwa sudah selesai karena Fatwa telah membaca doa. Namun, para pembela membantah karena masih ada 16 baris yang belum dibaca. Menurut pembela Fatwa, Denny Kailimang, Fatwa saat itu ada di ruang gawat darurat Rumah Sakit Islam Jakarta (RSIJ). Ia mengutip hasil pemeriksaan dr. Kusnadi: tekanan darah Fatwi 100/50 dan untuk pemeriksaan lebil lanjut diperlukan observasi tujuh hari. Namun, para pembela akhirnya setuju menyerahkan naskah pembelaan Fatwa yang setebal kasur itu. Siregar tampaknya kurang mempercayai surat keterangan sakit yang di tandatangani dr. Kusnadi. Menurut dia, majelis hakim hanya mengakui surat dari dokter rumah tahanan, sesuai dengan PP Nomor 27 Tahun 1983. Karena itu, ia memutuskan sidang dilanjutkan Sabtu, dan terdakwa harus dihadirkan. Benarkah Fatwa pingsan? Dr. Mikhail Bharya, yang Kamis itu diminta memeriksa Fatwa, bercerita. "Orang yang tergeletak itu, saya tak tahu bahwa itu Fatwa, ternyata nggak pingsan. Orang pingsan itu kalau kelopak matanya dibuka, nggak bertahan. Eh, orang itu waktu kelopak matanya saya tarik ke atas, ditekannya ke bawah. Matanya gemetar seperti sedang emosi," kata dokte ahli saraf itu. "Karena di situ ada familinya, ya saya bilang orang itu tidak apa-apa hanya kecapekan. Kasih saja teh botol nanti juga baik," ujar Bharya sembari tertawa. Fatwa sendiri ternyata tak lama berada di RSIJ. Jumat sore ia dipindahkan ke RS Polri. Dr. Kusnadi sendiri tetap bersikukuh Fatwa dalam keadaan pingsan saat ia dibawa ke RSIJ. Sabtu tengah hari pekan lalu, Fatwa muncul juga di PN Jakarta Pusat. Ia mengenakan sarung, kaus oblong, dan memakai kursi beroda, serta tampak lemas. Menurut surat keterangan dokter RS Polri, yang ditandatangani dr. Cholid Soedirdjo, Fatwa dinyatakan bisa mengikuti persidangan. Fatwa sendiri menyatakan bersedia mengikuti sidang, asal diizinkan duduk di kursi roda. Ia pun menyelesaikan pidato pembelaannya dengan berdoa. Tampaknya, batas akhir penyidangan 24 Desember akan tercapai juga. Susanto Pudjomartono Laporan Agus Basri (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini